Titik Balik: Duh, Ki Rangga!

Cerpen109 Dilihat

“Cepat naik! Cepaattt!”

Teriakan keras memekakkan telinga.

“Ayo! Cepat! Yang sigap!”

Teriakan pemompa semangat kembali terdengar. Sesekali diikuti ringkikan kuda.

“Bagaimana bisa perang kalau naik kuda saja kamu tidak becus! Ayo!”

“I… Iya, Ayahanda.”

Terdengar suara terbata-bata dari arah kandang kuda. Dengan tubuh gemetar, ia berusaha terus berlari menuju kuda yang diikat di sudut halaman belakang istana. Ini bukan pertama kalinya. Sudah hampir seminggu ia diperlakukan seperti ini oleh ayahnya. Ia tidak menyerah. Dengan tertatih, ia kembali melangkah.

Hingga tiba-tiba saja…

‘Bruk!’

Tubuh lemahnya terjerembab di rerumputan. Ia tak sadarkan diri.

Keesokan harinya di sebuah kamar.

“Bangun, Nak. Maafkan Ayahanda.”

Suara pelan terdengar sangat menenangkan. Namun tubuh tak sadarkan diri tersebut masih belum juga membuka mata.

“Bangun, Hina Manu. Maafkan Ayahanda. Ayahanda yang salah. Tak seharusnya Ayahanda memaksamu menjadi seorang ksatria. Bagaimanapun kamu adalah anak perempuan. Tak seharusnya Ayahanda memaksamu menjadi seperti anak laki-laki.”

Suara terisak tersebut tak kunjung membangunan Hina Manu. Sementara di salah satu sisi tempat tidur besi perak, tampak permaisuri duduk bersimpuh. Air matanya terus membanjiri selimut putih yang menutupi tubuh puterinya. Tak terkecuali saudari Hina Manu, Hina Hentar. Ia pun bersimpuh berusaha menguatkan ibundanya.

“Bangun, Manu. Ayahandamu sudah berjanji tidak akan memaksamu lagi. Bangunlah, Nak!” kata permasisuri membelai lembut kepala Hina Manu.

Isak tangis terdengar bersahutan. Sesaat berhenti ketika seorang pendeta istana kerajaan Kahuripan di kaki Gunung Sasak tersebut melangkah masuk atas perintah raja, Prabu Aria Pelabu. Ia selanjutnya melakukan ritual pengobatan. Berhasil.

“Ibunda…”

Suara lirih Hina Manu melahirkan lengkung di bibir raja, permaisuri, dan saudarinya. Mereka pun akhirnya berpelukan. Kamar luas yang penuh hiasan dari perak tersebut mendadak diselimuti keharuan.

“Syukurlah. Maafkan Ayahanda, Hina Manu.”

Hina Manu hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan ayahandanya.

Sejak kejadian tersebut, tak tampak lagi suara derap kuda di halaman belakang istana. Tak ada lagi teriakan memaksa seseorang untuk mengejar dan menungganginya. Keadaan istana kembali seperti semula. Prabu Aria Pelabu kembali fokus memerintah kerajaannya. Namun, ia tetap tidak bisa melupakan keinginan permaisurinya untuk memiliki seorang anak laki-laki sebagai penerus tahta kerajaan. Setiap hari ia berdoa, tetapi tidak menunjukkan hasil juga. Semakin hari ia kian terbebani.

“Kena kamu!”

Raja berteriak kegirangan ketika berhasil menangkap anak perkutut berbulu putih. Ia pun merawatnya hingga besar dan tumbuh menjadi burung perkutut yang berbulu indah.

Tiba-tiba…

“Aduh!”

Raja berteriak kesakitan ketika seekor ular menggigitnya. Rasa sakit tersebut membuatnya terkejut dan terbangun. Sejenak kemudian ia merenung dalam gelisah.

“Ya Tuhan… Kenapa burung perkutut tersebut berubah menjadi ular berbisa? Apa arti mimpi hamba ini?”

Mimpi buruk tersebut terus membayangi Prabu Aria Pelabu. Untuk menghilangkan ketakutan akan mimpi tersebut, ia mengajak keluarga dan rombongan dari istana untuk menangkap ikan sekaligus berekreasi ke sungai Dodokan. Kegiatan ini adalah satu-satunya yang biasa dilakukan oleh raja ketika sedang gundah gulana.

