Episode Rumah Ramah Gempa

Cerpen, KMAB, YPTD41 Dilihat
Cover buku oleh Ajinatha

“Gempa tak membunuh. Yang membunuh itu, bangunannya.” Sebuah pernyataan yang patut digarisbawahi. Bangunan yang konstruksinya asal memang bisa menyebabkan runtuh saat terjadinya bencana alam ini.

Sebagai orang yang berkecimpung di lapangan saat terjadi gempa, mas Rizal memang memiliki pengalaman yang banyak.

“Banyak pelajaran dari gempa 2004.

1. Ribuan kehilangan nyawa, karena struktur bangunan. Salah satunya penggunaan genteng.

2. Waktu. Kejadian Subuh itu, masih banyak yang terlelap. Akan berbeda jika terjadi siang hari.

3. Panik! Ini yang paling jamak. Ketika kondisi begini, pintu rumah sebesar gerbang masjid juga gak akan muat!

4. Keliru tahapan penanganan di lapangan.

Karena iba dan kasihan, jadi buru2 membantu korban. Malah akhirnya memperparah luka atau cidera.”

Aku segera memprotes karena mas Rizal menuliskan kalau gempa Jogja itu tahun 2004.

“Gempa 2004 ki Aceh kan?” Tanyaku, memastikan mas Rizal keliru dalam menuliskan tahun gempa Jogja.

Lalu kutanyakan lagi pada empat pelajaran yang dituliskan mas Rizal.

“No 4, sing bener piye kuwi, mas?” (Poin nomor 4, cara benar untuk menangani korban bencana alam gimana, mas?)

Belum ada tanggapan.

Mbak Ummu pun menanyakan yang berkaitan dengan masalah poin 1, “Genteng diganti apa biar aman? Baja ringan nek nibani juga lumayan. Nganggo tepes kelapa po ya? Hehehe.”

***

Menjelang tengah hari barulah mas Rizal memberikan pandangan.

“Poin 4 itu, sebenarnya sudah menggunakan kartu. Setelah belajar dari Tsunami Aceh. Jadi.

Merah buat yang Parah harapan hidup sedikit. Orange parah harapan hidup ada. Kuning buat yang sedang. Biru buat yang harapan hidup tinggi. Hitam buat yang udah meninggal.”

Mas Rizal melanjutkan, “Tim asesment suka ragu menentukan. Tim evakuasi, lebih prioritas orange! Pada situasi darurat harus tega! Kejar yang kuning dan biru dulu. Dua hal ini memperbanyak korban jiwa di Jogja.”

****

Lebih jauh mas Rizal mengungkapkan bahwa orang-orang awam sering menyamakan antara relawan dan sukarelawan saat terjadi musibah bencana alam. Mereka sama-sama berada di lokasi TKP bencana. Ikut serta menangani korban. Nyatanya ada perbedaan.

“Bedanya relawan dan sukarelawan. Relawan akan ikuti SOP. Sukarelawan, suka.”

Dari pertanyaan mbak Ummu, ini jawaban dari mas Rizal. “Seng! Untuk saat ini masih paling aman. Bilahnya bisa kayu atau baja ringan.”

Aku sudah menduga jawabannya sih. “Rak tenan jawabanne. Wis ta bedhe.” (Jawabannya sudah kutebak.)

Lalu aku protes karena kondisi alam di rumahku tidak memungkinkan untuk pemasangan seng sebagai atap rumah.

Nek kemarau njur atap seng, wong Gunungkidul ya isa dipanggang neng njero omah, mas. Panase kan ra mekakat.” (Kalau kemarau sementara atap rumah berupa seng, orang Gunungkidul bisa terpanggang di dalam rumah, mas. Panasnya cetar membahana.)

Seng njuk dipaku gitu ya ben ra kabur. Dulu pas bapak saya masih kecil, ikut bapak tinggal di asrama yang atapnya seng semua. Pas hujan angin pada kabur njuk sama bapak dipaku. Resikone nek kemarau puanase semelet. Hahaha.” (Sengnya dipaku gitu ya biar nggak kabur. Dulu pas bapak saya masih kecil, ikut bapak tinggal di asrama yang atapnya seng semua. Pas hujan angin pada kabur, terus sama bapak dipaku. Resikonya kalau kemarau hawanya panas banget.) Cerita dari mbak Ummu. Heheheh.

“Iya. Itu masih yang terbaik. Ngakalin adem ada 2. Pertama, dinding rumah ditinggikan. Kedua, dipasangi loteng.”

Tetep panas, mas. Daleme ibu-bapak biyen ya atap seng. Puanaseeee.” (Tetep panas, mas. Rumah ibu-bapak dulu juga beratap seng. Panasnyaaaa.) Aku tetep ngeyel. Soalnya dulu atap rumah orang tua juga banyak sengnya, terus hawa panas kalau siang sampai sore hari. Mana tahan dengan hawa seperti itu.

Mas Rizal akhirnya memberikan nasehat, begitu sebutanku. Kalau seng memang mesti dipaku.

“Kalau di dekat Merapi, kemiringan sengnya 45-60 derajat. Berbentuk segitiga atapnya. Jadi debu merapi, bisa jatuh kl hari hujan. Kalau agak datar atau miring satu arah. Debu susah turun. Dan itu jadi beban bagi seng. Kalau genteng kan bakal banyak menahan debu. Malah ada yang bangga jika atapnya lumutan karena adem. Padahal potensi bahayanya lebih besar.”

Memang kalau di daerah mbak Ummu bisa lebih nyaman kalau menggunakan atap seng. Soalnya tempat tinggalnya di sekitar Merapi. Nah, kalau di Gunungkidul, bisa manggang badan. Hihihi.

Mas Rizal biyen ora neng Gunungkidul kok ya. Ora ngrasakke panase. Hehehe.” (Mas Rizal dulu nggak ke Gunungkidul kok ya. Nggak merasakan panasnya. Hehehe.)

“Iya. Aku lupa area itu. Pernah jejak apa nggak,” ujarnya.

Jelas dia tak sampai di daerahku. Kalaupun sampai di Gunungkidul, pasti hanya di perbatasan Bantul-Gunungkidul saja. Di sana yang kerusakannya lumayan dibanding kecamatan lainnya.

**

Dari perbincangan online itu terlahirlah tulisan mas Rizal dengan judul “Gempa di Bengkulu dan 3 Hal Sederhana yang Bisa Dilakukan Setiap Keluarga”. Dia membagikannya untuk grup Telur Ceplok.

“Udah jadi artikel lengkap. Semoga bermanfaat!” Begitu terangnya. Dan bisa ditebak, tulisan itu menjadi artikel utama di K. Memang sangat bermanfaat. Josss.

 

Branjang, 24-28 Juli 2022

 

Tinggalkan Balasan