Titik Balik: Cerita Rakyat Sasak (4)

Cerpen21 Dilihat

Hujan Batu di Sigerongan

 

“Bagaimanapun juga kita jangan sampai menyerah, Baginda!”

Suara seorang prajurit memecah kebisuan balairung istana kerajaan. Sang Raja yang semula duduk di singgasana pun memutuskan untuk melangkah mendekati sumber suara. Langkah tegapnya di usia yang beranjak senja menapak di atas lantai mengilap. Tepat di hadapan prajurit itu, Sang Raja membuka suara.

“Coba jelaskan padaku apa rencanamu, Prajurit?”

Dengan sikap penuh hormat, prajurit itu menceritakan tentang rencana yang telah dibicarakan dengan beberapa prajurit lainnya. Sementara Sang Raja memperhatikan setiap detail rencana dengan saksama. Sesekali beliau terlihat menganggukkan kepala. Terkadang beliau juga terlihat mengelus-elus dagunya.

“Apa kau yakin ini akan berhasil?”

Prajurit terdiam sejenak di hadapan Sang Raja. Dia tidak segera menjawab dan memilih menyiapkan rangkaian kata untuk meyakinkan Sang Raja.

“Insyaallah akan berhasil, Baginda. Hamba hanya butuh sekelompok prajurit yang bisa diandalkan. Selanjutnya nanti Hamba yang akan mengajarkan mereka strategi-strategi jitu

“Ingat! Hati-hati! Jangan sampai tertangkap!”

“Iya, Paduka. Hamba akan berusaha sebaik-baiknya,” jawab prajurit menundukkan kepala.

Raja Pejanggik mengangkat tangannya lalu berkata, “Berangkatlah dan segera susul ayahmu. Sampaikan padanya, kau yang akan meneruskan tugas-tugasnya.”

Prajurit itu menganggukkan kepala saat Sang Raja kembali melanjutkan kata-katanya, “Kau tahu keberadaan ayahmu, kan?”

Sekali lagi prajurit itu menganggukkan kepala dan perlahan beringsut mundur. Tidak lama kemudian, Raja Pejanggik pun kembali ke singgasana. Sementara di sampingnya, Sang Patih terlihat mengerutkan keningnya. Lelaki bertubuh tegap itu menegakkan duduknya kemudian berjalan dan duduk di hadapan raja. Setelah merapikan duduknya, dia pun mengambil sikap hormat dan berkata, “Maafkan Hamba, Baginda. Hamba tidak ada maksud untuk lancang dengan keputusan yang Baginda ambil. Hamba tahu situasinya sedang genting. Sangat riskan rasanya jika kita mengirim mata-mata lagi sekarang.”

Raja Pejanggik tidak segera menanggapi perkataan patih yang menndukkan kepala di hadapannya. Keputusan yang telah dibuatnya bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

“Saya paham tentang hal itu, Patih. Terima kasih telah mengingatkan. Namun, kita harus bergerak cepat. Kabar terkini dari mata-mata pertama, kerajaan Karangasem di Mataram sedang bersiap.”

Sang Raja terlihat menarik napas panjang setelahnya. Kali ini giliran patih yang kembali angkat bicara setelah menegakkan badannya.

“Maaf, Baginda. Apa Baginda yakin kerajaan Karangasem Mataram tengah bersiap menyerang kerajaan Pejanggik?”

Raja Pejanggik bangkit dari duduknya. Balairung istana yang senyap membuat langkah kakinya membahana. Perlahan raja melangkah di sepanjang balairung menuju pintu utama. Namun, sesaat kemudian dia terlihat kembali menuju singgasana. Dalam setiap langkahnya, ada pemikiran yang ingin disampaikan.

“Nah itu, Patih! Itu tujuanku mengirimkan mata-mata kedua. Selain karena mata-mata pertama, ayahnya, memang sudah tua dan waktunya beristirahat. Aku yakin, prajurit itu pilihan yang tepat. Dia sungguh bisa diandalkan. Setidaknya, sebelum ayahnya benar-benar beristirahat, dia bisa banyak belajar tentang banyak hal.”

Kali ini patih tidak menyanggah perkataan raja. Dalam hati dia membenarkan segala perkataan raja. Kedua orang itu pun akhirnya terdiam cukup lama. Masing-masing bergelut dengan pikirannya. Tentang langkah dan strategi selanjutnya untuk mempertahankan kedaulatan kerajaan.

