BUMN : Antara Aset dan ATM Penguasa

Humaniora, Sosbud56 Dilihat
Sumber gambar :ScreenShoot Youtube

 

Judul di atas saya ambil dari sebuah acara rutin setiap Jum’at malam bertajuk Indonesia Leaders Talk (ILT) edisi Jum’at, 30 Oktober 2020. Awalnya tanpa sengaja, ketika saya membuka feed Instagram salah seorang anggota komisi II DPR RI dari PKS, Mardani Ali Sera pada jum’at malam sekitar pukul 19.00, saya langsung tergerak untuk mengikuti acara tersebut melalui Zoom Cloud Meeting. Dalam feed Instagram tersebut disebutkan bahwa acara Zoom Meeting akan dimulai pada pukul 20.00 WIB dan dihadiri oleh Dahlan Iskan (Menteri BUMN periode 2011-2014), Enny Sri Hartati (Peneliti INDEF), Rocky Gerung (Pengamat Politik dan seorang Filsuf), dan tentunya tuan rumah Mardani Ali Sera.

Sebagai pembicara pertama, Enny Sri Hartati menegaskan bahwa kepanjangan dari BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara, BUKAN Badan Usaha Milik Penerintah. Menurutnya pengertian Negara dengan Pemerintah sangat jauh berbeda. Pemerintah selalu berganti-ganti, setidaknya setiap lima tahun sekali setelah PEMILU. Namun, Negara tidak akan pernah berganti bahkan sampai zaman berakhir. Tujuan dari adanya BUMN, baik itu Persero maupun Perum, adalah meraih keuntungan dan juga efisiensi yang itu semua tidak lepas dari amanah UUD 1945 khususnya pasal 33. Untuk itu menurutnya, keterlibatan dan Intervensi pemeritah terhadap BUMN harus dikurangi karena dikhawatirkan BUMN hanya akan jadi sapi perah pemerintah.

Namun, Dahlan Iskan berpendapat bahwa keberadaan BUMN tidak mungkin tidak ada intervensi pemerintah. Sebagai contoh, pada setiap penentuan direksi maupun komasaris selalu muncul adanya “titipan” baik yang datangnya dari DPR, presiden, maupun partai politik. Padahal tidak ada aturan yang mengharuskan seorang menteri BUMN untuk menuruti “titipan” tersebut, karena menentukan seorang komisaris BUMN adalah kewenangan seorang menteri. Dirinya mengusulkan agar kedepannya ada semacam pengelompokan (cluster) terhadap keberadaan BUMN. Paling tidak BUMN hanya terbagi ke dalam dua bagian, yaitu BUMN yang menyangkut ketahanan negara dan BUMN biasa.

BUMN yang menyangkut ketahanan negara harus tetap ada, tidak mengenal apakah untung atau rugi, keberadaannya harus dijaga. BUMN yang menyangkut ketahanan negara meliputi BUMN yang mengurusi masalah persenjataan, masalah ekonomi/perbankan, dan BUMN yang menangani masalah pangan. Sedangkan BUMN yang mengurusi masalah energi, dalam jangka panjang bukanlah merupakan BUMN ketahanan negara, karena kedepannya energi fosil (MIGAS) tidak akan lagi bernilai signifikan. Seluruh BUMN yang bersifat mengurusi ketahanan negara tidak mendasarkan kegiatannya pada parameter untung rugi maupun efisiensi, namun lebih mengedepankan masalah keamanan dan ketahanan negara.

Sedangkan untuk jenis BUMN di luar ketiga kelompok BUMN di atas dipacu untuk dapat meningkatkan efisiensi dan keuntungan, jika tidak tercapai kedua hal tersebut maka sebaiknya jenis BUMN tersebut dibubarkan. Ada sekitar 50 jenis BUMN yang hidup segan mati tak mau, sehingga hal ini hanya akan menyulitkan menteri BUMN saja. Sebagai contoh, keberadaan PFN (Perusahaan Film Negara) tidak perlu lagi dipertahankan, karena tidak memiliki nilai keuntungan dan omset yang signifikan. Sebagai gantinya, pemerintah dapat membuat peraturan yang mengamanahkan perusahaan film swasta untuk membuat film berkualitas untuk kepentingan negara, tentunya dengan memberikan insentif yang layak.

Inti dari keberadaan BUMN adalah mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak untuk digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. BUMN bukanlah ATM penguasa maupun sapi perah yang sewaktu-waktu digunakan untuk kepentingan penguasa, tetapi BUMN adalah aset bangsa yang harus dipelihara dan disuburkan agar seluruh aktifitas usahanya memperoleh keuntungan dan akan kembali lagi keuntungan tersebut kepada rakyat.

Untuk itu, jangan pernah bernegosiasi dengan NILAI. Katakan tidak pada NILAI yang tidak benar.  Sudah saatnya seluruh pejabat publik untuk berlaku jujur dan memiliki integritas yang tinggi, karena sesungguhnya aset yang paling mahal dan berharga adalah kejujuran dan integritas.***

 

Tinggalkan Balasan