Meraih Asa di Kota Gudeg (part 1)

Gengaman tangan ibu aku lepaskan, aku tahu ibu tidak rela dengan kepergianku. Hanya alasan klise yang biasa aku berikan kepada ibu, kota yogya tempat yang paling sesuai dengan kondisi keuangan keluarga bila ibu dan ayah menginginkan aku kuliah. Kota pelajar yang murah  meriah dalam segala aspek kehidupan, padahal itu hanya untuk membuatku jauh dari luka hati hanya aku yang tahu.

Ternyata selama ini aku hanya bertepuk sebelah tangan, dia mendekatiku semata – mata karena adikku bukan karena ia menyukaiku apalagi mencintaiku.

“ Wi, bagaimana jika aku mengatakan perasaanku.” Aku sudah mati gaya aku fikir Akmal akan menyatakan perasaannya kepadaku.

“ Wi, ditanya bukannya menjawab malah terdiam seribu bahasa.” Akmal mengoyangkan tangannya di depan wajahku, aku menepis tangan Akmal yang bergoyang itu.

“ Menurut aku, sebaiknya kamu mengatakannya sebelum dia diambil orang.” Suaraku ku usahakan setenang mungkin untuk menjawab pertanyaan Akmal

“ Terima kasih, kamu memang calon kakak ipar yang baik.” Aku memandang tidak percaya ke arah Akmal

“ Maksudmu apa Mal?”

“ Aku menyukai Adikmu, dewi.” Tanpa rasa bersalah Andi mengatakan itu, mengapa harus bersalah yang bersalah itu aku, mengapa jatuh cinta kepada Akmal yang notabene sahabat baikku.

“ Ooooh, ternyata adikku yang selama ini kamu incar. Untung aku tidak salah faham, aku fikir aku yang kamu incar.” aku cuba setenang mungkin dan mengatur kata agar Akmal tidak merasa curiga dengan perubahan suara dan wajahku. Ya Allah, apa dosaku, orang yang sangat aku cintai dari masa kami masih SMP lagi, ternyata dia menyukai adikku. Ternyata selama 4 tahun ini, Akmal mendekatiku hanya karena adikku yang satu tahun lebih muda dariku.

Untung saja aku bisa lulus dengan nilai yang memuaskan sehingga aku bisa pergi jauh meninggalkan luka yang sudah teramat dalam. Batinku menjerit, drakor yang selalu ku tonton ternyata menjadi kenyataan dalam kehidupanku. Orang yang aku cinta mendekatiku untuk mencintai orang lain.

Kapal pelni membawa jiwaku yang terluka, Aya, Ibu, dan Adikku serta tambatan hatinya yang mengores luka dihatiku menghantar kepergianku. Air mata yang mengalir bukan karena sedih meninggalkan kedua orang tuaku tapi mengalir melihat cinta pertamaku harus kandas di tangan adikku. Aku tidak menyalahkannya karena tidak ada yang salah dengan cinta. Yang salah adalah perasaanku yang ditipu oleh mata yang merasa perhatian Akmal untuk diriku sehingga aku membangun istana cinta dari semua perhatiannya.

***

Perjalanan yang memakan waktu dua hari satu malam sangat menguras tenagaku, banyak orang mengatakan selama perjalanan akan banyak teman, tapi perjalanku yang satu ini tidak aku manfaatkan untuk mencari teman, aku lebih banyak memandang laut luas untuk memulihkan hatiku yang terlanjut terluka dan mengangga serta berdarah.

Pluit panjang berbunyi tanda kapal akan merapat, aku sampai di pelabuhan tanjung priok Jakarta, dari Jakarta aku akan naik kereta api menuju Yogyakarta, mengambil barang bawanku berjalan mengikuti jejeran orang yang sudah mengantri untuk turun dari kapal. Aku mengikuti arus orang yang akan turun dari kapal, seseorang menabrakku dari belakang. Aku malas untuk menangapinya, terus berjalan mengikuti antrian.

“Maaf, saya tidak sengaja. Sungguh.” Aku hanya menganggukkan kepalaku tanpa bermaksud untuk menoleh kebelakang sedikitpun. Walaupun aku merasakan sakit sewaktu punggung belakangku terasa sakit karena terdorong dari belakang. Untung saja ada ransel jika tidak tentu sakit sekali rasanya. Sewaktu akan turun, karena aku naik kelas ekonomi tentu tangga yang kami dapat adalah tangga gantung dari tali sungguh mengerikan, aku turun dengan hati – hati tapi mungkin karena baru pertama kali hampir saja aku tergelincir. Untung saja ada tangan yang meraih ranselku dan dengan sigap memegang lenganku, Alhamdulillah aku terselamatkan. Tanpa  memadang kebelakang aku mengucapkan terima kasih, dan terus berjalan meniti tangga. Setelah sampai di dermaga aku membalikkan badan untuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah menyelamatkanku. Aku bergeser agak ketepi mengangkat pandanganku untuk melihat siapa yang menolongku tadi aku berusaha untuk tidak membuat penumpang lain yang turun terganggu dengan aksiku. Aku harus mengucapkan terima kasih kepada yang menolongku walaupun pada awalnya dia mendorongkan sewaktu antri sebelum turun dari tangga.

Mataku memandang sosok yang tidak asing,

“Andi?” aku seakan tidak percaya dengan pandanganku, teman satu sekolah tapi lain kelas ternyata yang menolongku.

“Hai, sombong amat yang mau ke Yogya.” Aku mendengar suara Andi menyapaku

“Hai, kuliah di Jakarta?”

“Menurut Ais?” bukannya menjawab malah Andi mengajukan pertanyaan kepadaku.

Akhirnya kami mencari tempat untuk sejenak beristirahat setelah berebut dan antri untuk turun dari kapal.

***

Tinggalkan Balasan