Sementara itu di desa Duman, seorang lelaki renta sedang duduk bersila di atas sebuah berugak. Kedua tangannya tengah sibuk menekan dan membentuk sebongkah tanah liat. Dengan teliti dan hati-hati, dia membentuk tanah liat itu menjadi sebuah bilah panjang. Pada bagian ujung, dia meruncingkannya. Terlihat mudah baginya melakukan itu semua. Sesaat setelahnya, dia terlihat memandangi bagian ujung yang runcing itu. Kedua ujung bibirnya tertarik ke atas saat matanya tertuju pada bagian ujung.

“Pas!”

Setengah berteriak dia meletakkan bilah dari tanah liat itu di atas berugak. Pada sebuah papan kayu halus, dia mulai membentuk beberapa lekukan dan menipiskan bagian sisi kiri dan kanan pada bilah. Pada saat membuat lekukan pertama, bibirnya terlihat bergerak-gerak tanpa bersuara.

Matahari senja mencuri pandang lewat celah-celah pepohonan di halaman rumah ketika lelaki tua itu menyelesaikan lekukan terakhirnya. Kedua sudut bibirnya kembali terangkat ketika bilah tanah liat yang sudah berbentuk lekukan itu terlihat bercahaya.

“Tinggal membuat gagang dan sarungnya saja,” katanya pelan sambil beranjak dari duduknya setelah membereskan pekerjaannya.

Dia pun perlahan turun dari berugak dan melangkah hendak masuk rumah. Namun, langkahnya terhenti ketika dia mendengar derap langkah kuda. Daun telinganya terlihat bergerak-gerak ketika dia berusaha menajamkan indra pendengarannya.

“Siapa yang datang?” bisiknya pada dirinya sendiri.

Hatinya terdorong untuk melangkah menuju halaman bagian depan. Di sana dia menunggu sambil bersedekap. Mata tuanya memandang tajam ke arah datangnya sumber suara. Hatinya bergetar ketika derap itu semakin mendekat.

“Ah anakku! Akhirnya kau datang menyusulku,” gumamnya lirih.

Derap kuda berganti ringkikan ketika beberapa orang tiba di hadapannya. Senyuman lebar tercetak jelas di wajahnya ketika mengetahui siapa yang datang menemuinya.

“Ayo masuk!” ajaknya kepada semua orang yang telah selesai memberikan salam hormat padanya.

Mereka pun beriringan masuk ke dalam rumah sederhana itu. Di ruang depan yang dipenuhi dengan senjata tradisional itu, mereka duduk melingkar.

“Ayah, apa kabar?”

Lelaki renta itu hanya menjawab sambil tersenyum, “Seperti yang kau lihat, Dahman.”

Lelaki yang baru saja tiba dari kerajaan Pejanggik itu membalas senyuman ayahnya dan berkata, “Syukurlah kalau Ayah baik-baik saja. Beberapa minggu terakhir di kerajaan, saya terus-menerus memikirkan Ayah. Satu-satunya cara agar saya bisa menemui Ayah, ya, mengajukan diri menjadi pasukan khusus kerajaan. Syukurnya setelah melalui serangkain tes, saya lulus. Dan, saat ini sudah siap bertugas menggantikan Ayah.”

“He he he. Bagus, Dahman,” sahut ayah Dahman singkat lalu melanjutkan kembali kata-katanya, “ingat. Tugas ini tidaklah mudah. Kamu punya tanggung jawab besar. Mulai nanti malam, Ayah akan mengajarkanmu beberapa hal yang belum sempat Ayah ajarkan. Termasuk ilmu membuat keris-keris dari tanah liat ini dengan menggunakan tangan.”

Dahman menggeser posisi duduknya hingga lebih dekat dengan ayahnya kemudian berkata, “Terima kasih, Ayah. Wah! Banyak sekali keris buatan Ayah ini.”

“Bukan hanya ini saja, Dahman. Sebagian besar sudah Ayah jual. Salah satu yang paling sakti saat ini dimiliki oleh Patih Kerajaan Karangasem Mataram yang tinggal di Sayang-sayang. Namanya Kiai Nurjinah. Beliau adalah teman Ayah. Kalau kamu perlu apa-apa di luar tugas, kamu bisa hubungi dia,” kata ayah Dahman panjang lebar sambil meletakkan keris yang belum diselesaikannya.

