SEPENDAR LUKA

Cerpen, KMAB39 Dilihat

Fauzi menatap angka-angka di kertas. Dia masih tidak percaya jika semua yang dilakukannya berakibat fatal bagi perusahaan. Dia merasa tidak ada yang salah dengan data yang dibuatnya. Dia sudah memperhitungkan semuannya, dari mulai perencanaan, biaya sampai prosentase keuntungan yang diinginkan perusahaan, tapi tetap saja proyek itu jatuh ke prusahaan lain.
Selama ini dia selalu mendapatkan tender dari proyek-proyek yang orang lain tidak terlalu suka. Mereka bilang proyek ecek-ecek yang keuntungannya dianggap minim. Bagi Fauzi proyek-proyek itu tetap di kejarnya biarpun minim keuntungan setidaknya masih ada pemasukan dan karyawannya tidak menganggur.

Proyek ecek-ecek itu dia jalankan dengan sepenuh hati. Menggunakan material yang layak dan waktu pengerjaan yang tepat. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penyelenggara tender, selain harganya bersaing mereka mendapatkan kwalitas dan pelayanan terbaik dari perusahaan Fauzi. Hal inilah yang ingin Fauzi pertahankan, dia tidak ingin klient kecewa. Keuntungan yang minim dari setiap tender tertutupi dengan banyaknya tender yang dia menangkan.

Tapi akhir-akhir ini klient banyak mengeluh. Mereka bilang proyek garapannya mengecewakan. Material yang digunakan tidak sesuai dan asal pasang. Padahal biaya yang dikeluarkan sudah sesuai tender dan Fauzi sendiri yang terjun untuk proses audit. Mungkinkah ada kecurangan di lapangan atau ada yang sengaja menukar material sebelum sampai lokasi?
Hal ini terus di selidiki oleh Fauzi, namun sebelum di ketahui penyebabnya masalah Kembali muncul. Tender yang seharusnya menjadi miliknya kini justru di miliki perusahaan lain. Sepengetahuan Fauzi perusahaan itu jarang terlibat dalam tender kecil. Mereka hanya mau terjun untuk proyek-proyek raksasa yang benefitnya tinggi.

“Ada yang aneh dengan perusahaan itu, apa mungkin ini ulah mereka? Tapi untuk apa mereka melakukan ini, keuntungannya kecil dan perusahaanku bukan saingannya…” Batin Fauzi.
Terdengar langkah kaki menuju kamarnya. Lalu terdengar suara pintu di ketuk. Fauzi menutup note book dan merapihkan kertas yang berantakan di meja.
“Fauzi ada Anita nak….!”

Suara ibu memanggil. Dengan malas Fauzi membuka pintu dan menemui Anita. Gadis itu tersenyum saat Fauzi menghampirinya. Senyum yang selalu membuat Fauzi bahagia. Gadis itu sudah lama mengisi hatinya. Orang tuanya juga sudah menyetujui hubungannya dengan Fauzi. Bahkan mereka pernah meminta agar Fauzi segera meresmikan hubungannya. Namun entah mengapa Fauzi masih belum menyatakan keinginannya memperistri Anita.

Sebenarnya Fauzi ingin segera menikah. Namun masih menunggu waktu yang tepat. Hal ini dia lakukan karena dia merasa belum mampu mencukupi kebutuhan Anita. Dia tahu betul selera belanja dari gadis pujaannya itu. Jika dia belum benar-benar mapan maka dia belum berani mengambil keputusan untuk menikahinya. Apalagi sekarang kondisi perusahaan sedang collaps apa mungkin Anita mau menerima calon suami yang hanya pengusaha kere yang sebentar lagi bangkrut.

“Ada apa Ani…? Tumben malem-malem ke rumah? Sama siapa ke sini.” Fauzi duduk di samping Anita.
“Tadi bareng Vina, kebetulan dia lewat sini, dia bilang ma uke rumah tantenya. Oh ya Zi… ada film bagus, aku yakin kamu suka, ini film misteri tentang penari, biasanya kamu paling seneng film-film begini.” Jawab Anita sambil menyandarkan kepala ke bahu Fauzi.

“Kamu mau nonton?” Suara Fauzi tidak bersemangat.
“Ya iyalah… aku sengaja ke sini ngajak kamu buat nonton, emang kamu gak mau yah..?” Anita cemberut.
“Ya sudah tunggu sebentar aku pamit ibu dulu.”
Fauzi berdiri dan melangkah masuk. Beberapa saat kemudian muncul dengan jaket ditangannya.
“Kita pakai motor yah, mobilku lagi di bengkel.”

Fauzi melangkah menuju garasi. Anita mengikutinya, wajahnya sedikit cemberut. Rasanya males malam-malam naik motor. Sampai di studi mereka langsung memesan tiket. Anita membeli dua buah minuman dan satu bungkus popcorn. Mereka duduk di pojok ruangan. Sebenarnya Anita pengennya di tengah tapi mereka datang terlambat.