Matahari masih menyelinap di antara rimbun pohon mahoni ketika rombongan tiba di tepi sungai dangkal berarus deras tersebut. Beberapa ikan tampak berloncatan di atas bebatuan yang muncul di permukaan air. Tampak rombongan raja sedang menapak jalan setapak menuju arah badan sungai.

“Kita turun untuk mandi dulu di sungai atau bagaimana, Baginda?”

Raja tidak mengindahkan pertanyaan patihnya. Ia terdiam di atas tandu yang diangkat pengawal istananya. Ia hanya melepaskan pandangan ke arah muara sungai. Di bagian tersebut, ia melihat beberapa anak laki-laki sedang menangkap ikan menggunakan jaring dari bambu. Sesekali terdengar tawa lepas mereka. Raja pun tersenyum. Salah satu dari mereka adalah dirinya, di masa lalu. Masa saat ia masih anak-anak dan belum waktunya mengenal hal-hal rumit tentang kerajaan dan keluarga, termasuk keturunan seperti sekarang ini.

Rombongan berhenti sejenak di pinggir sungai menunggu perintah raja yang masih asyik bermain dengan ingatan masa kecilnya. Tak lama kemudian, raja pun tersadar dan menunjukkan jarinya ke arah muara. Rombongan pun kembali bergerak. Kali ini ke arah muara.

Setiba di muara, rombongan langsung menceburkan diri untuk menangkap ikan setelah pendeta istana menyelesaikan ritualnya. Tak terkecuali permaisuri dan kedua puterinya. Di tengah keasyikan mereka menangkap ikan di muara, tiba-tiba Hina Manu berteriak.

“Lihat, Ayahanda! Ada peti hanyut!”

Raja dan anggota rombongan lainnya menghentikan aktivitas penangkapanannya. Pandangan mereka mengikuti arah telunjuk Hina Manu. Mereka terkejut melihat sebuah peti kayu berukir indah terapung-apung di salah satu bagian muara, tak jauh dari Hina Manu.

“Patih! Angkat peti itu!”

Patih pun mengangkat lalu membuka peti tersebut. Raja dan yang lainnya membelalakkan mata saat melihat isi peti tersebut. Seorang bayi tampan dan sehat tergolek berselimut kain sutera dengan alas tidur kain songket. Bayi mungil tersebut tampak mengisap ibu jarinya.

“Lihat, Kanda! Bayi ini lucu sekali. Jika Kanda berkenan, saya sangat ingin merawatnya.”

Terdorong oleh permintaan permaisurinya yang sangat mendambakan anak laki-laki, raja pun memerintahkan pendeta untuk memberkati bayi tersebut sebelum diangkat menjadi anak. Bercampur dengan kegelisahan akan mimpi buruknya, raja menceritakannya kepada pendeta istana.

“Ampun, Baginda. Sebaiknya Baginda membatalkan niat untuk mengangkat bayi ini menjadi anak.”

“Lihat, Kanda! Bukankah sudah lama kita memimpikan mempunyai anak laki-laki? Saya sangat ingin merawatnya, Kanda.”

Mendadak kegelisahan berkecamuk di dada raja. Ia terjebak dalam dilema, dua pilihan yang membingungkan. Di satu sisi, ia ingin mengikuti saran pendeta, tetapi di sisi lain, ia juga tak tega melihat permasurinya yang sangat menginginkan bayi tersebut. Terlebih melihat pancaran kebahagiaan di wajah Hina Manu dan Hina Hentar. Keduanya tampak sekali menginginkan bayi tersebut menjadi adik mereka.

Hingga akhirnya raja pun mengambil keputusan. Ia mengangkat bayi tersebut menjadi anak dan memberikan nama Ki Rangga. Di istana, Ki Rangga diasuh oleh permaisuri layaknya anak kandung. Ia dibekali banyak ilmu pengetahuan. Tak terkecuali ilmu bela diri dan strategi perang yang diajarkan oleh raja langsung dan perwira pilihan kerajaan.

