Episode Sudut Pandang Penulisan Cerpen

Cover oleh Ajinatha

Sebuah link cerpen bergenre sejarah karya mas Rizal masuk ke grup Telur Ceplok. Judul persisnya aku lupa. Yang jelas ada kata Hiroshima dan Google. Goresan tangan mas Rizal itu menjadi artikel utama di Kompasiana. “Yeeaa. Aku maca cerpen kuwi rada berkerut dahi. Genten aku sing lemot kurang remot, mbak.” (Aku baca cerpen ya agak berkerut dahi. Ganti aku yang lemot kurang remot). Komentar mbak Ummu.

Padha, mbak. Aku ndadak mbolan-mbaleni le maca. Suwe-suwe kaya maca cerpenne mas Rifan. Hahahaha.” (Sama, mbak. Aku musti berulang kali bacanya. Lama kelamaan kayak baca cerpennya mas Rifan).

Mas Rifan itu paling hobi menulis cerpen atau puisi tentang kehidupan sosial kultural. Cerpennya sulit kucerna.

Aku mengenalnya dulu karena foto profilnya pakai foto salah satu calon presiden. Seakan tak punya wajah sendiri. Hehehe.

Pada baen nasibe karo inyong ya tapi kayane lewih parah nyong mba le mbaleni. Cerpen tingkat tinggi kudu nggolet andha sik, mbak. Kewalikane, nek om Rizal maos cerpenku paling gur separo rung nganti rampung we wes mudeng ya, mbak.” (Sama saja nasibnya sama aku ya tapi kayaknya lebih parah aku dalam mengulang bacanya, mbak. Berkebalikan, kalau om Rizal baca cerpenku paling-paling baru separo, belum sampai selesai pasti sudah paham, mbak).

Mbak Ummu nggak tahu kalau aku baca tulisan medok Kebumenan juga nggak paham. Perlu baca berulang-ulang.

Inyong ya parah kok, mbak. Terus kuwi golek andha lha po arep menek?

Wkwkwk ya wes, ben adil parah kabeh njur suk sinau bareng ya mbak. Daringan!”( Ya sudah. Biar adil parahnya trus kita belajar bareng ya, mbak).

Emak-emak sudah aktif di grup, mas Rizal agak slow respon. Maklum, orangnya suka pura-pura sibuk. Sekarang tambah lagi, pura-pura kuat! Gimana nggak, putra sulungnya mau kuliah ke Malang, berangkat dari tanah Sumatera ke Jawa sendirian, tetapi pas video call-an cuma ngangkat sebentar. Terus HP diberikan kepada simbah putrinya. Padahal tadinya, sebentar-sebentar mas Rizal memantau perjalanan si sulungnya. Pertanyaan mendasar, “sampai mana?”, “Sudah makan apa belum?” selalu dikirimkan untuk sang putra.

“Duh. Tq, Mbak! Seneng juga, Cerpen sejarah diapresiasi jadi artikel utama. Tapi, momentumnya lewat. Kalau hari itu di HL-kan. Bakal ribuan view-nya. Hehe.”

Ternyata orang yang kukira ta peduli jumlah viewer artikel, diam-diam peduli juga.

Dulu, untuk mengangkat sebuah tulisan fiksi baik cerpen maupun puisi menjadi artikel utama ada jadwal pasti di Kompasiana. Kini aku tak paham lagi. Aku jarang mengisi akun di sana.

Cen kuwi keren, mas. Nek aku isih kangelan. Cerpen setting sejarah ki angel tenan.” (Memang itu keren cerpennya, mas. Kalau aku masih kesulitan. Cerpen dengan setting sejarah itu benar-benar sulit).

“Cerpen itu semua fakta. Kecuali tokoh Zaid dan Amran di Beirut. Di akhir, itu pertanyan Abang.” Cerita mas Rizal akan cerpennya yang baru saja diganjar sebagai artikel utama.

Dia memang jago kalau nulis tentang kejadian nyata dalam bentuk cerpen atau puisi. Dari ceritanya lagi, mas Rizal hanya coba praktekkan semua PoV saat menulis cerpen.

“Ayah minta aku mencoba keluar dari tokoh Aku di setiap cerpenku yang tanpa nama itu.”

Ayah itu maestronya puisi dan cerpen. Goresan cerpen dan puisinya pastilah keren selalu. Bahasanya sederhana tetapi bagus banget! Aku nggak bisa. Cerpen dan puisiku sederhana dan biasa saja meski pernah ada cerpen dan cerita anak yang kubuat yang menjadi artikel utama juga. Hehehe.

Aku ya pingin nyoba semua PoV. Ya ngunu kae. Cerpen khas wong wedok.” (Aku juga ingin mencoba semua PoV. Tapi hasilnya ya kayak gitulah. Cerpen khas perempuan).

Mas Rizal akhirnya buka suara tentang tokoh-tokoh dalam cerpen bergenre sejarah itu.

Fat man itu nama bom di Hiroshima, nah kalau Litle Boy nama Bom di Nagasaki. Awalnya mau tak tulis nama pilot pesawat. Tapi gak jadi. Kalau nama Akashi itu asli.”

Aih… aku nggak tahu nama bom yang digunakan Sekutu pas melakukan pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki, tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 yang lalu. Sungguh terlalu!!!

