Si Cerdas Istimewa

Cerpen, Fiksiana54 Dilihat

Oleh : Heri Setiyono, S.Pd

 

“Sebenarnya, kita semua adalah guru, entah kita menyadarinya atau tidak.” – Maya Angelou

Kutipan itu adalah pengingat bahwa saya seorang guru, semua wali murid dan orang tua adalah guru para murid juga guru. Dan satu muridku  yang membuatku terkesan, dialah Ghazali, si murid cerdas istimewa.

Lolos usia SMA kuhabiskan waktuku hidup di Kota Gudeg, Yogyakarta. Aku tinggal di sebuah kos-kosan kecil bersama kelima kawan yang berbeda suku dan budaya. Tidak heran, aku  yang suka belajar bahasa menjadi cepat tertarik dengan kawan-kawan yang selalu berbahasa daerahnya di setiap kesempatan. Jadilah aku memiliki kemampuan mengerti dan mampu berbahasa sunda, minang hingga bahasa jawa ngapak yang sangat lucu di telinga.

Kemampuanku berbahasa membuatku mudah bergaul. Sebagai guru les privat pun kemampuan ini menjadi kunci larisnya usaha sampinganku. Karena hal itu nampaknya membuat kedekatan dan kenyamanan belajar menjadi tercipta.

Tidak kurang dari sepuluh tempat setiap minggunya kudatangi untuk mengajar les. Dari les privat itulah aku berjodoh, bertemu dengan pria kecil yang tampan rupawan lagi cerdas luar biasa. Ghazali namanya. Seorang anak usia sembilan tahun yang tergolong lebih dari jenius. Nilai IQ-nya jauh melebihi tingkat anak-anak lainnya yang berkisar 100 hingga 120. Karenanya dia termasuk anak cerdas istimewa di sekolahnya.

Ghazali mempunyai kemampuan menyerap ilmu yang sangat cepat, sambil lalu menjuggling bola sepaknya pun ia cepat mengerti konsep-konsep perhitungan cepat operasi pembagian pecahan. Hanya saja ia memiliki energi yang luar biasa banyak, aktifnya bukan main dan ketika berbicara kecepatannya menyamai laju Michael Schumaker legenda pembalap F1. Terkadang aku berpikir apakah itu implikasi dari kemampuannya bisa memaksimalkan daya otaknya.

Karena itulah setiap pertemuan strategiku mengajar harus selalu berbeda, kumpulan latihan yang biasa harus dikembangkan lebih menantang. Matematika menjadi pelajaran realistic yang mengasah logika bernalar. Dalam mengajar sains dan bahasa Indonesia harus dengan pembingkaian dan tumpukan pengetahuan pendukung. Sebab tidak jarang muriku ini akan menguji dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengusik nalarnya. Yang jelas pertanyaan itu sering tidak terpikirkan oleh anak regular lainnya.

“Mister,” panggilnya terhadapku. “Air liur dan amylase di pankreas memangnya sama?” tanyanya. Pertanyaan seperti ini jarang bahkan tidak pernah ditanyakan oleh muridku sebelumnya. Bahkan hingga kini pun aku mengajar di sekolah kurasa tidak ada yang  bertanya seperti Ghazali ini.

Kedua enzin itu berbeda memang tetapi di sekolah dasar tidak dibahas hingga mendalam, mungkin baru di SMA akan mendapatkan perbedaan itu. Itu pun kebanyakan menganggap sama. Maka, jadilah aku menjelaskan keduanya yang sama dalam fungsi namun nyatanya berbeda.

Pertanyaan lain pun kadang membuatku harus mengumpulkan informasi dari literatur terlebih ketika ia bertanya tentang sejarah, pergerakan melawan penjajah dan materi ilmu pengetahuan sosial lainnya. Terus terang saja aku lemah di pelajaran itu sedari dulu.

Jadilah aku terkadang yang malah diajari Ghazali untuk menjadi pembelajar sejati, belajar dari buku-buku untuk selanjutnya meng-upgrade kapasitas diri. Amboi, aku kembali belajar banyak untuk hanya untuk memeberikannya les privat selama satu setengah jam.

Hal yang menjadi unik adalah. Ghazali selalu meminta cepat menuntaskan pembelajaran untuk selanjutnya mendengarkan dongeng dan ceritaku. Hal yang selalu membuatnya betah belajar denganku. Awalnya aku hanya bercerita dengan masa kecilku yang dekat dengan dunia kali. Bermain di sungai, menangkap ikan dan berenang persis acara televise Si Bolang. Tidak terduga ia sangat menikmatinya, memang kehidupannya sangat jauh dari nuansa alam desa, semenjak lahir berada di kota dengan hiruk pikuk kehidupan.

Maka dari itu ia selalu menagihku bercerita tentang apa saja di akhir sesi belajar. Hal itu menjadi kesempatan buatku memberikan cerita-cerita softskill, mengajarkan nilai lebih dari sekedar kecerdasan yaitu keterampilan dan mental karakter baik lagi kuat. Terkadang aku sering mengarang dongeng dan meramunya menjadi cerita. Ghazali suka dan mampu membuatnya menyimak dengan seksama.

Ghazali adalah mutiara yang membutuhkan dipoles. Dengan kemampuannya ia bisa menjadi generasi yang sangat  luar biasa. Hanya saja ia tidak akan melirik jika gurunya tidak mampu menyajikan  dengan menarik. Ia akan berlarian, bermain bola atau kegiatan apapun menyalurkan energinya. Sikap cuek yang kadang membuat jengkel guru di kelasnya.

Tidak heran jika guru di sekolahnya menyarankan agar orang tuanya memanggil guru les. Bukan karena nilainya jelek, karena memang tidak jelek juga tidak pula baik sekali, karena rerata delapan puluh di tiap pelajaran. Akan tetapi karena agar lebih bisa mengeluarkan potensi sebenarnya.

Seusai memberikan les sebenarnya aku ingin segera pulang, maklumlah rasanya letih belum benar-benar rehat sepulang kuliah hingga malam memberikan les privat di beberapa tempat. Namun, Ibu ghazali justru mengajakku mengobrol, membicarakan tentang perkembangan anaknya. Aku pun melayani sebagai professional servis dan terkadang pertemuan les privat menjadi lebih lama.

Dari obrolan itu lebih banyak kepada konsultasi untuk kebaikan anaknya. Aku pun berusaha mendengarkan dengan baik dan jika dimintai saran maka kuberikan dengan segenap pengetahuan yang kutahu. Dari situlah aku dapati ternyata beberapa sikap berhubungan langsung dengan karakter dan perilaku sang ibu baik maupun buruk. Maka, untuk perkembangan belajar anak dibarengi juga dengan perubahan sikap dan perilaku orang tuanya. Semula yang kurang care dengan sekitar berubah menjadi lebih peduli. Sering mengacuhkan orang lain berubah memperhatikan. Dan segala yang dirasa kurang baik diperbaiki. Ternyata perubahan yang dilakukan orang tuanya terhadap diri sendiri berimbas pula kepada sang anak.

Mungkin memang benar jika kekuatan terbesar untuk membentuk anak kita menjadi baik, cerdas, dan taat adalah dengan kita menata qolbu kita sendiri lebih baik. Karena pengalaman inilah hingga kini aku selalu berusaha agar orang tua wali murid di sekolah terutama di kelasku mengajar untuk selalu memanajemen qolbu karena perubahan karakter anak bersumber dari energi hati orang tuanya. Nah !

 

Heri Setiyono, S.Pd, educator, juru tulis, penikmat tokoh dan pemustaka

NPA anggota PGRI 10094000266

Tinggalkan Balasan