Sejenak Mengintip Panggung Krapayak di Poros Imajiner Yogyakarta

Berita, Wisata250 Dilihat

Perjalanan di Kampung Santri Krapyak masih belum berakhir. Setelah sebelumnya melihat banyak santri lalu lalang berseragam peci dan sarung serta bangunan pondok dan bahkan mie santri, akhirnya saya melihat dengan jelas bangunan atau monumen yang menjadi tujuan utama perjalanan sekitar 3 kilometer dari kawasan Alun-Alun Kidul menyusuri Jalan Gebayanan alias D.I Panjaitan dan Ali Maksum. Dari Kota Yogya ke Kabupaten Bantul. Bangunan ini adalah Panggung Krapyak.

Dari jarak sekitar 75 meter, bangunan putih berbentuk mirip  kubus atau segi empat sekilas sedikit tersembunyi dengan bangunan di kedua sisi Jalan Ali Maksum.  Di sebelah kanan ada Penyetan Handayani yang menjual berbagai jenis makanan dan juga sebuah kios menjual peralatan santri seperti peci dan sarung.  Sementara di sebelah kiri sebuah bangunan dengan logo Bank BRI.  Ada sebuah sepeda motor dan sepeda sedang berjalan di jalan yang agak sempit ini.

Agak sulit bagi saya untuk mencari sudut yang tepat membuat foto bangunan ini secara keseluruhan karena lokasinya di jalan yang agak sempit dan cukup ramai.  Sekilas bangunan ini mirip benteng dengan lantai atas yang terbuka dan hanya dibatasi pagar. Seluruh bangunan dicat berwarna putih. Tampak sebuah pintu dengan bagian atas berbentuk lengkung.  Demikian juga dengan sebuah jendela di dekatnya.

Dari jarak yang lebih dekat dan sudut sebelah kiri, saya dapat melihat hampir keseluruhan bangunan.  Ada papan informasi nama bangunan yaitu Panggung Krapyak dan lokasinya yaitu di Krapyak, Panggungharjo, Sewon Bantul dan logo Kementerian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta papan peringatan cagar budaya serta denda yang mengapit pintu yang tertutup pagar dari tralis.  Demikian juga dengan kedua jendelanya. Di bagian bangunan tanpa tanda hitam putih yang biasa digunakan di trotoar serta lampu sorot yang memungkinkan monumen ini terang benderang di waktu malam.

Untungnya saya bisa mengintip dan mengambil gambar bagian dalam melalui sela-sela teralis pintu dan jendela. Dari jendela sebelah kiri saya bisa melihat hingga tembus ke jendela di bagian belakang dan terlihat juga ada steger atau perancah dari bambu. Mungkin di bagian belakang masih ada renovasi bangunan. Terlihat ada dua dinding tembok pemisah ruangan di bagian dalam yang dihubungkan dengan pintu kecil dengan atap yang melengkung dan posisinya membentuk garis lurus dengan jendela. Ruangan terlihat kosong dengan lantai semen tanpa ubin atau keramik, hanya ada sebuah kotak dari kardus di sudut dan sekali lagi, semua dinding dicat warna putih.

Saya kemudian mengintip melalui pintu utama dan pemandangan yang mirip ada di hadapan dengan skala yang lebih besar.  Saya bisa melihat tembus hingga pintu belakang dan juga ada dua dinding dengan atap melengkung dan disanggah dengan dua riang besar.  Sekilas arsitekturnya mirip dengan bangunan-bangunan tua dari era kerajaan Mataram di Yogya ini.  Ada sebuah kursi, alat-alat tukang dan juga kabel listrik di lantai.

Pemandangan serupa saya dapatkan ketika mengintip dari beberapa jendela lain di sekeliling bangunan.  Saya berjalan mengelilingi bangunan sambil mengagumi bentuknya yang indah. Namun sayang sekali lokasinya di tengah persimpangan jalan yang lumayan ramai dan sempit membuat monumen ini seperti paling menderita dibandingkan monumen lain yang ada di sumbu filosofis Yogyakarta. Saya membandungkannya dengan Tugu Pal Putih yang ada di utara yang lokasinya lebih keren dan elit di tengah kota.

Konon Panggung Krapyak ini dulunya digunakan sebagai markas berburu untuk raja-raja Mataram dan dibangun sekitar abad ke 18 pada masa Pangeran Mangkubumi.

Saya juga teringat akan salah seorang raja yang bergelar  Panembahan Seda Krapyak. Beliau adalah Raja Mataram, Prabu Hanyokrawati, putra Panembahan Senopati yang meninggal ketika berburu di Krapyak pada 1613. Rupanya Krapyak kala itu masih berupa hutan yang memang menjadi lokasi berburu para raja dan sultan. Karena itu tidak mengherankan bila masyarakat sekitar juga menyebut bangunan ini dengan nama Kandang Menjangan karena .

Sehubungan dengan sumbu atau poros filosofis yang saya baca di Alun-alun Kidul dan berbagai lokasi lain sebelumnya. Poros Panggung Krapyak  hingga Kraton melambangkan perjalanan manusia dari lahir hingga dewasa. Wilayah sekitar panggung melambangkan kehidupan manusia saat masih dalam kandungan, ditandai dengan adanya kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak sebagai lambang benih manusia. In

Demikianlah, dengan mengunjungi Panggung Krapyak, saya sudah mengunjungi salah satu bangunan penting bagi Kraton Yogyakarta sekaligus melengkapi perjalanan mampir ke seluruh lokasi sumbu atau poros filosofi dari utara di Merapi hingga kawasan Laut Selatan.

Yogya, Juli 2022

 

Tinggalkan Balasan