“Lur arep ning ndi ?” Lur ( saudara) mau ke mana ?
“Mengarep”, artinya ke depan, atau berjalan maju.
Itulah ciri khas percakapan masyarakat Samin, mereka tidak menjawab pada tujuan mereka pergi karena kalau mereka singgah di suatu tempat, berarti “dia“ yang ditanya itu tidak terbuka alias bohong. Masyarakat Samin jujur apa adanya.
Orang Blora yang tinggal di kota pada umumnya sangat menghormati orang Samin. Kadang orang memandang rendah orang Samin, menganggap bodoh, tolol, dungu, dan sebagainya kepada orang Samin.
Padahal orang Samin adalah orang yang jujur, apa adanya, dan menganggap semua orang sedulur (saudara). Mereka orang yang suka damai dan tidak mau berurusan dengan urusan orang. Jika dimintai tolong mereka akan menolong dengan penuh kerelaan dan ketulusan hati.
Sebagai orang Blora, di dalam keluarga kami diajarkan untuk menghormati siapa saja terlebih orang Samin. Kami mempunyai langganan arang dan aneka hasil bumi dari orang Samin. Mereka biasa berjualan arang, daun jati, hasil palawija dan dijual di kota. Untuk menjual dagangannya mereka berjalan berkilo–kilo meter.
Maklum, daerah Samin ada di desa pedalaman Kelopo Duwur, atau Jejeruk, dan daerah pedalaman hutan jati Blora.
Bagaimana Mengenali Orang Samin
Biasanya mereka berbahasa Jawa Ngoko, orangnya sederhana dan apa adanya. Jika memanggil memakaai sebutan Lur=sedulur (saudara) dan itu tidak dibuat-buat. Orang yang telah terbiasa akan tahu itu orang Samin atau bukan.
Mereka sangat jujur, jika berjualan arang kalau arangnya dari kayu mahoni, atau pohon petai china (mlanding) ya pasti asli, maka orang Blora termasuk keluarga saya senang membeli bahkan berlangganan dengan orang Samin, karena kualitas dagangannya terjamin.
Mereka orang yang tahu bersyukur, sesuatu yang baik yang diterimanya akan diingat dan dibalasnya. Contoh, kalau kami beli dagangan orang Samin, kami tahu bahwa mereka berjalan sangat jauh dari desanya mungkin berkisar 20-25 km, kami biasanya membuatkan kopi atau teh serta memberi sarapan pagi.
Aduh, betapa gembira tanggapan mereka, spontan memuji “Sing Gawe Urip alias Sang Pemberi Hidup, Tuhan Yang Mahakasih akan memberi rejeki dan memberi berkah sedulur”, katanya. Mereka menganggap kami saudara.
Tak jarang kami memberi lebih, uang dari apa yang ditawarkan karena kami tahu bahwa mereka tulus, jujur, apa adanya, dan tak pernah bohong. Saking polosnya hasil kerjanya membakar arang dihargai secukupnya untuk beli bahan makan, tidak lebih.
Mereka amat sederhana dalam berpikir dan bertindak, hidupnya dipasrahkan pada Hyang Murbeng Jagad. Maka kami sebagai orang yang tinggal di kota juga tahu diri dan menghargai mereka.
Kami percaya dengan berbagi rejeki pada orang Samin, nanti akan mendatangkan rejeki yang melimpah.
Bahkan keluarga kami sering mengumpulkan pakaian pantas pakai dan barang-barang yang masih baik dan memberikan kepada mereka.
Sungguh mereka sangat berterima kasih. Kami tidak ingin dibalas atas pemberian kami, tetapi orang Samin selalu membalas budi dengan mengirimkan hasil panen dan apa saja yang dimilikinya. Mereka siap berbagi, tidak rakus dan menganggap saudara pada semua orang.
