Cover oleh AjinathaSalah seorang sahabat penulis mengeluh karena mendaftar event untuk pengajar tetapi belum mendapatkan konfirmasi dari panitia. Aku sendiri sudah mendaftar dan mendapatkan notifikasi dari panitia melalui alamat email. Lalu aku langsung bergabung ke WA grup dari link yang sudah disediakan panitia. Kebetulan sahabatku yang mendaftar adalah seorang pengajar pada lembaga bimbingan belajar.
“Sing sabar, Mbak. Ki Hajar Dewantara bilang: “semua orang adalah guru“. So, tak ada batasan guru formal atau tidak. Menurut UU: “Guru adalah tenaga pendidik yang profesional dan bla…bla… Nah, parameter profesional juga bukan hanya bermakna urusan cuan yang melekat pada lembaga pendidikan formal, kan? Menurutku? Belum tahu. Hehehe.” Hibur mas Rizal kepada sahabatku itu.
Sebenarnya pendapat mas Rizal yang terhormat itu ada benarnya. Tetapi kini ada pandangan yang rancu terhadap guru yang profesional.
“Dulu kala, yang namanya guru profesional itu pasti menempuh Akta IV. Sekarang harus punya serdik—sertifikat pendidik—. Horo piye kuwi, mas…?” (Hayo, gimana itu, mas?). Tanyaku, menanyakan fenomena guru profesional untuk masa kini.
“Gak sepakat! Akta IV atau serdik, itu sebentuk alat dan cara pengakuan pada guru. Wong, guru profesional itu jika memiliki 4 kompetensi guru, tah?”
Memang benar sih, Akta IV atau serdik itu hanya sebuah alat dan cara pengakuan kepada seorang yang berprofesi sebagai guru. Nyatanya alat dan cara itu sangat penting untuk saat ini.
Sertifikat pendidik dahulu benar-benar istimewa. Hanya guru yang bisa mengikuti pemberkasan portofolio, PLPG atau PPG.
Untuk mendapatkan serdik memang beda-beda jalur. Menurutku semakin sulit. Aku sendiri mendapatkan serdik itu lewat jalur PLPG selama sepuluh sampai dua belas hari.
Pada akhirnya, program pendidikan untuk mendapatkan sertifikat pendidik dibuka oleh beberapa perguruan tinggi negeri.
Ada polemik atas kebijakan kampus itu. Namun bagaimana lagi? Sertifikat pendidik memang dicari-cari. Tak terkecuali oleh mahasiswa yang baru saja lulus kuliah.
“Kebanyakan guru tetap butuh pengakuan dari negara, mas. Biar sejahtera.”
“Iya. Dimengerti. Tapi tanpa pengakuan, guru akan tetap ada, tah? Alasan sederhana? Fakultas keguruan masih banyak, kan?”
“Inggih, Mbah guruuuu.”
***
Seperti yang dikatakan mas Rizal bahwa guru profesional sebenarnya tak harus menempuh PLPG atau PPG dan mendapatkan sertifikat pendidik. Meski saat ini banyak guru yang berlomba-lomba dalam mengikuti PPG dan berharap lulus. Kalau belum lulus, mereka berharap pada ujian berikutnya lulus.
Aku sendiri tak perlu berpusing-pusing mengikuti PPG. Alhamdulillah aku sudah memiliki serdik meski baru beberapa bulan mengajar di SD negeri. Serdik itu kudapatkan tahun 2013, saat aku mengajar di sebuah SD Muhammadiyah.
Terus terang aku tak pernah memimpikan mengajar di sekolah negeri. Bisa menikmati TPG saja sudah Alhamdulillah. Namun Allah memberikan jalan untukku untuk bisa menjadi ASN. Sungguh itu kuyakini atas doa ibu semasa hidupnya dulu.
Namun begitu, meninggalkan sekolah lama teramat berat bagiku. “Dirimu tak memahamikuuuu… Aku belum bisa move on dari sekolah lama.”
Mas Rizal lalu mengingatkan kalau seorang guru selain memiliki empat kompetensi, juga harus ditambah lagi kompetensinya.
“Kompetensi kelima Guru: Adaptif artinya mampu adaptasi pada :
- Polah pimpinan
- Ulah siswa
- Tingkah ortu
- Kurikulum yang gonta-ganti
- Lingkungan sekolah yang “serem”
- Waktu kerja yang gak terukur.
- Delele.”
Nah kan, mas Rizal itu sering menambah-nambah hal yang sudah baku dengan hal baru. Tapi masuk akal juga sih.
“Biar tambah semangat!” Begitulah adanya mas Rizal.
Chat di WAG itu semakin seru, ada banyak tanggapan dari penulis lain yang juga berprofesi sebagai guru.
“Kalau sudah ketemu yang poin satu, itu gawat,” komentar Bu Dewi.
“Iya, Bu. Bener sekali. Hal paling gawat yg poin satu,” aku mengamini pendapat Bu Dewi.
Membaca diskusiku dengan Bu Dewi, mas Rizal berkomentar,
“Tak sumpahin jadi pimpinan. Biar kata “gawat” bisa terhapus.”
Hadehhhh. Aku mah tak tertarik jadi pimpinan. Apalagi saat ini beredar kabar kalau seseorang pingin jadi Kepala Sekolah, syaratnya sudah mengikuti program Guru Penggerak.
“Ada kabar kalau jadi KS syaratnya itu harus Guru Penggerak, mas bos. Aku kan nggak daftar. Hahahaha”.
“Iye kah?” Tanya mas Rizal, tak percaya dengan isu yang berkembang saat ini.
“Kalau kebijakan di area lokal, bisa jadi. Hematku, kalau PNS lewati Cakep, tah? Kalau Swasta, seikhlas penyelenggara. Hahaha.”
Selama belum ada program sekolah penggerak dan guru penggerak, memang seperti itu sih. Heheheh.
“Aih. Kenapa gak ikutaaaaaan?” Tanya mas Rizal saat aku bercerita tak mendaftar guru penggerak. “Males ngisi modul-modul ya?”
Hmmm, sebuah tuduhan yang asal. Asal bener maksudku. Heeee. Tapi aku punya alasan lain, kenapa aku tak mau mengikuti program guru penggerak yang kini menjadi ajang bergengsi bagi para guru.
“Iya. Kuatir kalau nggak bisa bagi waktu.”
Aku harus tetap memberikan waktu untuk diri sendiri —demi kesehatan jasmani-rohani— dan keluarga.
Branjang, 7 Agustus 2022