Wejangan Ayah
“Nak, ayah telepon kok nggak diangkat…” pesan ayah masuk.
Ya…tadi ayah menelponku berulangkali. Namun aku tak mengangkat telpon dari orang terkasihku. Aku merasa belum siap untuk menjawab setiap pertanyaan selepas mas Pras mencariku di rumah ayah.
“Maaf, yah. Tadi Ajeng baru masak. HP di kamar,” balasku, mencoba berbohong kepada ayah.
Baru saja chat kukirim, ayah langsung membacanya. Seperti perkiraanku, ayah menelponku lagi. Dengan terpaksa kuangkat teleponnya.
“Tadi Pras ke sini. Kok nggak sama kamu. Kalian baik-baik saja kan, ndhuk?”
“Alhamdulillah baik-baik saja kok, yah. Cuma ada hal yang mau Ajeng selesaikan di rumah teman.”
“Artinya kamu nggak pamit sama Pras?” Tanya ayah dengan suara sedikit tinggi.
Aku tahu ayah marah besar padaku.
“Ajeng, dengarkan ayah. Lain kali kamu nggak boleh melakukan hal bodoh lagi. Kamu harus bisa seperti ibu. Ke mana-mana selalu pamit ayah.”
“Iya, yah. Maafkan Ajeng ya…”
“Kalau ada perselisihan segera selesaikan. Jangan sampai berlarut-larut. Nggak baik.”
“Ajeng salah, yah. Maafkan Ajeng…”
“Pokoknya ayah nggak mau kalau sampai mendengar kamu pergi seenakmu. Kamu punya suami. Orang yang harus kamu patuhi, selama suamimu baik tabiatnya …”
Ah…aku tak bisa membedakan lagi, apakah mas Pras sebaik yang dipikirkan ayah. Ya… setelah yang aku dengar semua dari ucapan demi ucapan dari Tyo.
Masih lanjut ya mba