“Sekali lagi terima kasih, Ayah. Saya janji akan bertugas dengan sebaik-baiknya,” jawab Dahman denagn mantap.

Ayah Dahman menanggapi ucapan itu dengan anggukan kecil. Senyum kembali menjadi penghias wajah keriputnya. Bagaimanapun juga, hari ini menjadi penanda pertemuan mereka kembali setelah sekian lama terpisah oleh jarak dan waktu. Tugas memaksa hubungan ayah dan anak itu berkubang dalam jebakan kerinduan. Dan, saat ini adalah waktu yang tepat untuk melepaskannya.

“Dahman … Sekian lama kita berpisah, rasanya kau cepat sekali tumbuh dewasa. Ayah mau sebelum Ayah mengasingkan diri untuk menyatu dengan alam, kamu sudah berkeluarga. Bagaimana?”

Dahman hanya bisa menjawabnya dengan sneyuman. Kesibukannya sebagai prajurit dan pasukan khusus selama membuatnya hampir tidak ada waktu untuk memikirkan perempuan. Tidak heran jika di usianya yang sudah kepala tiga, dia tidak memikirkan tentang pernikahan. Namun, kata-kata ayahnya adalah cambuk baginya untuk menyisihkan sedikit waktu membahagiakan diri dalam cinta.

“Memangnya Ayah punya calon untuk saya? Ha ha ha,” tanya Dahman sambil tergelak.

Ayah Dahman terlihat menarik napas dalam-dalam lalu berkata, “Tenang, Dahman. Sejak kabar kamu akan meneruskan tugas-tugas Ayah, Ayah sudah menyiapkan semuanya.”

Kerinduan demi kerinduan pun akhirnya selesai dituntaskan. Keduanya sepakat untuk mengisi hari-hari dengan latihan dan persiapan pernikahan. Pernikahan Dahman pun berlangsung secara sederhana. Sebuah pernikahan yang akhirnya menjadikan Dahman sebagai seorang ayah dari satu orang anak.

Setelah dirasa waktunya tepat, ayah Dahman pun pergi mengasingkan diri setelah sebelumnya meninggalkan beberapa pesan kepada Dahman secara rahasia.

“Dahman … Masih ada kesaktian yang belum secara sempurna Ayah turunkan kepadamu, yaitu berubah wujud saat terdesak. Namun, seiring waktu kamu bisa meningkatkan kesaktianmu itu sendiri.Teruslah berlatih agar kamu bisa berubah menjadi apa saja seperti Ayah. Dan, ingat! Sekali gagal pantang bagi mata-mata untuk tetap hidup di dunia.”

Anggukan kepala Dahman menjadi penanda perpisahan dua hati yang untuk beberapa lama telah saling menguatkan dalam segala hal. Dan, begitu Dahman mengangkat kepala, ayahnya telah tidak berada di hadapannya lagi. Yang tersisa hanya angin yang bergerak sangat cepat. Dahman melepas kepergian ayahnya dengan tatapan kosong ke arah pohon pisang yang tumbuh di halaman rumah ayahnya. Dia yakin, ayahnya tetap menjaganya meskipun dalam wujud yang berbeda.

Dahman pun akhirnya memutuskan untuk tetap diam-diam berlatih ilmu kesaktian. Selain terus mencari informasi tentang pergerakan kerajaan Karangasem Mataram, Dahman tidak lupa berlatih meningkatkan kemampuan bersama pasukannya tanpa sepengetahuan istri dan keluarganya.

Suatu hari dia teringat dengan pesan ayahnya tentang Kiai Nurjinah yang tinggal di Sayang-sayang. Dia pun bergegas mencari tahu keberadaan beliau. Tidak sulit untuk menemukan kediaman tokoh terpandang kerajaan itu.

Di rumah Kiai Nurjinah, Dahman disambut dengan hangat. Terlebih setelah Kiai Nurjinah mengetahui kalau Dahman adalah anak dari temannya.

“Wah! Suatu kehormatan kamu mau singgah di gubuk saya, Nak,” kata Kiai Nurjinah setelah mereka berdua duduk di ruang tamu.

Dahman tersenyum kecil lalu berkata, “Saya yang merasa terhormat karena disambut dengan hangat oleh tokoh hebat seperti Pak Kiai.”

