Bagaimana Antisipasi Penyebaran HIV/AIDS di Jawa Tengah?

Humaniora106 Dilihat

KMAB25

Sosialisasi dan edukasi terkait risiko HIV/AIDS sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu, tapi hasilnya nol besar karena materi KIE hanya mitos

Oleh: Syaiful W. Harahap

“Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jawa Tengah beserta jajarannya di daerah diminta semakin aktif dalam mengedukasi risiko HIV/AIDS kepada masyarakat. Pasalnya, kasus HIV/AIDS telah ditemukan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.” Ini lead pada berita “KPA se-Jateng Diminta Kian Aktif Edukasi Masyarakat Soal HIV/AIDS” (republika.co.id, 29/7-2022)

Terkait dengan sosialisasi dan edukasi tentang HIV/AIDS sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu yaitu di awal-awal epidemi HIV/AIDS.  Tapi, hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama sehingga menghilangkan fakta medis tentang HIV/AIDS. Yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan seks pranikah, zina, ‘seks bebas,’ selingkuh, pelacuran dan homoseksual.

Padalah, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks pranikah, seks di luar nikah, zina, ‘seks bebas,’ selingkuh, pelacuran dan homoseksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua pasangan tersebut mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis. (Lihat matriks risiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksul).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Nah, kalau kemudian Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, meminta KPA untuk semakin aktif dalam mengedukasi risiko HIV/AIDS kepada masyarakat, apa materi KIE yang akan disampaikan?

Kalau hanya sebatas mitos itu sama saja dengan menggantang asap atau menggarami laut karen informasi yang disampaikan tidak akurat.

Ada empat perilaku yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika seseorang melakukan salah satu atau beberapa perilaku seksual berisiko berikut, maka orang tersebut berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Empat perlaku seksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong).

(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Pertanyaan untuk Wagug Jateng: Apa langkah Pemprov Jateng melalui KPA Jateng dan jajarannya untuk menghentikan empat perilaku seksual berisiko di atas?

Pemprov Jateng sudah menerbitkan peraturan daerah (Perda) No 5 Tahun 2009 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 24 April 2009 yang ditandatangani oleh Gubernur Jateng, Bibit Waluyo.

Tapi, Perda ini juga ‘mandul’ sama seperti seratusan Perda sejenis di Tanah Air karena pasal-pasal pencegahan tidak menukik ke akar masalah yaitu perilaku seksual berisiko. Perd AIDS Jateng malah mengabaikan risiko penularan HIV/AIDS melalui aktivitas seks di tempat-tempat pelacuran.

Baca juga: Perda AIDS Prov Jawa Tengah Mengabaikan Risiko Penularan HIV di Lokasi Pelacuran

Di Jateng sendiri sudah ada beberapa kabapaten dan kota yang menerbitkan Perda penanggulangan HIV/AIDS, tapi semua perda di Indonesia hanya ‘copy-paste.’ Selain itu penanggulangan HIV/AIDS dan Perda AIDS di Indonesia juga mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.

Baca juga: Program Penanggulangan AIDS di Indonesia Mengekor ke Ekor Program Thailand

Disebutkan pula: Dalam mengoptimalkan dan memudahkan upaya pencegahan, KPA harus bisa menggandeng elemen masyarakat yang lain. Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan unsur lainnya juga harus diajak diskusi bagaimana meningkatkan pencegahan melalui sosialisasi serta edukasi yang efektif.

Yang diperlukan adalah program yang konkret yaitu menjangkau pelaku perilaku seksual berisiko di atas, khususnya laki-laki, agar mereka selalu memakai kondom jika melakukan hubungan seksual yang berisiko.

Persoalannya adalah perilaku seksual berisiko tersebut semua terjadi di ranah privat. Apalagi yang menyangkut PSK karena ketika reformasi tempat-tempat pelacuran ditutup, lokaliasi pelacuran pindah ke media sosial. Sekarang ditambah pula dengan praktek prostitusi online. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusi terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat.

Laporan siha.kemkes.go.id (7/2-2022) tentang perkembangan kasus HIV/AIDS,  dari tahun 1987 sampai 30 September 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Jateng sebanyak 55.766 yang terdiri atas 41.904 HIV dan 13.862 AIDS. Jumlah kasus ini menempatkan Jateng di peringkat kelima nasional.

Yang perlu diingat jumlah kasus yang dilaporkan (55.766) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Untuk itu Pemprov Jateng melalui KPA dan Dinkes Jateng perlu merancang program untuk mendeteksi warga yang mengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi. Tentu saja program tidak boleh melawan hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Tanpa program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru di hulu yaitu pada perilaku berisiko dan mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS di masyarakat, maka penyebaran HIV/AIDS di Jateng akan terus terjadi. (Sumber: Kompasiana, 31/7-2022). *

Tinggalkan Balasan