3 | Tembakan di Halaman
“Tunggu! Jangan lari!”
Tanpa mengindahkan panggilan itu, Rama dan Ipang Jering terus berlari. Langkah cepat mereka terlihat menjejak sepanjang pematang sawah di pinggir kali. Di belakang mereka, Rudi Solong berusaha menyusul sepenuh hati.
“Tunggu, woi!”
Teriakan demi teriakan mengiringi langkah kaki Rudi Solong yang terlihat panjang. Dengan beringas dia menerjang ilalang yang daunnya melintang di pematang. Dengan brutal dia pun menerjang bibit padi yang hendak ditanam kelak saat waktunya datang. Beberapa ikatan bibit padi terlihat terlepas di belakang. Dia sama sekali tidak peduli jika pemiliknya marah hingga meradang. Satu tujuannya saat ini adalah bisa menyusul Rama dan Ipang Jering yang telah menghilang.
Sementara itu di sebuah rumpun bambu, Rama dan Ipang Jering menyusup ke dalam rimbun daun-daun serupa duri. Keduanya berjongkok saling membelakangi. Seolah sedang siaga apabila ada serangan mendadak terjadi. Mereka masih berjongkok dalam alunan daun-daun bambu yang saling bergesekan tersebab angin yang bertiup ke sana kemari. Rimbunnya melindungi tubuh berseragam biru putih itu dari sengatan matahari. Keduanya masih bergeming ketika terdengar langkah kaki. Suara daun-daun bambu kering yang terinjak jelas terdengar di sanggurdi.
Rama dan Ipang Jering menahan napas ketika sepasang kaki itu berhenti menjejak. Sepasang kaki itu milik Rudi Solong yang berusaha melacak. Dia berdiri membelakangi rumpun bambu yang sebagiannya terlihat rusak. Matanya menjelajah hamparan padi yang mulai menguning di hadapannya sambil berkacak. Sesekali dia memutar tubuhnya untuk menemukan tanda jejak. Seluruh indranya dikerahkan demi menemukan kedua anak yang sedang dikejarnya di jalan setapak.
“Rama! Jering! Kalian di mana?!”
Teriakan Rudi Solong terbawa angin hingga entah. Namun, anak lelaki terus berteriak memanggil-manggil nama itu tanpa lelah.
“Awas kalau ketemu, ya! Aku tembak kalian berdua!”
Setelahnya Rudi Solong terlihat membuka tas sekolahnya. Di balik buku-buku pelajaran dan catatan, dia mengeluarkan sebuah senjata. Dengan cekatan dia memasukkan peluru ke dalamnya. Sesaat setelahnya terdengar batang-batang bambu beradu dengan kerasnya.
‘Dok dok dok!’
Dengan teliti dia kemudian memasukkan bilah bambu kecil ke dalam batang bambu bulat yang berisi peluru dari kertas yang dibasahi air selokan. Senapan bambu yang biasa disebut bledokan itu siap digunakan. Anak lelaki itu memasang kembali tasnya lalu mengambil sikap siaga melakukan serangan. Sepasang mata bulatnya berusaha mencari-cari sasaran. Saat dia sedang berusaha membidikkan senapan, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara teriakan.
“Woi!”
Tubuh kecil Rudi Solong seketika terlonjak dan hampir jatuh ke pematang sawah di depannya. Tawa pun mendadak pecah mengiringinya. Rama dan Ipang Jering semakin keras tertawa ketika melihat Rudi Solong terhuyung-huyung saat berusaha menghindarkan diri agar tidak terjatuh ke kubangannya.
“Kurang ajar kalian! Aku tembak beneran, lo, ya!”
Rudi Solong mengancam keduanya dengan mengacungkan bledokan-nya. Namun, Rama dan Ipang Jering tetap bergeming di tempatnya. Mereka yakin kalau Rudi Solong tidak akan berani melakukan itu pada mereka.
“Ha ha ha … Ayo aja tembak kalau berani!” Tantang Rama sambil mencengkeram ujung senapan bambu milik Rudi Solong yang ditodongkan. Sekali sentak, senapan berukuran kecil itu pun berpindah tangan.
Sementara Rudi Solong berdiri termangu, Rama mengamati bledokan itu dengan saksama. Diam-diam dia mengagumi mainan buatan temannya. Sambil menyerahkan mainan itu pada Rudi Solong, dia berkata, “Ajarin bikinnya, dong!”
Rudi Solong pun menganggukkan kepala malu-malu. Dia kemudian mengajak Rama dan Ipang Jering mencari bambu kering di sekitar tempat itu. Setelahnya mereka bertiga berjalan menuju rumah Rama yang tidak jauh dari situ. Di sana mereka bertiga disambut dengan hangat oleh mamak Rama yang sedang menjemur baju. Ketiganya mencium tangan perempuan itu secara bergantian sebelum berlalu.
“Wah! Kalian berdua sudah baikan lagi ternyata,” seru mamak Rama saat melihat Rama akur dengan Rudi Solong.