***

“Orang biasanya satu tulisan pakai 1 PoV. Nah, aku tak coba ketiganya sekaligus. Hahahaha,” ceritanya sambil pamer kukira. Tetapi ada udang di balik batu, memotivasi aku, mbak Ummu dan mbak Lina biar bisa seperti dirinya. Hmmm.

“Ajari, mas…Eh…tapi aja-aja aku gek ora mudheng nek diajari. Hahaha.” (Tapi jangan-jangan aku nggak paham kalau diajari).

“Ini tak bagikan ,ya? Aku dapat dari grup sebelah.”

Tak berapa lama, masuklah materi PoV. Kubaca dengan seksama dalam tempo yang tidak sesingkat-singkatnya.

Dimulai dari pengertian PoV. PoV merupakan singkatan dari Point of View yang artinya sudut pandang yang digunakan penulis saat menceritakan berbagai runtutan kejadian dalam tulisan.

Ada tiga jenis PoV, yaitu: PoV 1 Sudut pandang orang pertama, PoV 2 sudut pandang orang kedua, PoV 3 sudut pandang orang ketiga.

PoV 1 memiliki ciri-ciri, antara lain: biasanya memakai kata aku atau kami, tidak dapat berpindah pandangan atau perspektif. Tulisan yang menggunakan PoV 1 biasanya bersifat linier, hanya di satu garis lurus dan tidak dapat tiba-tiba lompat alur atau lompat adegan. Dan yang tak kalah penting, PoV 1 terbatas pada alat indra, pengetahuan serta pemahaman si pencerita sebagai aku yang dipengaruhi juga oleh sifat serta karakter si aku.

PoV 2: Sudut pandang orang kedua. Ciri-cirinya antara lain: biasanya memakai kata kamu atau kau, tingkat kesulitan tinggi, pengembangan karakter sulit dilakukan.

PoV 3: Sudut pandang orang ketiga dengan ciri-ciri antara lain: biasanya memakai kata dia, mereka atau menyebutkan nama tokohnya, penulis dapat memainkan alur, bisa berpindah-pindah plot, dapat menceritakan berbagai karakter tokoh serta kejadian yang dialami tiap tokohnya. Karenanya, dapat dikatakan sudut pandang serba tahu.

Nah, berkaitan dengan PoV tadi, tulisan paling baik itu konsisten dalam penyebutan tokohnya. Alias dalam satu tulisan lebih baik kalau hanya satu PoV. Tujuannya agar penulis bisa menyampaikan alur cerita yang baik. Caranya penulis harus tahu arah cerita mau dibawa ke mana.

Wuih. Pelajaran berharga sekali. Meski dulu kala, saat SMA, sudah pernah diajari sama guru Bahasa Indonesia tetapi untuk beberapa tahun materi itu terlupakan. Hiks. Maafkan aku ya, guruku tercinta.

***

Bila yakin kisah yang ingin diceritakan hanya sebatas pengetahuan si aku. Maka gunakan saja PoV 1. Namun bila ingin menciptakan tulisan yang mampu bercerita lebih luas, maka gunakan PoV 3. 

Sedangkan PoV 2, sebaiknya digunakan bila penulis benar-benar yakin mampu membawakannya, karena bila tak benar-benar memahami PoV ini bisa jadi pesan yang ingin disampaikan melalui tulisan tak akan tercerna dengan baik oleh pembaca. (Dirangkum dari berbagai sumber: materi dari chat mas Rizal).

***

Kembali ke materi cerpen karya mas Rizal, peristiwa Hiroshima disandingkan dengan ledakan Beirut.

“Di cerpenku. Tak duetkan Hiroshima dengan ledakan Beirut.”

Cerpenku isine gur tentang bocah. Rung tau liyane, meneh sejarah. Bubrah paling nek sik gawe aku. Nek dari artikele mas Muksal aku ijik iso gawe. Beberapa cerpen tak buat dari artikel beliau. Sing crayon sinchan biyen kae aku nganggo Pov apa ya? Aja-aja gado-gado. Hahaha”. (Cerpenku isinya cuma tentang bocah. Belum pernah tema lainnya, apalagi sejarah. Paling-paling Bubrah kalau aku yang buat. Kalau tahu artikel mas Muksal, aku masih bisa buat. Beberapa cerpen aku buat dari artikel beliau. Yang cerpen Crayon Sinchan dulu, aku pake PoV apa ya? Jangan-jangan gado-gado).

Kemajuan menulis cerpen mbak Ummu memang keren. Tak sepertiku, yang cuma bisa menilai cerpen penulis lain.

Wong awal mulai nyerpen we gegara om Rizal sik urik nulis jenengku neng event-e mbak Lilik mbiyen kae. Padahal rung tau nyerpen blas. Terpaksa deh berdamai dengan cerpen.” (Wong awal nyerpen dulu gara-gara om Rizal yang curang, menulis namaku di event mbak Lilik. Padahal belum pernah nyerpen sama sekali sebelumnya).

Apapun itu dunia cerpen sudah dirambahi mbak Ummu. Jadi anggota grup Telur Ceplok sudah bisa nyerpen sebisanya. Yang penting, hajarrrr!!!

 

Branjang-Melikan, 10 Agustus 2022

 

Tinggalkan Balasan