Seni Menertawakan Diri Sendiri (Bag. 5)
Selama hampir kurang lebih 10 tahun di Sinemart, tidak sekali pun ada callingan dari luar Sinemart. Hanya pernah ada satu kali di calling sebuah PH yang cukup dikenal, itu pun tidak jadi. Setelah tahu saya, dan dimana saat itu saya sedang bekerja, mereka keberatan dengan ‘angka’ saya, padahal belum negosiasi.
Citra saya dimata mereka angkanya terlalu tinggi, pada kenyataannya tidaklah demikian. Angka saya sejak masuk Sinemart, sampai akhirnya keluar dari Sinemart, hanya segitu-gitu saja, jauh dibawah angka yang saya terima di PH sebelumnya.
Begitu saya tidak lagi di Sinemart, berbagai tawaran pun datang, bahkan saya punya kesempatan untuk mengerjakan layar lebar. Harapan saya, dengan mengerjakan layar lebar, saya bisa mengembangkan profesi saya menjadi lebih baik, bisa bekerja lebih terstruktur, dan terencana.
Perkiraan saya meleset, proyek layar lebar yang pertama saya kerjakan, hanya meneruskan pekerjaan penata artistik sebelumnya. Seperti orang yang cuma ‘nyebokin’ orang yang sudah buang air, maka saya cuma meneruskan banyak pekerjaan yang tertunda, dan harus diselesaikan segera.
Hari ini tanda tangan kontrak, besoknya saya sudah harus shooting, tanpa perlu ada persiapan lagi. Artinya saya harus siap bekerja secara Marathon, selama 10 hari. Saat shooting hari pertama, saya sudah harus hunting dan dressing untuk hari berikutnya. Dan begitulah seterusnya, sehingga jauh dari ekspektasi saya.
Awalnya saya berharap bisa bekerja terencana secara matang, seperti art director film pada umumnya. Pada kenyataannya, saya shooting layar lebar dengan rasa stripping, karena tidak ada jeda untuk mempersiapkan set secara matang. Tapi pada praktiknya, meskipun dalam waktu yang mepet, saya bisa penuhi kebutuhan set sesuai dengan ekspektasi prosudernya.
Bayangkan dalam satu hari saya harus menyiapkan tiga set yang cukup besar, dan harus di eksekusi hari itu juga. Selesai satu set, eksekusi langsung dilaksanakan, sementara mereka mengeksekusi satu set, saya menyiapkan set yang lainnya dalam hitungan jam.
Padahal set seperti itu biasanya dikerjakan dalam hitungan hari, tapi saya kebagian dalam hitungan jam.
Untungnya saya sudah terbiasa menghadapi kasus seperti itu di sinetron striping, pola kerja seperti itu, merupakan pekerjaan saya sehari-hari. Secara marathon, 10 hari shooting day bisa dituntaskan secara maksimal. Bagi saya ini sebuah kesempatan untuk membuktikan, bahwa art sinetron pun bisa menjadi art layar lebar.
Pada lacurnya, problem seperti itu terus saya hadapi, dari 4 film yang saya kerjakan, hampir semuanya dengan pola kerja sinetron stripping. Harapan saya untuk mendapatkan film yang bisa saya kerjakan seperti orang lain pada umumnya tidak saya dapatkan.
Saya bersyukur, pernah mengerjakan film, meskipun sebelumnya saya merupakan art director di iklan.
Cerita ini adalah bagian dari cara saya menertawakan diri saya sendiri, bahwa tidak selalu apa yang kita bayangkan, atau harapkan, kejadiannya akan sama, karena seperti itulah hidup.
Tuhan memberikan sesuatu pada kita sesuai dengan apa yang kita butuhkan, bukan sesuai apa yang kita inginkan.
Saya cuma menikmati kejadian diatas sebagai hiasan perjalanan hidup, untuk menambah wawasan dan pengalaman. Betapa rendahnya ekspektasi crew film terhadap crew sinetron pada awalnya, tapi setelah kita bisa membuktikan, bahwa kita bisa memberikan sesuatu melebihi ekspektasi mereka, sehingga mereka pun tidak bisa memandang sebelah mata pada kita.
4 film yang saya kerjakan tersebut, saya membaur dengan crew film, yang mana crew sinetron itu dianggap kastanya dibawah kasta crew film. Pada kenyataannya, secara keilmuan tidak juga bisa dipandang rendah, hanya saja berbeda dalam pola kerja. Tapi ada juga yang mendaptasikan pola kerja sinetron stripping dalam produksi film, karena secara biaya jauh lebih hemat.
Kadang saya menertawakan diri saya sendiri, setelah melalui semua proses itu. Menertawakan kelemahan dan kekurangan saya, yang kurang adaptif terhadap cara kerja film. Tapi diam-diam ada juga kelompok pekerja film yang adaptif dengan pola kerja sinetron stripping, karena sangat hemat dalam soalnya cost produksi.
“Tuhan memberikan sesuatu pada kita sesuai dengan apa yang kita butuhkan, bukan sesuai apa yang kita inginkan”
Wow kisah yang sangat menginspirasi dan menyadarkan saya bahwa Tuhan memberikan sesuatu yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Terima kasih untuk pencerahannya Pak Aji
Tuhan mengabulkan doa kita itu atas apa yang kita butuhkan bukan sesuai yg kita pinta..kenyataannya begitu, makanya kadanga kita merasa Tuhan belum kabulkan, padahal sudah dikabulkan.. Terima kasih mas Fredy