Rama menyahut perkataan mamaknya, “Iya, Mak. Kan Rama sudah minta maaf sama Rudi Solong. Dia juga sudah memaafkan Rama, kok, Mak. Bukan begitu, Solong?”
Rudi Solong menganggukkan kepala sambil tersenyum berkata, “Iya, Mak. Kalau berantem terus nanti kasihan Rama ndak ada yang ngajarin main gitar. Ha ha ha …”
Rama dan Ipang Jering membalas ucapan Rudi Solong dengan teriakan serempak, “Wo! Gayamu, Long! Ha ha ha.”
Tawa pun memecah halaman depan rumah. Tawa itu berhenti ketika Rama bertanya pada mamaknya tentang keberadaan bapaknya yang pergi selesai salat berjamaah. Rama menganggukkan kepala mendengar jawaban mamaknya, lalu mengajak Ipang Jering dan Rudi Solong menuju halaman luas di belakang rumah. Sesuai instruksi dari mamaknya, Rama mengajak mereka membuat dan bermain bledokan di sana sambil menunggu makan siang disiapkan di ruang tengah.
Tawa beradu dengan suara-suara tembakan. Suara-suara itu berpadu membentuk simponi indah sebuah kebahagiaan. Lepas tanpa beban. Kebahagiaan yang hanya dipahami oleh mereka sang tiga sekawan. Terlebih Rama yang selama ini hidupnya lebih banyak bermain gawai untuk mencari kunci gitar sebagai bahan latihan. Bisa bermain di halaman luar rumah merupakan ‘prestasi’ tersendiri yang berhasil dicapainya selama menjalani kehidupan.
Sampah kertas basah bekas peluru terlihat tercecer hampir di setiap penjuru. Namun, itu bukan halangan bagi mereka untuk terus saling memburu. Ketiga-tiganya tidak ada yang ingin usia dengan terburu-buru. Berbalas tembakan menjadi hal paling seru.
Tanpa mereka sadari tengah hari pun beranjak pergi. Samar terdengar suara mamak Rama mengajak mereka melahap makan siang yang sudah tersaji.
“Sebentar, Mak. Kami beresin dulu sampah-sampahnya,” jawab Rama ketika mamaknya berseru untuk kesekian kali.
Setelah semua bersih, mereka bertiga meninggalkan area sekitar bangunan di sudut belakang. Dari arah sanggar seni yang dibangun bapak Rama itu, mereka bergerak masuk bersiap menyerang. Rudi Solong terlihat menepuk-nepuk dadanya tanda telah menang. Sementara Rama dan Ipang Jering mengacungkan jempol sebagai pengakuan kalah dan apresiasi atas kemenangan itu dengan senang.
Ketika di meja, ketiganya pun makan dengan lahapnya. Segala lauk khas Lombok tersaji di meja menggugah selera. Rama terlihat begitu antusias melahap pelecing kangkung bertabur sambal pedas di atasnya. Dia sendirian menghabiskan satu porsi kangkung dan kecambah rebus serta ditaburi parutan kelapa. Sementara Ipang Jering asyik makan beberok-nya. Dengan tangannya dia mencampur potongan kecil kacang tanah dan terong ungu bundar mentah dengan sambal dari bahan cabai dan tomat di piringnya. Sedangkan Rudi Solong mulutnya penuh dengan sayur ares yang nikmat tiada tara. Mulutnya tidak henti-hentinya mengunyah hati batang pisang lunak berkuah santan itu sambil sesekali memejamkan mata. Mamak Rama hanya bisa memperhatikan mereka satu per satu dengan penuh bahagia.
Ritual itu berhenti ketika terdengar serdawa yang akhirnya melahirkan tawa. Ketiganya mencuci tangan lalu membereskan meja. Sesaat sebelum mereka beranjak menghabiskan minuman segar, mamak Rama meminta mereka tetap duduk pada tempatnya.
Keempatnya dilingkupi keheningan yang panjang setelah mamak Rama menyampaikan pertanyaan tentang masalah sebenarnya yang terjadi di antara mereka. Ketiganya terlihat saling sikut untuk memberikan keterangan. Setelahnya cukup lama terdiam, akhirnya Rudi Solong angkat bicara.
“Maafkan saya, Mak,” kata Rudi Solong berkaca-kaca sambil melanjutkan kata-katanya, “saya yang salah karena mengolok-olok Rama dengan kata-kata ndak pantas tentang Mamak.”
Tanpa perlu minta penjelasan, mamak Rama tahu ke mana arah pembicaraan. Dia hanya bingung, kenapa sampai anak sekecil itu bisa berpikiran seperti orang-orang lainnya.
“Saya sama sekali tidak ada maksud, Mak. Saya hanya disuruh untuk memancing keributan,” kata Rudi Solong berusaha membela diri.
Mamak Rama mencondongkan tubuhnya ke arah Rudi Solong dan bertanya, “Siapa yang menyuruhmu, Nak?”
Rudi Solong tidak menjawab pertanyaan itu. Dia terlihat menggeser mundur kursinya lalu pamitan kepada mereka semua yang ada di tempat itu.
“Assalamu’alaikum,” kata Rudi Solong setengah berlari.
***