KMAB9
Dalam epidemi HIV/AIDS tidak dikenal daerah rawan, yang ada adalah perilaku seksual dan nonseksual yang rawan atau berisiko tertular HIV/AIDS
Oleh: Syaiful W. Harahap
“Dinas Kesehatan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mencatat sejak tahun 2016 hingga Mei tahun 2022 sebanyak 35 orang warga Kapuas Hulu tertular penyakit HIV-AIDS, Kecamatan Putussibau Selatan dan Kalis menjadi daerah rawan.” Ini lead pada berita “35 warga Kapuas Hulu tertular HIV-AIDS Putussibau Selatan-Kalis rawan” (kalbar.antaranews.com, 16/6-2022).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada lead berita tersebut, yaitu:
Pertama, disebutkan ‘tertular penyakit HIV-AIDS.’ Ini tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit, sedangkan yang menular adalah virus (HIV). AIDS sendiri adalah kondisi seseorang yang tertular HIV/AIDS yang secara statistik terjadi antara 5-15 tahun jika tidak meminum obat antiretroviral (ARV).
Kedua, disebutkan ‘Kecamatan Putussibau Selatan dan Kalis menjadi daerah rawan.’ Ini juga tidak akurat karena tidak ada daerah rawan terkait dengan epidemi HIV/AIDS. Yang rawan adalah perilaku seksual dan perilaku nonseksual warga yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan
(3). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Tiga perilaku seksual berisiko di atas jadi pintu masuk HIV/AIDS ke Kapuas Hulu.
Ketiga, epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi atau dilaporkan, dalam hal ini 35, tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat.
Kasus yang dilaporkan (35) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Disebutkan dalam berita ‘ …. berdasarkan Rapid tes atau deteksi dini ada 11 orang ibu hamil juga tertular.’
Itu artinya ada 11 laki-laki yang mengidap HIV/AIDS yaitu suami ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tersebut.
Maka, pertanyaan untuk Dinkes Kapuas Hulu: Apakah 11 suami tersebut menjalani tes HIV?
Kalau jawabannya TIDAK, maka itu artinya 11 suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di Kapuas Hulu. Penyebaran HIV/AIDS terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Dinkes Kapuas Hulu seharusnya membalik paradigma dalam tes HIV terhadap ibu hamil. Yang dites pertama bukan ibu hamil, tapi suami dari ibu-ibu yang hamil.
Cara ini jadi penting agar suami-suami ibu hamil tidak jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena ketika mereka menjalani tes HIV mereka akan menerima konseling dengan kondisi hasil tes negatif atau positif.
Disebutkan pula: ‘ …. terutama diwajibkan untuk ibu hamil untuk mencegah penularan dari ibu ke anak.’
Penularan vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa dicegah, terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI). Tapi, tanpa disadari oleh Dinkes Kapuas Hulu mereka sudah membiarkan suami-suami ibu hamil itu menyebarkan HIV/AIDS karena suami-suami itu hamil itu tidak menjalani tes HIV. Akibatnya, mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Ada lagi pernyataan: ‘ …. dia mengimbau kepada masyarakat Kapuas Hulu untuk menghindari pergaulan bebas (seks bebas) sebagai upaya untuk menghindari penularan HIV-AIDS.’
Ini merupakan informasi tentang (penularan) HIV/AIDS yang menyesatkan. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, homoseksual, seks bebas), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom. Ini fakta medis (Lihat matriks).
Ini juga ada dalam berita: “Kami terus berupaya memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak tertular penyakit mematikan tersebut,” kata David (Sub Koordinator Penyakit Menular dan Tidak Menular Dinas Kesehatan Kapuas Hulu David Marwandi).’
Pernyataan ini juga tidak akurat karena HIV/AIDS bukan penyakit dan tidak pula penyakit yang mematikan.
Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS karena infeksi oportunistik, seperti TB, diare, pneumonia, dan lain lain.
Maka, dianjurkan agar sumber berita HIV/AIDS, seperti dinas kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), menyebutkan penyakit penyebab kematian Odha agar berita akurat.
Penyuluhan dan sosialisasi HIV/AIDS di Indonesia sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV/AIDS yaitu akhir tahun 1980-an, atapi hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIR) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang.
Sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah), seperti cara-cara penularan HIV/AIDS yang dikait-kaitkan dengan ‘seks bebas.’
Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (bisa) terjadi dalam dan di luar nikah jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Tanpa program yang konkret untuk menjangkau tiga perilaku seksual berisiko di atas, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Kapuas Hulu. Warga, terutama laki-laki dewasa, yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. (Sumber: Kompasiana, 15/7-2022). *