Keduanya terlihat tertawa saat berbagi cerita tentang apa saja. Termasuk cerita tentang sepak terjang, kemajuan, dan keinginan Raja Anak Agung Gde Ngurah untuk memperluas wilayah kerajaan Karangasem Mataram. Namun, sesekali juga diselingi dengan diam untuk sementara. Terlebih saat mereka membicarakan tentang ayah Dahman.

“Ayahmu sehat, Nak?” tanya Kiai Nurjinah penuh selidik.

“Ayah sudah lama tiada, Kiai,” jawab Dahman yang tidak kuasa menahan mendung di pelupuk matanya.

Kiai Nurjinah yang menangkap gelagat hujan hendak turun di pelupuk mata Dahman hanya bisa berkata, “Saya turut berduka cita,  Nak. Seperti itulah hidup. Datang dan pergi adalah hal yang pasti. Tugas kita sebagai manusia adalah menerima dengan keikhlasan.”

“Saya mengikhlaskannya, Kiai. Namun, rasanya masih belum bisa begitu saja sebab masih banyak hal yang belum saya lakukan untuk membahagiakannya.”

“Berbahagialah dalam hidupmu. Dengan begitu ayahmu akan bahagia. Seperti saya yang selalu bahagia karena memiliki keris paling sakti buatannya. Dia pasti juga akan bahagia telah membuatkan untuk saya.”

Mata batin Dahman penuh selidik ke arah ruang dalam. Diam-diam mata batinnya terus bergerak mencari sesuatu yang sangat ingin dilihatnya. Tidak berapa lama dia mengangkat tubuhnya ketika tiba-tiba terdengar suara Kiai Nurjinah bertanya padanya.

“Apa yang kamu cari di rumah ini, Nak?”

Deg!

Detak jantung Dahman mendadak tidak beraturan ketika menyadari kalau Kiai Nurjinah bisa tahu tentang apa yang sedang dilakukannya.

“Ma-maaf, Kiai. Saya hanya penasaran dengan keris buatan ayah yang Kiai miliki,” jawab Dahman setengah tergagap sambil menundukkan kepala.

Kiai Nurjinah tersenyum mendengar pengakuan Dahman dan mengatakan suatu saat akan menunjukkan keris itu padanya.

“Satu yang pasti, semua orang sudah tahu dengan kesaktian keris itu. Sebuah keris sederhana yang bisa melelehkan siapa saja yang terkena. Ya, kecuali orang-orang yang telah memiliki penangkalnya. Saya adalah salah satunya. Ayahmu tentu saja juga pasti punya. Dan, mungkin juga kamu. Benar?”

Dahman menunduk semakin dalam setelah menganggukkan kepala.

“Apa kamu ingin memilikinya?”

Dahman menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak, Kiai. Saya tidak akan memiliki sesuatu yang sudah menjadi hak orang lain. Saya hanya ingin tahu dan membandingkannya dengan keris-keris ayah yang lain. Itu saja.”

Kiai Nurjinah menangkap kejujuran dalam setiap perkataan Dahman. Beliau pun akhirnya memutuskan untuk memperlihatkan keris itu kepada Dahman. Dengan kesaktian yang dimilikinya, keris itu tiba-tiba sudah berada di atas meja di hadapan mereka.

Dahman hendak menggenggam keris itu, tetapi sejurus kemudian membatalkannya. Dia tahu keris itu bukanlah miliknya dan harus digenggam atas izin pemiliknya.

“Seperti keris kebanyakan, Nak. Sepintas tidak ada yang istimewa sampai ia dicabut dari sarungnya. Kamu berani mencabutnya?”

Dahman menjawab pertanyaan Kiai Nurjinah dengan gelengan kepala. Tawa Kiai Nurjinah pun pecah di ruang tamu rumahnya. Sebuah ruang yang hangat yang akhirnya mau tidak mau harus ditinggalkan oleh Dahman malam itu juga.

Langkah pasti Dahman terlihat meninggalkan rumah Kiai Nurjinah. Setiba di rumah ayahnya, Dahman pun duduk di berugak bersama pasukannya. Beberapa informasi penting yang telah dikantonginya diceritakan kepada pasukannya untuk disampaikan kepada Raja Pejanggik.

