“Masuk” sahut suara dari dalam.
Aku membuka pintu, melihat sejenak ke dalam. Sosok itu duduk dengan tenangnya di kursi kebesaranya, sungguh pemandangan yang indah.
“Masuk, jangan hanya melihat dari pintu saja.” Aku terkejut dengan suaranya, dengan menghela napas kuat aku masuk dan berjalan kearahnya.
“Duduk.” Masih dengan suara yang berwibawa
Tak mau dia mengulang ucapannya aku duduk di kursi di depanya dengan perasaan yang bercampur aduk. Entah kesalahan apa yang membuatku dipanggil. Hening beberapa detik, aku gelisah sebentar – sebentar melihat ke arahnya yang masih saja serius membaca dari laptop yang berada didepannya.
Manik mata kami bertemu, aku gelagapan dibuatnya apalagi senyum dengan menampakkan lesung pipi yang menambah manis senyum diwajahnya. Secepat kilat aku menundukkan wajahku yang pasti saat ini berubah warnanya.
“Tahu kenapa saya memanggil anda.” Ucapnya sambil mengucapkan kalimat pembuka tangannya memegang sepucuk surat yang goyang – goyangnya pelan di atas mejanya.
Aku memandang nanar surat yang berada ditangannya, Ya Allah sampai surat yang ditangannya, surat pemecatanku. Pusing kepalaku memikirkan apa kesalahanku sampai dipecat. Aku mengelengkan kepala menjawab pertanyaannya tidak ada kekuatan untuk menjawab pertanyaanya kenapa aku sampai dipanggil.
“Ini ambil dan baca.” perintahnya dengan suara berat
Aku mengambil surat yang disodorkannya dengan gemetar aku membuka amplop surat, merapal doa dalam hati semoga ini bukan surat pemecatanku.
Netraku membesar seakan mau keluar dari cangkangnya, aku melompat kegirangan sehingg kursi yang aku duduki sampai terjatuh karena aku melompat kegirangan.
“Kiaa.” Suara berat menyadarkanku dari ivoriaku
Serta merta aku terpaku dan memandang wajah Pak Dewa dengan malu.
“Maaf Pak, Saya terlalu gembira.” Ucapku malu.
Jika saja aku tidak malu, pasti Pak Dewa sudahku peluk karena senangnya.
“Masih ada yang lain Pak.” Ucapku dengan menahan rasa senang yang menggunung di dada.
Melihat kepala Pak Dewa mengeleng aku berbalik arah menuju pintu untuk keluar dari ruangan Pak Dewa.
“Aow.” Aku menjerit keras di iringin bunyi keras suaraku yang terjatuh sebelum mencapai pintu,
“Kia apa yang kamu lakukan.” Suara Pak Dewa terdengar jengkel.
Jika saya aku bisa menghilang saat ini, pasti aku tidak akan merasa malu sekarang. Begitu banyak jika yang berputar di otakku untuk menghilangkan rasa yang sungguh membuatku harus malu dihadapan Pak Dewa yang menjadi idola semua wanita di kantorku, semua berebut untuk tampil sempurna untuk menarik perhatiannya tapi aku hari ini aku, ahh kesal aku If I***