“Film-nya masih baru jadi masih banyak yang nonton, segini juga untung masih kebagian.” Fauzi menghibur Anita yang cemberut.
Anita terdiam, dia menyandarkan tubuhnya ke kursi. Fauzi tersenyum melihat perubahan wajah Anita. Bukan sekali Anita terlihat seperti ini. Kalau saja Fauzi tidak mencintainya rasanya mungkin sudah dia tinggalkan gadis ini.
Fauzi menikmati popcorn yang dibawa Anita. Dia mencoba menggoda Anita yang masih terlihat cemberut. Diambilnya satu biji popcorndan ditempelkan di rambut Anita. Lalu dengan santai dia menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Ani… ada yang menari di rambut kamu, kecil putih.” Fauzi menunjuk rambut Anita.
“Apa kutu rambut? Enak saja rambutku bersih tahu…!” Anita memalingkan wajahnya, seketika popcorn terjatuh di pangkuan Anita. Anita menjerit pelan dan seketika berdiri membuang popcorn yang menenpel di roknya. Orang-orang langsung menengok kea rah Anita. Anita terduduk dan menyembunyikan wajahnya di bahu Fauzi.

“Makanya kalau di kasih tahu nurut.” Fauzi membelai rambut Anita.
“Tadi itu apa?” Anita menatap wajah Fauzi.
“Itu hantu penari yang tidak suka lihat gadis cemberut.”
Anita mencubit perut Fauzi sambil tersipu malu.

Film telah usai. Anita meminta Fauzi untuk menunggunya di pintu keluar, dia ingin ke toilet. Fauzi berjalan menuju parkiran. Setiba di sana dia segera mengeluarkan motor dan menunggu Anita. Anita muncul dan mereka bersiap meninggalkan parkiran. Tiba-tiba seseorang berteriak memanggil mereka, seorang gadis menghampiri dan memberikan bungkusan kecil kepada Anita.
“Maaf kak… ini terjatuh dari tas kakak, tadi sewaktu di toilet.” Kata gadis itu sambil memberikan bungkusan kecil. Anita menerima bungkusan itu dan mengucapkan terimakasih.

“Kayaknya perhiasan, dari siapa itu?” tanya Fauzi sambil menatap kotak kecil di tangan Anita.
“Ini bukan punyaku tapi punya Vina, padahal tadi aku numpang mobilnya tapi lupa memberikan ini.” Jawab Anita sambil memasukan bungkusan ke tasnya.
“Emang itu dari siapa?” Tanya Fauzi penasaran
“Ini dari Rio, katanya hadiah ulang tahunnya, ayo pulang.” Anita menarik tangan Fauzi.

Siang itu terasa begitu panas. Sepanas hati Fauzi yang semakin hari semakin terpuruk. Beberapa tender yang hampir saja jadi miliknya jatuh ke tangan perusahaan lain. Bukan hanya perusahaan besar perusahaan kecil juga mampu mengalahkan penawarannya. Hal ini membuat Fauzi merasa putus asa, karyawannya banyak yang mengeluh karena belum di gaji.

Fauzi sudah menjual mobil dan rumahnya untuk menutupi biaya operasional perusahaan. Namun tak satupun tender yang dia menangkan. Dan yang lebih parah lagi dia tidak punya modal untuk membiayai tender yang dia menangkan sebelumnya. Dengan terpaksa dia menemui salah satu rekannya untuk menjual perusahaan agar bisa membayar gaji karyawan.
Keputusan ini sudah dia pikirkan matang-matang. Daripada terus menerus mempertahankan perusahaan tanpa ada pemasukan akan lebih baik dia menjualnya. Sedang asyik memandangi lukisan di dinding, dia mendengar langkah kaki mendekat. Itu pasti Rony sang pemilik perusahaan. Tapi sungguh di luar dugaan yang datang adalah Vina, sahabat Anita.

“Vina…! Sedang apa kamu di sini?” Fauzi memandang Vina.
Vina tersenyum lalu duduk di depan Fauzi. Dia mengeluarkan berkas dan menyodorkanya ke Fauzi.
“Silahkan tandatangan di sini..!” Vina membuka berkas. Fauzi menatap berkas dan melihat tulisan di sana.
“Jadi kamu dan Roni….” Suara Fauzi gemetar. Vina tersenyum mengeluarkan cek yang sudah di tulis sejumlah uang, dia tinggal menandatanginya.
“Aku akan tandatangani jika kamu menandatangani itu.” Vina menunjuk berkas di meja. Fauzi dengan gemetar menandatangani berkas dan memberikannya ke Vina. Vina segera menandatangi cek dan menyerahkannya ke Fauzi.
“Aku dan Rony pemilik perusahaan ini, dengan jasa Anita aku bisa menjatuhkan perusahaanmu dan membelinya.” Vina tersenyum sambil memasukan berkas ke laci.
“Tapi apa salahku, hingga kamu dan Rony melakukan ini?” Fauzi menatap Vina
“Tidak ada, kamu orang hebat, kemampuanmu dalam mengolah angka menjadi ancaman perusahaanku. Senang bisa bicara denganmu.” Vina tersenyum. Fauzi berdiri dan melangkah meninggalkan ruangan dengan perasaan getir dan kecewa.

#kmab18

Tinggalkan Balasan