Keesokan harinya, salah seorang anggota pasukan dikirim untuk memberi kabar kepada Raja Pejanggik. Sementara Dahman dan anggota pasukan lainnya terus bergerak mencari informasi ke pusat kota. Dari pergerakannya setidaknya Dahman dapat mengetahui kekuatan pasukan kerajaan Karangasem Mataram. Pun tempat berlatih dan segala hal terkait dengan persiapan kerajaan untuk memperluas wilayahnya.

Beruntung saat itu sedang ada pembukaan untuk anggota pasukan tambahan. Dahman pun memutuskan untuk mendaftar menjadi anggota. Seperti calon yang lainnya, Dahman pun menjalani serangkaian ujian. Kemampuannya dalam bela diri dan olah senjata membuatnya dengan mudah diterima menjadi anggota pasukan elit kerajaan.

Selama menjadi anggota pasukan elit, Dahman banyak memperoleh informasi tentang penyerangan yang akan dilakukan. Namun, sejauh ini dia belum berhasil memperoleh informasi tentang waktu penyerangan ke kerajaan Pejanggik. Dia pernah bertanya pada salah seorang perwira pasukan, tetapi jawaban penuh dengan ketidakpastian. Ketidakpastian jawaban itu membuat Dahman semakin gigih berusaha dan akhirnya mendapatkan informasi tentang waktu penyerangan ke kerajaan Pejanggik. Kegigihan yang justru membuat salah seorang perwira pasukan kerajaan Karangasem Mataram akhirnya curiga. Setiap hari saat latihan, perwira itu terlihat memperhatikan gerak-gerik Dahman dengan saksama. Bahkan dia pernah mengirimkan salah seorang pasukan kepercayaannya untuk mengikuti Dahman saat latihan sedang jeda.

Dahman yang tahu dirinya dicurigai kembali berusaha bersikap sewajarnya. Hingga akhirnya kecurigaan itu pun sirna dengan sendirinya. Sayangnya, perwira itu tidak percaya begitu saja. Suatu malam dia bersama beberapa anggota pasukan kepercayaannya terlihat mengendap-endap di sekitar kediaman Dahman. Mereka mendapati Dahman sedang berbincang dengan pasukannya di berugak.

“Ssttt! Sepertinya ada yang sedang mencuri dengar percakapan kita,” kata Dahman berusaha membuat pasukannya diam dengan berusaha mengalihkan topik pembicaraan ke arah kiprahnya selama menjalani latihan.

Usaha Dahman sepertinya gagal. Dia tahu orang-orang yang sedang mengintainya masih belum beranjak dari tempatnya memasang telinga. Hingga akhirnya perwira pasukan itu muncul di hadapan Dahman.

“Dahman … Tidak usah berpura-pura. Saya sudah tahu semuanya,” kata perwira kerajaan yang sesaat setelahnya kembali berkata dengan nada teriakan, “pasukan!”

Seketika itu juga pasukan elit kerajaan telah mengepung Dahman dan pasukannya. Tidak lama kemudian, pertarungan pun terjadi. Mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa melumpuhkan Dahman dan pasukan. Kekuatan yang tidak seimbang membuat Dahman dan pasukannya terdesak. Mereka memutuskan untuk kabur ke arah Sigerongan.

“Tangkap mereka!”

“Jangan sampai lepas!”

Teriakan demi teriakan memecah keheningan malam yang semakin larut. Malam kian mencekam diiringi derap kaki yang terus menjejak bumi dengan irama cepat. Berpasang-pasang kaki terus berkejaran di bawah malam berselimut rembulan. Akhirnya, seluruh pasukan Dahman pun berhasil dilumpuhkan. Dahman yang masih bisa bertahan terus berusaha berlari dengan sisa kekuatan yang dimiliki. Kemampuan dan kesaktiannya tidak cukup mampu melawan pasukan elit yang jumlahnya puluhan.

Di sebuah turunan di tepi desa Sigerongan, Dahman memutuskan berhenti dan mengumpulkan kekuatan untuk melawan. Belum sempat dia memasang kuda-kuda, sebuah batu melayang tepat mengenai kepalanya. Tubuh Dahman pun tersungkur. Sedetik selanjutnya batu demi batu beterbangan. Hujan batu di Sigerongan pun tidak dapat dielakkan. Suara batu yang saling beradu terdengar mencekam. Percikan bunga api pun tidak kalah dahsyatnya akibat tumbukan antarbatu berisi ilmu kesaktian.

