Perbincangan Mas Pras dan Tyo
Hidup berumah tangga, apalagi bagi manten anyar, pasti butuh penyesuaian diri satu sama lain. Perbedaan cara pandang, kebiasaan sedikit demi sedikit terbuka. Semua yang terlihat indah saat belum menikah, berubah. Hidup memang tak selamanya indah. Aku menyadarinya.
Selepas menikah, aku lebih banyak di rumah. Memastikan rumah nyaman, menyiapkan segala keperluan untuk keluarga. Tetapi dunia tulis-menulis yang sempat terbengkalai, kini mulai kulakukan lagi.
Bukan ingin kisahku menjadi tenar seperti kisah Habibie-Ainun. Bukan sama sekali.
Aku hanya ingin sesuatu yang menyejarah dalam hidupku hanya aku yang tahu. Namun aku ingin mas Pras —yang tahu sejak awal kalau novelku kuangkat dari kisah nyata—bisa membacanya juga. Untuk mengenang segala perjuangan untuk hidup bersama. Agar tak menyerah di tengah jalan.
Selama beberapa bulan membersamai dan mendampingi mas Pras, aku menilai dia berusaha menjadi yang terbaik untukku. Karenanya, aku juga berusaha melakukan hal yang sama.
**
Rumah tangga yang lumayan adem ayem kurasakan. Namun semua berubah saat Tyo atau Budi berkunjung ke rumah. Entah ada urusan apa sebenarnya.
Yang jelas aku tak suka dengan bahan obrolan dari Tyo itu. Aku mendengarnya dari dalam kamar.
“Hebat kamu, Bekti. Bisa menaklukkan Ajeng.”
Tak ada sahutan dari mas Pras. Ah iya… Di keluarga, mas Pras sering dipanggil Bekti.
“Hahahaha… tapi kamu berpikir apa nggak, Ajeng tulus apa nggak. Siapa tahu dia memilihmu karena mirip denganku.”
“Sudahlah, Bud. Apaan yang kamu bahas ini. Aku percaya Ajeng. Ajeng dulu sudah cerita meski aku tak tahu siapa itu Tyo.”
Tyo terbahak saat mendengar ucapan mas Pras. Lama juga.
“Okelah. Dia tulus. Lalu kamu sendiri, tulus nggak?”
“Apa maksudmu, Bud!?” Suara mas Pras meninggi.
“Hahahaha… ingat ucapanmu dululah!”
Suasana hening. Aku merasa ada sesuatu yang belum kuketahui sebelumnya.
“Kita dendam sama pak Broto kan? Kita nggak terima karena perusahaan dipegang pak Broto.”
Dadaku terasa sesak. Tak tahu maksud ucapan Tyo baru saja.
“Sudah, Bud. Kamu jangan coba menghancurkan keluargaku!”
Kembali Tyo terbahak-bahak.
“Lho memang tujuan kita menghancurkan pak Broto dan keluarganya kan? Artinya keluargamu harus hancur…”
Rasanya aku tak tahan mendengar obrolan mereka. Apalagi saat ada ucapan bahwa pernikahan kami hanyalah salah satu upaya mengambil perusahaan ayah yang dulu memang milik ayah mas Pras dan Tyo.
“Sudahlah, Bud! Kamu pulang sana!”
“Oke! Tapi ingat perjanjian kita. Kita jalankan perusahaan berdua. Kamu jangan serakah!” Bentak Tyo.