Tahun pun berganti. Ki Rangga akhirnya tumbuh dan berkembang menjadi pemuda yang tampan dan gagah berani. Oleh raja ia dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari golongan bangsawan istana. Setelah menikah, ia diberikan kekuasaan di wilayah timur kerajaan Kahuripan. Bersama istri dan pengawal, Ki Rangga mulai menyusun kekuatan. Dengan kesaktian yang dimilikinya, ia pun berhasil melebarkan sayap kekuasaan. Kekuasaannya pun hampir menyamai raja Kahuripan, Prabu Aria Pelabu, ayah angkatnya.

Di balik pernikahannya yang tampak bahagia, diam-diam Ki Rangga masih menyimpan perasaan cinta kepada kedua kakak angkatnya, Hina Manu dan Hina Hentar. Untuk memuluskan rencananya, ia seringkali berkunjung ke Kahuripan dengan alasan urusan kerajaan.

Hingga suatu ketika saat sedang berkunjung ke kerajaan Kahuripan, ia diam-diam menyelinap masuk ke dalam kamar Hina Manu dan Hina Hentar. Keduanya terperanjat ketika melihat adik angkatnya tersebut berdiri di balik pintu yang telah ditutup. Dengan kesaktiannya, ia berhasil memperdaya keduanya. Kejadian tersebut berulang dan akhirnya didengar oleh Prabu Aria Pelabu.

“Dasar anak tak tahu diuntung! Kubunuh kamu!”

Dengan beringas raja menyerang Ki Rangga. Serangan demi serangan bisa diatasi Ki Rangga dengan baik. Hal tersebut membuat Prabu Aria Pelabu semakin geram. Ia terus menyerang Ki Rangga dengan membabi-buta. Berbagai ilmu ia kerahkan, tetapi Ki Rangga bukanlah lawan yang mudah. Ki Rangga pun gagal diringkus. Berkat kecerdikan raja, suatu hari Ki Rangga berhasil ditangkap dengan menggunakan muslihat berupa jala dan serat sutra dan kemudian dibawa ke istana.

Setiba di istana, ia diikat di bawah sebatang pohon besar untuk dihukum gantung keesokan harinya. Namun sebelum hukuman itu terlaksana, Ki Rangga berhasil melarikan diri dengan menggunakan kesaktiannya.

“Kurang ajar! Sembunyi di mana kamu, Rangga?!”

Berhari-hari Prabu Aria Pelabu menahan geram karena kehilangan jejak Ki Rangga. Beberapa mata-mata yang diutus pun tidak menunjukkan hasil sesuai yang diinginkan. Hingga akhirnya ada berita yang mengabarkan bahwa Ki Rangga bersama istri dan pengawal-pengawalnya melarikan diri ke arah selatan menuju Pantai Tabua, Lombok Tengah. Mengetahui hal tersebut, Prabu Aria Pelabu bergegas meminta bantuan kepada sahabatnya, Raja Pejanggik sebagai pemilik kekuasaan atas wilayah tersebut, untuk menangkap Ki Rangga.

“Maaf, Saudaraku. Kami gagal meringkus Ki Rangga. Dia terlalu sakti bagi prajurit kami,” kata Raja Pejanggik kepada Prabu Aria Pelabu suatu ketika setelah peristiwa penangkapan.

“Tidak apa-apa, Saudaraku. Terima kasih untuk bantuannya. Meskipun gagal, saya sangat menghargai itu. Saya akan memikirkan cara lain untuk menangkap Ki Rangga. Sekali lagi terima kasih,” jawab Prabu Aria Pelabu sambil membungkukkan badan lalu pamit kembali ke kerajaan.

Ia tidak langsung pulang ke kerajaan. Bersama beberapa pengawalnya, ia menuju wilayah Batu Dendeng. Di sana ia meminta bantuan kepada dua orang pendekar yang terkenal sangat sakti mandraguna, Ari Pati dan Neq Dipati.

“Kami langsung berangkat hari ini juga, Baginda. Mohon doa restunya.”

Setelah keduanya berangkat, Prabu Aria Pelabu pun pulang kembali ke kerajaan. Di kerajaan ia menggelar doa bersama rakyat demi keberhasilan dua pendekar yang sedang mengejar Ki Rangga.

Sementara itu di sebuah tempat persembunyian di pantai Tabua, Ki Rangga sedang menikmati ikan bakar bersama istri dan pengawalnya.

“Siapa mereka berani-beraninya melawan Ki Rangga!” katanya sambil menepuk-nepuk dada.

