Pembuatan takjil untuk berbuka puasa hampir selesai. Ibu meminta Nia dan Nadia membawa makanan-makanan itu ke meja makan. Sementara Ramdhan si bungsu tak beranjak di depan televisi. Si tengah Nadia sangat bersemangat. Dengan sigap dia membawa piring dan gelas bersamaan.
“Nad… sedikit-sedikit bawanya, nanti malah tumpah.” Ibu mengingatkan
“Mamah tenang saja, Insya Allah gak akan tumpah.” Nadia kembali ke dapur, kemudian kembali sambil membawa mangkuk besar berisi sup buah. Dengan perlahan Nadia berjalan menuju meja makan. Tiba-tiba Moly kucing kesayangannya berlari dari arah depan, sepertinya moly di kejar kucing tetangga. Moly hampir saja menabrak Nadia yang sedang membawa mangkuk. Nadia seketika berhenti. Matanya melotot dan mulutnya spontan berteriak memarahi moly yang ngumpet di kolong meja makan.
“Nad… kenapa memarahi Moly, emang moly ngerti yang kamu bilang?” Nia tertawa, tangannya sibuk mengatur gelas di meja makan. Nadia cemberut segera disimpannya mangkuk berisi sop buah di meja. Berjalan menghampiri Ramdhan dan ikut duduk menonton televisi.
“De… si upin pengen jadi astronot, kamu pengen jadi apa?” kata Nadia tiba-tiba, wajahnya menatap Ramdhan yang asik menatap televisi.
“Gak tahu, kakak mau jadi apa?” Ramdhan balik bertanya, matanya tidak lepas dari televisi.
“Kakak pengen jadi ibu rumah tangga, kayak mamah kerjanya Cuma masak dan beres-beres rumah gak capek…” jawab Nadia matanya berbinar.
“Eh… Nadia gak mau seperti kak Nia yang kuliah di keguruan, nanti kalau sudah lulus, jadi guru.” Ibu menyela sambil duduk disamping Nia.
“Gak mau ah, capek nanti ngajar anak-anak yang nakal, males…” jawab Nadia spontan.
“Jadi ibu rumah tangga gak punya gaji, gak kemana-mana dirumah saja, …!” jawab Nia.
“Pokoknya, Nadia … hanya mau jadi ibu rumah tangga.” Nadia tetap pada pendiriannya.
“Jadi ibu rumah tangga itu pekerjaan mulia, kalian bisa seperti ini juga berkat ibu kalian, bayangkan jika ibumu seorang wanita karier, pasti sibuk dan sudah pasti pekerjaan di rumah terbagi dengan pekerjaan di tempat kerja.” Ayah ikut duduk di samping Nia.
“Nadia gak mau capek ayah.” Nadia bersikukuh.
“Iya… gak apa-apa, tapi walau Cuma jadi ibu rumah tangga Nadia harus tetap sekolah, kalau bisa sampai kuliah.” Lanjut Ayah.
“Kenapa? Jadi ibu rumah tangga gak perlu ijazah kan Ayah?” Nadia menatap Ayah.
“Iya betul tapi tugasnya berat harus bisa menjaga, membimbing bahkan mendidik anak-anaknya, kalau ibunya tidak tahu apa-apa, nanti anaknya juga tidak akan tahu banyak, makanya biar tahu banyak, seorang ibu tetap harus belajar.” Jawab Ayah sambil tersenyum.
“Lagi pula mana ada laki-laki yang mau sama wanita yang tidak tahu apa-apa, wanita sekarang itu harus pinter.” Ibu ikut bicara.
“Nadia pengen punya suami seorang tentara, boleh kan Mah?” lanjut nadia menatap ibunya.
“Boleh, tapi jadi istri seorang tentara itu harus tulus dan bermental kuat…” jawab ibu sambil tersenyum.
“Kenapa…?” Nadia mengerutkan dahinya.
“Hanya wanita sholeha yang bisa menjadi seorang istri tentara, tentara akan mengutamakan kepentingan Negara dibanding istri dan anak-anaknya, dia harus berangkat ketika Negara membutuhkan, dan sudah pasti meninggalkan semua yang dia cintai demi tugasnya. Bahkan rela mengorbankan nyawa untuk kepentingan Negara. Sanggupkah Nadia saat sakit ditinggalkan dan tidak tahu kapan kembalinya, itupun perginya ke suatu tempat yang kondisinya tidak aman, dia bahkan harus rela pulang nama.” Ibu berhenti sejenak matanya memandang Nadia tajam.
Nadia terdiam bahkan Nia yang ikut duduk di samping ayah juga terdiam. Apa yang dikatakan ibu memang benar, tak mudah menjadi istri seorang tentara. Harus tulus dan punya mental kuat ketika suami harus menunaikan tugas disaat keluarga membutuhkan. Pikiran Nia tertuju pada Arif yang sekarang dikirim ke papua untuk menjaga keamanan di sana.
“Harus jadi wanita tangguh dan tulus untuk bisa mendampingimu, agar bisa kuat menerima hal terburuk sekalipun, apa aku sanggup kak Arif? Semoga yang maha kuasa merestui dan menguatkan hatiku untuk bisa mendampingimu dalam keadaan apapun.” Do’a Nia dalam hati.
#Pray for KRI nenggala 402