Orang Samin Sakti
Konon cerita buyut dan nenekku orang Samin sangat Sakti (punya kemampuan lebih). Pernah di zaman penjajahan Jepang ada pertemuan di Cepu dan mengajak tokoh Samin. Si tokoh itu bilang: “Lungo disik Lur mengko tak susul” (Pergi dulu saudara nanti saya menyusul). Eeee orang yang lain pergi naik kendaraan ke Cepu, tak tahunya si tokoh Samin sudah datang duluan.
Ketika ditanya, naik apa? Dia jawab, “Jalan kaki dan itu sungguh tidak mungkin secepat itu.“
Beredar cerita sewaktu saya kecil, ada dalang yang diminta orang Samin untuk main di desanya dalam rangka “sedekah bumi” atau biasa disebut tegah desa atau “sedekah desa“. Dalang itu sempat berpikir, kalau saya tidak dibayar tidak jadi soal, tetapi kalau niaga (penabuh gamelan) tidak dibayaar ya kasihan. Namun sang dalang tidak berani menolak.
Akhirnya pergilah dalang serta para niaga itu di salah satu daerah orang Samin. Mereka heran, makanan melimpah ruah seperti air mengalir, tak tahu darimana asalnya.
Setelah pertunjukkan selesai dalang dan para niaga memang tidak dibayar, mereka dibekali makanan yang tempatnya dibuat dari janur kuning, seperti umumnya kalau orang punya hajatan di desa di masa lampau.
Lalu di tengahnya diberi besek (tempat yang terbuat dari bamboo) dan dipenuhi aneka makanan. Penatua Samin berpesan, “Tolong makanan ini dibawa pulang ya jangan dibuka di tengah jalan ya, bukanya di rumah saja.
Bagi mereka yang taat membuka makanan hingga di rumah, melihat hal yang tak terduga di antara besek dan tempat penyangga yang terbuat dari janur itu di bawahnya ternyata ada emasnya.
Bagi yang tidak taat benda itu tetap menjadi kunyit. Percaya tidak percaya itu yang terjadi. Maka orang tidak pernah sembarangan dengan orang Samin. Karena mereka itu digdaya/sakti, punya ilmu kanuragan lebih.
Hal-hal yang Lucu yang Terjadi pada Orang Samin
Pernah sewaktu saya SMP melihat persidangan orang Samin penjual arang yang dituduh oleh pihak Perhutani mencuri kayu.
Orang Samin itu didesak untuk mengaku. Karena dia tidak melakukan ya dia bersikeras tidak mengakui. Katanya dalam Bahasa Jawa, “Aku nggawe areng nggango kayu soko tanduranku dewe, kowe koq ngarani sing ora becik. ” (saya membuat arang dengan kayu dari pohon saya sendiri kok kamu menganggap saya tidak benar).
Rupanya rumah orang Samin itu di pinggir hutan, dan ada sebagian kayu yang terambil milik Perhutani. Jawaban dia :”Sing nggawe urip wae ora nglarang-aku kok kowe nglarang-nglarang opo kuasamu?“ (yang memberi hidup saja tidak melarang saya kok kamu melarang saya, apa kekuasaanmu?)
:”Ini menyalahi aturan negara, kamu mencuri“.
“Mana yang namanya negara? Suruh kesini? Wong semua ini diciptakan Tuhan untuk kesejahteraan umatnya kok kamu nuduh saya mencuri, kualat lho kamu”. Sambil dia tunduk sujud mencium tanah.
Akhirnya persidangan itu tak terselesaikan, karena memang orang Samin itu tidak bersalah, tetapi salah satu dari penuntut itu meninggal, entah kebetulan atau tidak, orang bilang, “Orang Samin kalau disakiti hatinya itu malati/orang seperti kena kutukan.
Saya pernah sewaktu praktek magang sebagai calon guru bertugas di daerah orang Samin.
Nah, kalau di sekolah sepeda tidak usah dikunci, tak bakalan hilang, kalau dikunci, mereka jadi tersinggung.