Sesekali terdengar tawa keras penuh kemenangan. Terkadang terdengar kekeh penuh nada cemooh dan ejekan. Semua masih jelas terdengar hingga api unggun yang menerangi tempat tersebut padam seluruhnya. Tak lagi terdengar suara. Hanya debur ombak pantai Tabua yang memecah keheningan malam dan dengkur Ki Rangga yang tidur bersebelahan dengan istrinya di sebuah kamar tidur dan dijaga pengawal-pengawal setianya di depan pintu persembunyian.

Malam kian merayap pekat ketika terdengar suara dedaunan berisik. Dua bayangan berkelebat di sela-selanya. Sesekali menginjak bebatuan. Terkadang mengendap di atas hamparan pasir. Hingga akhirnya senyap pun berubah menjadi riuh.

‘Prang! Prang! Prang!’

Suara senjata beradu. Dua sosok bayangan tersebut terlihat sedang berduel dengan beberapa orang. Bayangan demi bayangan berkelebatan. Cukup lama pertarungan sengit terjadi di dekat persembunyian Ki Rangga. Hingga beberapa saat kemudian, beberapa orang tampak tergeletak. Dua orang tersisa kembali mengendap berusaha masuk lebih dalam ke lubang persembunyian.

Tiba-tiba…

“Ciaatttt!”

Dengan sigap keduanya memasang kuda-kuda. Pertempuran dimulai. Kali ini dua lawan satu. Pertarungan berlangsung sengit hingga keluar dari area persembunyian Ki Rangga.

Langit di timur mulai memerah ketika ketiganya terlihat melayang di atas hamparan pasir. Kelelahan sama sekali tidak tampak di wajah Ki Rangga. Ia masih segar seperti semula saat masih bercengkrama dengan istrinya. Ia terus meladeni serangan demi serangan yang dilancarkan dua orang secara bergantian maupun bersamaan. Cahaya warna-warni tampak saling berganti posisi membentuk kilatan-kilatan yang sanggup menghancurkan apa saja. Tendangan beruntun pun mampu menghasilkan ledakan yang tak terkira. Belum seberapa. Semuanya masih belum bisa melumpuhkan Ki Rangga.

Bahkan saat kedua pendekar tersebut mengeluarkan keris pusaka, kekuatannya tidak mampu merontokkan pertahanan Ki Rangga.

“Kurang ajar! Kalian belum menyerah juga! Rasakan jurus pamungkasku! Ciaattt!”

‘Dhuar! Dhuar! Dhuar!’

Terjadi ledakan beruntun memecahkan batuan di sekitar. Bahkan air di pantai Tabua ikut terangkat sebagian. Kedua orang yang sudah mulai kewalahan pun akhirnya terpental jauh dalam kondisi yang mengenaskan. Beruntung Ki Rangga memedulikan kondisi mereka. Ia yakin kalau keduanya telah meninggal dunia.

Di sebuah siang yang terik, dua orang tampak tertatih menuju sebuah hutan lebat yang jauh dari kawasan pantai. Keduanya akhirnya menemukan tempat persembunyian yang cukup aman dan terlindung. Mereka pun akhirnya memmutuskan tinggal di sana untuk memulihkan luka-lukanya.

“Kanda Ari Pati…”

“Iya, Dinda Neq Dipati? Ada apa?”

“Aku salah mengira tentang kesaktian Ki Rangga, Kanda.”

“Sama, Dinda. Aku pun sama. Aku mengira kesaktian Ki Rangga di bawah kita. Ternyata… Luar biasa! Kita bisa babak belur dibuatnya.”

“Lalu apakah kita akan menyerah, Kanda?”

“Tentu tidak, Dinda. Aku takkan pulang menanggung malu di depan Prabu Aria Pelabu.”

“Benar, Kanda. Baginda raja sudah terlalu baik kepada kita. Tak sepantasnya kita membuatnya kecewa.”

“Saya setuju, Dinda. Lalu… Dinda punya rencana apa?”

“Saya tidak tahu, Kanda. Sepertinya satu-satunya cara mengalahkan Ki Rangga adalah dengan menggunakan muslihat.”

Ari Pati termenung sejenak memikirkan cara terbaik menghabisi Ki Rangga. Hingga akhirnya tercetuslah ide yang menurutnya memiliki kemungkinan berhasil cukup besar.

