2 | Pesona Hutan Pusuk
Matahari beranjak tinggi. Namun, tidak terlihat di tempat mereka berada saat ini. Mobil mereka telah sampai di puncak Pusuk. Di tempat parkir kawasan itu, ayah Opin menghentikan mobilnya. Mereka bertiga menghirup udara hutan dalam-dalam. Setelahnya mereka berjalan menuju warung kecil di pinggir jalan. Di sana ayah Opin membeli minuman tradisional Lombok yang dijajakan. Mereka mengenali minuman segar dari sari enau itu sebagai tuak manis. Ketiganya pun menghabiskan satu botol kecil.
“Opin tahu kenapa tuak manis ini boleh dikonsumsi?”
Opin menggelengkan kepala lalu menjawab, “Karena segar, Yah.”
Mendengar jawaban Opin, ibunya tertawa lalu berusaha membantu memberikan jawaban, “Tuak manis ini tidak mengandung alkohol. Jadi boleh diminum siapa saja.”
“Selain itu, banyak khasiat dari tuak manis ini, Nak. Bisa until obat kencing manis, kencing batu, sakit ginjal, dan memperlancar buang air kecil,” ayah Opin menambahkan penjelasan kemudian mengambil beberapa botol untuk dijadikan oleh-oleh.
Opin mengangguk-anggukkan kepala ketika ayahnya menjelaskan tentang proses pembuatan tuak manis.
“Proses pembuatan tuak manis ini unik, Nak. Ada ritual atau cara khususnya,” kata ayah Opin memulai ceritanya.
Sambil membetulkan letak duduknya di bawah pohon besar, Opin menyimak cerita ayahnya. Sesekali dia menggerak-gerakkan tangannya yang memegang kayu di tanah.
Ayah Opin kembali melanjutkan ceritanya, “Proses pembuatan diawali dengan memukuli cabang enau yang berumur dua sampai tiga tahun dengan pemukul kayu khusus. Proses pemukulan ini dilakukan terus-menerus selama sekitar tiga puluh menit dalam kurun waktu tiga hari berturut-turut.”
“Wah ternyata tidak mudah ya, Yah,” kata Opin saat ayahnya jeda bercerita lalu meneguk tuak manisnya.
“Itulah pentingnya menghargai sebuah proses, Nak. Sebab kadang proses itu lebih sulit dan berat daripada yang kita bayangkan,” kata ayah Opin.
“Iya, Yah. Oya, Yah. Setelah dipukul-pukul terus diapakan pohonnya?” tanya Opin sambil tersenyum.
“Ah iya! Ayah sampai lupa melanjutkan cerita. Setelah dipukul-pukul barulah pohon enau disadap dan diambil airnya. Selanjutnya air itu ditampung dalam periuk dan dilakukan fermentasi. Proses terakhir adalah mendiamkan air tersebut selama beberapa jam agar rasa manisnya keluar. Dan setelah itu ‘slurp’ tuak manis siap diminum. He he he.”
Opin ikut tersenyum tipis. Ada kepuasan terpancar dari wajahnya. Setelah ayahnya selesai bercerita, dia menunjuk hasil gambarnya di tanah.
“Bagus sekali gambar pohon enaumu, Opin. Kamu pintar sekali menggambar,” kata ayah Opin sambil mengacak-acak rambut Opin.
Opin tertawa lalu berkata, “Maunya sih Opin pintar juga di bidang lainnya, Yah. Menghitung, misalnya.”
Tawa Opin mendadak lenyap. Dia menundukkan kepala dalam-dalam. Menyadari keadaan itu ayahnya datang menghampiri.
“Nak … Tidak usah bersedih. Tidak semua hal harus bisa kamu kuasai. Apa pun bidang yang kamu kuasai, selama itu positif pasti Ayah sama Ibu dukung,” kata ayahnya sambil memeluk tubuh mungilnya.
Mata Opin terlihat menerawang. Dia teringat tentang pelajarannya di sekolah. Di kelasnya dia selalu memperoleh nilai terbaik saat menggambar. Namun, memperoleh nilai terjelek saat ujian Matematika. Teman-temannya seringkali mengoloknya. Hal itulah yang sering membuat Opin pindah sekolah.
Keinginan itu akhirnya berhasil dia redam sendiri. Kedua orang tuanya dan juga gurunya telah berhasil membuatnya percaya. Dia percaya kelak akan tiba waktunya pandai Matematika.
Opin tersenyum kemudian menggandeng tangan ayahnya menuju mobil. Di sana ibunya telah menunggu mereka berdua. Setelah dirasa cukup beristirahat di kawasan hutan yang rindang itu, mereka memutuskan melanjutkan perjalanan. Sebelum naik mobil, Opin dikejutkan oleh suara asing. Dia pun spontan menoleh. Tubuhnya terlonjak mundur sambil berusaha memeluk ibunya.
“Jangan takut, Nak. Mereka tidak galak, kok. Monyet-monyet di sini jinak-jinak,” kata ibu Opin.
Opin pun mengendurkan pelukannya lalu berkata, “Siapa yang takut, Bu? Opin tahu itu. Tadi cuma kaget saja. He he he.”
Setelah memberi makan monyet-monyet lucu itu mereka pun masuk mobil. Mobil pun melaju melewati jalanan turun yang berliku-liku. Opin tidak henti-henti ya mengucap syukur saat melewati rimbunnya hutan wisata Pusuk.
Satu jam berlalu sejak mereka berangkat dari rumah. Keseruan perjalanan kembali berlanjut. Namun, saat hampir tiba, Opin justru tertidur di jok tengah. Ayah dan ibunya membiarkan itu.
***