Oleh: Dionisius Agus Puguh Santosa, SE, MM
Perasaan pesimis seringkali menghinggapi hati para penulis; bukan hanya penulis pemula, karena para penulis senior juga tentu pernah mengalaminya, pun ketika mereka sedang berada dalam masa-masa ketenaran atau namanya sedang melambung tinggi.
Menurut KBBI disebutkan bahwa kata “pesimis” bermakna orang yang bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik (khawatir kalah, rugi, celaka, dan sebagainya); orang yang mudah putus (tipis) harapan. Makna ini tentu berusaha mencakup apa yang hendak diwakili oleh kata pesimis tadi.
Perasaan pesimis memang bisa muncul begitu saja tanpa diminta. Perasaan ini pada awalnya mungkin masih terasa remeh atau sepele saja. Namun terkadang kita menjadi sulit untuk memahami, manakala perasaan pesimis ini semakin lama semakin melebarkan daerah jelajahnya dalam diri kita.
Bagi seorang penulis senior, perasaan pesimis bisa saja hinggap manakala dia merasa khawatir atau takut jika karya terbarunya nanti tidak laku di pasaran atau tidak diterima oleh pembaca setianya. Atau perasaan pesimis itu muncul kalau-kalau pengalaman buruk misalnya “pembajakan karya” yang pernah dialami sebelumnya, akan terulang lagi pada hasil karya berikutnya.
Bayangkan saja jika sekelas penulis senior pun tidak lepas dari hinggapan rasa pesimis yang demikian, apalagi untuk saya dan Anda yang masih merasa atau mengakui diri sebagai para penulis yunior ini? Bukankah rasa pesimis itu ibarat “telur di ujung tanduk” yang sewaktu-waktu dapat saja terjatuh ke bawah atau menggelincir entah kemana.
Menimang Pesimis, Memeluk Harapan
Di antara rasa pesimis yang boleh ada, setiap orang tentu dikaruniai harapan oleh Sang Pencipta. Ya, harapan agar kita terus melangkah dan melangkah, meski tak jarang dalam situasi ini kita begitu dilingkupi tanda tanya besar, “Saya harus berjalan kemana lagi?”
Jika situasi itu kita terapkan dalam aktivitas menulis yang sedang kita jalani, tentu pertanyaan senada akan terucap dari bibir kita, “Saya harus menulis apalagi?” Sebuah pertanyaan yang pasti pernah hinggap dalam benak setiap penulis; tak terkecuali penulis senior sekalipun!
Tentu jalan satu-satunya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul dalam situasi dan rasa pesimis ini akan lebih baik jika kita temukan dalam keheningan doa kita masing-masing. Sebab saya pernah mengalaminya dan saya pernah mengalaminya berkali-kali.
Dan hasilnya sungguh ajaib dan diluar ekspektasi saya. Justru di dalam keheningan doa tersebut saya mendapatkan ilham dan tuntunan yang menyejukkan dari-Nya. Hal-hal ajaib selanjutnya pun terjadi secara bertubi-tubi: entah bagaimana ceritanya saya kemudian meraih beberapa buku yang tertumpuk di rak sederhana perpustakaan saya; atau saya kemudian membuka halaman Google searching lalu menemukan beberapa referensi bacaan yang bergizi di sana; di saat yang berbeda saya bisa jadi tiba-tiba pergi bertandang ke toko buku dan membaca beberapa buku yang saya temukan sekelebatan mata.
Semua mengalir begitu saja hingga akhirnya saya kembali ke depan laptop kesayangan dan tiba-tiba merasa siap untuk menuliskan semua ide dan gagasan yang telah memenuhi seluruh isi di kepala saya. Kalimat demi kalimat hadir sambung menyambung satu sama lain. Paragraf demi paragraf yang terwujud seolah selalu menyisakan seruan yang sama, “Ayo, lanjutkan aku di paragraf berikutnya!”
Lalu, di saat yang lain, manakala kita teringat kembali akan rasa pesimis tadi, mendadak kita mencari-cari, kemana rasa pesimis itu pergi? Mengapa rasa pesimis itu tak ada lagi kini?
Demikianlah salah satu proses yang harus dijalani oleh seorang penulis saat berkarya. Proses yang mungkin tidak selalu bisa dialami oleh setiap pribadi; barangkali karena memang dia punya alasan tersendiri mengapa tak ingin mengalaminya. Mungkin dirinya masih mampu memegang keyakinan bahwa menjalani aktivitas menulis tak perlu dibebani oleh rasa pesimis yang tak perlu.
Masihkah Anda sanggup menghindari atau meniadakan rasa pesimis yang mungkin teralami saat sedang menulis? Mungkin jawabannya iya mungkin juga tidak. Namun bila harapan itu selalu dapat Anda pastikan tetap berada dalam pelukan, maka rasa pesimis itu hanya akan menjadi “bumbu pemanis” yang akan melengkapi setiap langkah dan perjalanan.
Banjarmasin, 15 Februari 2021