“Aku punya ide, Dinda.”

“Apa itu, Kanda?”

Seperti takut terdengar oleh orang lain yang tak ada satu pun di hutan tersebut, Ari Pati mendekatkan bibirnya ke telingan Neq Dipati. Mendengar semua penjelasan Ari Pati, berkali-kali Neq Dipati menganggukkan kepala.

“Jadi kapan kita melaksanakannya, Kanda?”

“Segera setelah kita benar-benar sembuh total.”

Keduanya akhirnya kembali membisu dalam posisi semadi masing-masing untuk memulihkan tenaga.

Sebulan kemudian…

Dua orang perempuan cantik terlihat sedang menemani Ki Rangga di sebuah kedai. Dengan bibir tipisnya, salah seorang perempuan merayu Ki Rangga untuk menghabiskan minumannya. Ki Rangga yang tidak pernah bisa tahan terhadap godaan perempuan cantik tersebut terus minum. Entah sudah beberapa botol arak dihabiskannya, tetapi ia masih tetap sadar juga. Ia sama sekali belum merasa mabuk.

“Wah! Kanda kuat sekali. Sudah berbotol-botol masih belum mabuk juga.”

“Hahaha… Pastilah, Cantik. Aku hanya akan mabuk kalau minum di kamar tidur. Hahaha… .”

“Meskipun hanya satu cangkir, Kanda?”

“Jangankan satu cangkir, Cantik. Kalau di tempat tidur, setetes arak saja akan membuatku mabuk. Hahaha…”

Tawa Ki Rangga memenuhi kedai yang perlahan makin sepi tersebut. Beberapa pengunjung mulai meninggalkan tempatnya. Tak terkecuali Ki Rangga dan dua perempuan cantik nan memesona yang sedari tadi setia menemaninya.

“Kita mau ke mana, Kanda?”

“Tenang, Cantik. Malam ini kita akan bersenang-senang di penginapan. Bagaimana? Mau, kan?”

Kedua perempuan berambut panjang tersebut pun mengiyakan ajakan Ki Rangga. Ketiganya pun berjalan menuju penginapan. Sesampai di kamar, Ki Rangga langsung merebahkan tubuhnya hingga akhirnya tertidur. Menyadari datangnya sebuah kesempatan, kedua gadis tersebut bergegas merapal mantra. Dalam sekejap keduanya pun berubah wujud. Kembali menjadi Ari Pati dan Neq Dipati.

Ari Pati segera mencabut keris pusaka miliknya. Dengan segenap kekuatan, ia berusaha menancapkannya di dada Ki Rangga.

Gagal.

Ki Rangga menyadari bahaya yang mengancamnya dan mendadak terbangun.

“Kurang ajar! Ternyata kalian lagi rupanya! Argghhh!” Teriak Ki Rangga sambil menghantamkan kepalan tangan ke arah Ari Pati dan Neq Dipati.

Gagal.

Hantamannya hanya mengenai ruang kosong saja. Keduanya berhasil menghindar berusaha menutup jalan keluar Ki Rangga dari kamar tidurnya. Mereka telah tahu kelemahan Ki Rangga tersebut yang hanya akan mudah dikalahkan jika berada di dalam kamar tidur.

‘Ciaattt!’

Suara teriakan beradu dengan perabot yang berjatuhan. Benar saja. Di dalam kamar tidurnya, kesaktian Ki Rangga tidak ada apa-apanya dibandingkan kesaktian Ari Pati dan Neq Adipati. Setelah melalui pertarungan yang tidak terlalu sengit, Ari Pati berhasil menancapkan keris pusaka ke dada Ki Rangga. Dengan cepat, racun pada keris itupun menyebar ke seluruh pembuluh darah laki-laki tamak tersebut. Tubuh Ki Rangga seketika lebam dan membiru. Tak lama kemudian, Ki Rangga pun tewas dengan mengenaskan.

Berita baik tersebut akhirnya sampai di telinga Prabu Aria Pelabu yang langsung merayakan dengan doa-doa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

***

Ditulis ulang dari cerita rakyat kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat ‘Kisah Prabu Aria Pelabu dan Ki Rangga’ berisi pelajaran bahwa selalu ada balasan bagi seseorang yang tidak tahu terima kasih.

Tinggalkan Balasan