Setelah hujan batu reda, tubuh Dahman pun akhirnya terkubur oleh batu. Keheningan malam menggantikan peran kegaduhan setelah pasukan berlalu dari tempat itu. Senyap hanya ditemani oleh suara burung-burung malam di kejauhan.

Dini hari menjelang ketika kegaduhan kecil terjadi tepat di sisi sungai Jangkok. Batu-batu berderak lalu bergerak dan sedikit demi sedikit terangkat. Dari tumpukan batu itu muncullah sesosok lelaki dalam keadaan tidak keruan. Lelaki yang akhirnya berdiri tegak di atas tumpukan batu itu adalah Dahman. Lelaki itu pun melesat secepat kilat ke arah Sayang-sayang. Tujuannya adalah rumah Kiai Nurjinah.

“Kiai!”

Teriakan suara yang dikenalnya membuat Kiai Nurjinah meninggalkan munajat sepertiga malamnya. Beliau bergegas keluar mencari sumber suara. Di halaman rumahnya, beliau melihat Dahman dalam kondisi mengenaskan.

“Masuklah, Nak! Tidak elok berteriak-teriak di depan rumah orang. Apalagi dini hari seperti ini. Ayo masuk!”

Dahman menolak ajakan Kiai Nurjinah. Dia justru semakin meninggikan suaranya.

“Kiai! Saya pinjam keris buatan ayah! Sekarang juga!”

Kiai Nurjinah melangkah mendekati Dahman dan berusaha untuk menenangkannya.

“Nak! Saya tahu kamu memiliki penangkal keris itu, tetapi tidak mungkin bagi saya meminjamkannya. Jika kamu pakai untuk kejahatan, semua orang akan tahu kalau itu keris saya. Pasti saya yang akan terseret juga.”

“Kali ini saja, Kiai. Saya membutuhkannya,” kata Dahman memelankan suaranya sambil berusaha menarik tangan Kiai Nurjinah.

Dengan sigap Kiai Nurjinah berusaha menepis tangan itu. Beliau tahu ada sesuatu yang sedang terjadi pada diri Dahman.

“Tidak, Nak! Saya tidak akan pernah meminjamkan keris itu! Pulanglah!” kata Kiai Nurjinah dengan nada agak sedikit tinggi.

Dahman bergeming. Dia masih berdiri di tempatnya dan menatap Kiai Nurjinah dengan nyalang.

“Baik! Jika Kiai tidak mau meminjamkan keris itu, saya kutuk seluruh keturunan Kiai di Sayang-sayang tidak ada yang menjadi pegawai pemerintahan, kecuali menikah dengan orang luar. Camkan itu, Kiai!”

“Ha ha ha. Nak … Nak … Saya tidak peduli itu. Rezeki sudah ada yang mengaturnya. Pekerjaan juga bukan tentang menjadi pegawai pemerintahan saja. Selama mau berusaha, Insyaallah selalu ada rida dari-Nya. Pulanglah! Jangan sampai kutukan itu memakanmu sendiri.”

Setelah berkata seperti itu, Kiai Nurjinah kembali masuk ke dalam rumah meninggalkan Dahman sebagai patung dalam kesendirian pagi yang mulai merebak. Dahman pun akhirnya tersadar bahwa usahanya telah gagal dan tidak akan berhasil membalas dendam pasukan kerajaan Karangasem Mataram yang pasti sudah sampai di istana. Dengan langkah gontai dia pun berjalan kembali tempat semula dia berasal. Kali ini tidak dengan melesat cepat. Dia teringat dengan pesan ayahnya.

“Jika mengalami kegagalan pantang bagi seorang mata-mata untuk tetap hidup di dunia.”

Matahari pagi merayu embun untuk pergi ketika Dahman tiba di sisi sungai Jangkok di tepi desa Sigerongan. Dengan kekuatan yang dimilikinya, dia pun mengubur dirinya kembali dengan batu. Dan,

Dengan bantuan masyarakat sekitar, akhirnya Dahman dimakamkan dengan layak di sana. Sampai saat ini makam batu tersebut masih bisa dijumpai sebagai pengingat, bahwa sekuat apa pun kita berusaha pada akhirnya kekuatan Tuhan juga yang menjadi penentunya.

 

***

Tinggalkan Balasan