Rumah orang Samin juga tidak pernah ditutup, mereka juga tidak pernah kecurian, karena kalau ada yang mencuri mereka tidak akan selamat. Sewaktu saya selesai magang, ya ampun tak terkira saya mendapat bingkisan aneka buah dan palawija dari masyarakat sekitar.
Kesan saya mereka sungguh hidup damai, mencintai alam, mereka membiarkan buah hingga matang, dan tidak memetiknya, tetapi percaya menjadi haknya kalau buah itu jatuh sendiri, berarti Sang Murbeng Jagad, mengizinkan mereka untuk memakannya.
Mereka orang sederhana yang tahu batas, tahu berkata cukup memperlakukan alam dengan bijak dan bersahaja, mereka berbagi apa yang mereka miliki rukun dengan tetangga dan bersaudara, serta percaya pada orang lain.
Tentu mereka tidak suka pada penguasa yang sewenang-wenang. Apalagi di zaman Belanda dan Jepang yang meminta mereka membayar pajak, mereka tidak mau. Konon mereka menyembunyikan uang diletakkan di dalam kendi tanah dengan menguburkannya di dalam tanah. Pernah ada tentara Jepang yang kasar dan memukul mereka, eee sebentar kemudian dari kejadian itu tentara Jepang terpeleset di sumur dan meninggal dunia. Hal-hal yang tidak masuk nalar, tetapi terjadi, ini yang membuat orang Samin disegani.
Oleh Pemerintahan masa lalu, baik pada zaman Belanda, Jepang, yang memberi label pada orang Samin sebagai orang gila, tolol, dan sebagainya karena mereka tidak berhasil membujuk orang Samin untuk membayar pajak. Bahkan pemerintah/pihak Perhutani juga dibuat keki dengan orang Samin yang tidak mau menyerahkan tanahnya kepada Pemerintah.
Dari mana Orang Samin berawal?
Masyarakat Samin ada dan diprakarsai oleh seorang tokoh yang bernama Kiai Samin Surosentiko, yang lahir di Ploso, wilayah Blora, Jawa Tengah, tahun 1859. Ia ditangkap oleh Pemerintah Hindia Belanda karena tidak mau membayar pajak dan tidak mau ikut kerja paksa. Ajarannya dipatuhi oleh orang-orang Samin yang juga dijuluki sebagai Sedulur Sikep.
Masyarakat Samin adalah salah satu kelompok masyarakat adat yang tinggal di pedalaman Blora, Jawa Tengah. Sebagai masyarakat yang masih memegang teguh adat dan tradisi, orang Samin memiliki ajaran sendiri. Salah satu ajarannya adalah menjunjung tinggi kejujuran dan bersikap rendah hati, menghargai sesama, dan tidak sombong.
Karena ajaran inilah begitu polosnya orang-orang Samin justru sering dianggap bodoh, tolol, bahkan gila. Walaupun begitu masyarakat adat Samin masih tetap mempertahankan nilai-nilai luhur yang diyakini sepenuh hati dalam hidupnya
Dalam kehidupan kemasyarakatan dan pergaulan sehari-hari baik terhadap sesama Samin maupun orang luar, masyarakat Samin memegang prinsip, “ono niro mergo ningsung, ono ningsung mergo niro” (saya ada karena kamu, kamu ada karena saya).
Karena prinsip itu, orang Samin tidak mau menyakiti orang lain, tidak mau mengambil hak orang lain, tetapi mereka juga tidak mau hak-hak mereka dirampas.
Di Indonesia banyak sekali suku yang menghidupi nilai nilai luhur seperti suku Badui, Tengger, dan masih banyak lagi sebagai masyarakat adat.
Semoga kita yang hidup di Tanah Air tercinta ini menghargai dan melindungi mereka supaya tidak tersingkirkan, melainkan merangkul mereka dengan penuh cinta kasih. Karena dari mereka kita banyak belajar tentang nilai-nilai luhur yang muncul spontan tulus, apa adanya. ***
Oleh Sr. Maria Monika SND untuk Inspirasiana
Saya baru tahu ya…Terima kasih Sr, tulisan bermanfaat..