NENEK PENJUAL HENNA

Cerpen57 Dilihat

Berjalan di teriknya matahari dengan suhu 41° membuat kepala terasa pusing. Beberapa diantara kami mengeluarkan air di dalam botol dan mulai menyemprotkannya ke wajah atau kepala untuk mengurangi rasa panas. Keringat mulai membasahi kening dan wajahku. Kepalaku sedikit pusing, mataku mulai nanar namun aku terus berjalan. Jalan yang kami lalui mulai menanjak. Kakiku sedikit pegal namun kuterus berjalan mengikuti Langkah mereka. Para pedagang berjajar di sepanjang jalan. Mereka menjajakan dagangan yang digelar diatas meja-meja beratapkan tenda sederhana. Sesekali mataku melirik para pedagang tersebut dan berusaha mencari satu wajah yang mungkin aku kenal.

Rombongan terus berjalan kami berhenti pada sebuah tempat yang di kelilingi pagar kawat. Wajahku terasa panas Ketika angin berhembus. Yah… angin disini terasa panas berbeda sekali dengan angin ditempatku yang terasa sejuk dan menyegarkan saat berhembus.

“Ibu dan Bapak, kita sudah sampai, kita berdo’a dulu untuk para syuhada yang meninggal di tempat ini”. Ucap seorang lelaki muda. Aku menyebutnya Ustad ganteng. Panggilan itu memang pantas untuknya selain pintar, wajahnya juga tampan dan yang membuatku bangga adalah usianya masih sangat muda. Senang rasanya melihat anak muda yang cekatan, bertanggung jawab dan pintar. Kami mulai berdo’a dan aku pun mulai memanjatkan do’a terbaikku.

“Ibu dan Bapak, jika ada yang mau naik ke bukit itu silahkan, saya tunggu di bawah, jika sudah selesai langsung menuju bis saja,” ucap ustad ganteng sambil menunjuk bukit dimana banyak orang naik ke atasnya. Aku dan beberapa orang segera berjalan menuju bukit yang ditunjuk. Aku berusaha menaiki bukit tersebut. Sudah menjadi menjadi cita-citaku jika bisa Kembali ke tempat ini aku mau menaiki bukit itu.

Perlahan aku menaiki bukit, kakiku sedikit gemetar saat menginjak batu diatasnya. Batu itu bergerak saat aku injak. Aku berusaha menyeimbangkan langkahku dan terus naik untuk mencapai puncak. Aku merayap dengan berpegangan pada batu disampingnya. Dengan perlahan aku menaiki batu-batu terjal di bukit itu. Dengan susah payah akhirnya aku sampai di puncak. Ku usap peluh di wajahku. Ku lihat sekeliling, alangkah indah tempat ini. Ada kebahagian sekaligus rasa ngeri saat membayangkan peristiwa yang terjadi ribuan tahun yang lalu. Mataku mulai basah, betapa sulitnya mereka saat itu.

Berjuang mempertahankan keimanan dan melawan kebathilan. Dengan gagah berani berusaha menghalau lawan dan membentangkan anak panah. Namun Allah berkehendak lain. Kemenangan yang mereka rasakan ternyata hanya sesaat dan setelahnya mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka gugur dan menjadi syuhada. Namun aku yakin mereka Bahagia di sisi-Nya.

Setelah puas menikmati pemandangan di atas bukit. Aku putuskan untuk turun dan menuju bis yang terparkir jauh di sebrang sana. Namun langkahku terhenti Ketika seorang Perempuan menawarkan dagangannya. Aku kasihan melihatnya. Kuambil uang satu lembar dan kuberikan kepadanya. Perempuan itu memberiku dua bungkus henna bubuk. Aku menerimanya dan memasukannya ke tas. Aku bergegas menuju kerumuman para pedagang di bawah bukit.

Aku terus berjalan menyusuri tenda-tenda para pedagang. Mataku tak berhenti mencari sosok yang aku kenal. Namun setelah jauh berjalan aku belum juga menemukannya. Aku mulai putus asa saat hampir sampai di ujung tenda. Waktu yang diberikan ustad ganteng tinggal sedikit. Aku terus berjalan menyusuri batas tenda sampai akhirnya mataku tertuju pada seorang nenek yang berjalan bungkuk menuju sebuah mobil. Aku bersorak dan berlari mendekat.

“Assalamu alaikum, “ ku ucap salam kepadanya. Nenek itu menatapku, aku tersenyum namun nenek segera berlalu. Rupanya dia tidak mengenalku. Aku bergegas mengejarnya. Nenek Kembali berhenti dan bertanya, aku sedikit bingung aku tidak mengerti apa yang dia tanyakan. Aku segera mengeluarkan sesuatu yang aku siapkan dari rumah. Kuberikan benda itu kepadanya, namun dia tidak mau menerimanya dan dengan Bahasa isyarat dia memintaku untuk menjauh.

Aku berusaha menyakinkan bahwa aku hanya ingin memberikan benda itu. Namun nenek tidak peduli, dia langsung naik ke mobil. Aku bengong, mengapa orang di sini tidak suka di beri, apa mungkin mereka takut padaku. Aku Kembali mengejarnya. Namun seorang laki-laki menghalangiku dengan bahasa isyarat dia memintaku untuk menjauh. Aku berhenti mataku mulai berair, aku berusaha menyakinkan laki-laki itu dan menjelaskan maksudku. Namun dia tetap tidak mengerti.

Aku terus berbicara, dengan Bahasa isyarat aku mencoba menjelaskan maksudku. Tanganku tak terhenti bergerak, aku berusaha semampu yang aku bisa. Akhirnya laki-laki itu menunjuk seorang pedagang Perempuan di sampingnya agar barang tersebut di berikan kepada Perempuan itu.

Aku sedikit bingung namun kuputuskan untuk memberikan benda itu kepada Perempuan yang ditunjuk laki-laki itu. Dengan Bahasa isyarat aku berusaha menyakinkan Perempuan itu bahwa benda yang ku bawa aku berikan pada nenek yang tadi naik mobil. Perempuan itu sepertinya tidak mengerti dia hanya bengong memandangku. Aku mulai putus asa. Aku terus berbicara dengan bahasaku.

“Saya setahun yang lalu ke sini, dan membeli beberapa bungkus henna yang di jual oleh nenek tadi. Nenek memberi saya banyak sekali padahal uang yang saya punya cuma sedikit. Saya sangat berterima kasih pada nenek, saya berjanji suatu saat jika saya ke sini lagi saya akan memberinya hadiah. Dan alhamdulilah saya kesini lagi dan sebagai ucap Syukur saya ingin memberikan benda ini untuknya.” Ucapku sambil memberikan bungkusan yang aku bawa. Perempuan itu menerimnya sambil terus menatapku.

“Hadiah..?”tanyanya.
Mataku berbinar, aku mengangguk rupanya dia mengerti saat aku bilang itu hadiah.
“Ya… ini hadiah untuk nenek tadi.” Jawabku sambil menunjuk ke arah mobil yang membawa si nenek.
Perempuan itu tidak menjawab, tapi itu cukup bagiku. Aku segera berbalik dan berlari menuju mobil yang terparkir di sebrang jalan.
Jabal Uhud, 18 September 2024.

Tinggalkan Balasan