Sebagian orang jawa masih melestarikan budaya dalam memperingati kematian sanak familinya. Kegiatan memperingati hari kematian ini terdiri dari beberapa segmen. Pada hari ketiga setelah kematian, keluarga yang sedang berduka akan mengadakan acara telung dinan (tiga hari). Secara lengkap upacara ritual tradisi mengenang hari kematian di jawa adalah mitung dina (hari ke-7), matang puluh (hari ke-40), nyatus (hari ke-100), mendhak sepisan (satu tahun setelah meninggal), mendhak pingdho (dua tahun sejak meninggal) dan nyewu (hari ke seribu) sebagai pamungkas.
Kebetulan di hari libur dalam rangka tahun baru Imlek bersamaan dengan peringatan satu tahun meninggalnya bapak saya. Hari tersebut bertepatan dengan hari Jum’at, tanggal 12 Februari 2021. Rasa khawatir muncul pada saat mendiskusikan acara mendhak di jawa tersebut. Pembicaraan lebih terfokus kepada berani tidak pulang kampung sehubungan dengan status pekerjaan. Keberadaan orang tua (ibu) sendirian di kampung, muncul rasa trenyuh jika dalam kegiatan tersebut tidak didampingi.
Semua ASN memperoleh pemberitahuan akan adanya larangan melaksanakan perjalanan ke luar kota. Namun apa boleh buat demi menemani mbah putri melakukan tradisi mendhak pisan, saya beranikan diri untuk pulang ke Gunungkidul Yogyakarta.
Terlahir sebagai anak pertama dalam keluarga Kismowiharja, maka beban yang menempel di pundak harus dipikul. Kuberanikan diri ini, dengan mengucapkan Basmallah dan sepengetahuan pimpinan sekolah, berangkatlah saya ke kampung halaman. Semoga niat yang tulus untuk menemani ibu dalam melaksanakan bentuk baktinya kepada almarhum mendapat Ridho Allah SWT.
Tradisi mendhak di dusun Sawahan sangat sederhana, kegiatan pada intinya hanya dua (1) mengundang sejumlah santri untuk tahlilan dan; (2) ziarah kubur. Kondisi pandemi melarang kegiatan berkumpul, akhirnya tahlilan hanya mengundang 12 orang. Konsumsi dan berkat (buah tangan khas tahlilan) yang sudah di programkan oleh keluarga hanya diantar dari rumah ke rumah.
Makanan ataupun buah tangan yang disiapkan oleh keluarga dimaksudkan untuk sedekah. Kelaurga meniatkan sedekah tersebut akan bermanfaat kepada anggota keluarga yang telah meninggal. Manfaat yang dimaksudkan di sini adalah pahala yang diperoleh dari sedekah tersebut mengalir ke orang yang telah meninggal.
Motivasi keluarga tuan rumah selain untuk memperoleh pahala dari Allah SWT adalah untuk menghormati tamu. Sebagaimana yang sudah kita pahami bersama tamu adalah raja, nah tamu yang hadir di acara mendhak lebih utama lagi. Mereka datang untuk mengirimkan doa kepada orang yang telah meninggal, dalam hal ini bapak saya.
Oleh karenanya saya bersama dua orang adik pergi berbelanja ke pasar kabupaten. Letak pasar kabupaten berada di jantungnya kota Wonosari. Jarak antara rumah dengan pasar tersebut kurang lebih 16 kilometer.
Barang yang telah didaftar sebelumnya melalui koordinasi keluarga menjadi tujuan utama kami mendatangi pasar kabupaten. Mungkin pembaca sekalian penasaran, “kenapa tidak di kios atau pasar yang terdekat dari rumah?”.
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah pada saat kami tiba hari pasaran sudah terlewatkan di pagi harinya. Bagi kami yang tinggal di dusun kios ataupun pasar terbatas jam bukanya. Hari pasaran di gunungkidul sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya. Waktu yang mepet menjadi alasan mengapa memilih pasar yang lebih jauh dari rumah.
Barang yang dibutuhkan sudah terkumpul, saatnya kami pulang dan menyusunnya menjadi buah tangan. Alhamdulillah persiapan sudah 100%, konsumsi dan buah tangan sudah siap. Semua keluarga Kismowiharjo dikerahkan tentu saja dibantu tetangga untuk mengantarkan sedekah, selain yang nanti akan dibawa santrinya langsung.
Kegiatan tahlilan pun terselenggara sesuai program. Sebagai warga negara yang taat, kami berusaha untuk mematuhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Walaupun kami lahir dan besar di dusun tersebut, namun kami bukan lagi warga dusun tersebut. Petuah orang tua tertanam kuat bahwa di manapun kita berada wajib menjunjung segala aturan yang ada. Kebijakan di padukuhan sawahan dalam hal berkumpul dimasa pandemi tidak boleh lebih dari 15 orang. Dan kami hanya memberanikan diri mengundang 12 santri termasuk ustadnya.
Di hari selanjutnya kami melakukan ziarah kubur. Kami menyadari tradisi yang berlangsung secara turun temurun ini kadang dipandang menyalahi aturan agama. Namun kami tanamkan di dalam keluarga besar kami bahwa apapun yang kami lakukan semata-mata karena Allah SWT.