Belajar dari Rasa Sakit (3)

“Yah sudah bahagia dengan kehidupan kita sekarang ini.” Aku tersenyum manis sambil mencolek – celok pipi anak kami yang masih asyik dengan makanannya.

“Tidak rindu Emak dan Ayah serta keluarga.” Terus Bang Akmal mencercaku dengan pertanyaanya.

“Abang baik – baik sajakan? Kenapa bertanya seperti itu.” Aku menatap wajah suamiku dengan pandangan tak biasa, heran dengan pertanyaan – pertanyaannya.

“Jangan terlalu memikirkan sesuatu yang membuat Abang stress, Abang sakit bagaimana dengan Alyah dan anak kita. Ingat Abang janji untuk selalu bersama menatap rumah tangga kita sampai maut memisahkan.” Ucapku tegas.

***

Suara motor memasuki halaman rumah, langkah tergesa terdengar beserta salam yang mengema dan sosok Bang Akmal sekarang berdiri di depanku.

“Alhamdulillah Yah, Abang lulus.” Ucap suamiku sambil memeluk diriku yang masih bergulat dengan adonan kue buat jualan besok hari.

Sudut netraku memanas setitis air bening tumpah tanpa dapat aku cegah lagi, tangis bahagia.

Pengumuman yang sudah lebih dari enam bulan di tunggu suamiku akhirnya keluar juga. Suamiku bersama semua yang mengikuti seleksi P3K hari ini penantian mereka berakhir.

Keheningan kami terganggu oleh suara tangis bayi kami yang berada dalam ayunan, Bang Akmal mengangkat bayi kami menyiumnya berkali – kali.

“Ini tuah si kecil.” Spontan Bang Akmal berkata

“Bukan tuah anak Bang tapi karena berkat kesabaran Abang, ingat Abang sampai nak berhenti mengajar karena tak sabar dengan gaji kecil.” Ucapanku mendapat senyuman kecut suamiku

Ya pendapatan dari menghoner memang kecil, tapi aku selalu membesarkan hati suamiku dengan mendukungnya memberikan les walaupun sisa waktunya hanya sedikit untuk kami sekeluarga.

Ketukan dipintu depan mengalihkan perhatian kami, spontan Bang Akmal berjalan menuju depan rumah sambil mengendong anak kami, aku masih melanjutkan mengadon bahan kue yang tinggal sedikit lagi jadi.

Selesai dengan pekerjaanku aku melangkah menuju ruang depan, melihat Bang Akmal masih berdiri, aku menjengah dari balik badan Bang Akmal untuk melihat siapa yang datang.

Netraku membulat melihat Ayah dan Emakku serta Bang Ihsan Abangku berdiri depan rumah kami.

“Ayah Emak Abang mari masuk.” Walaupun  hatiku cemas apakah mereka akan masuk ke dalam gubug kami ini.

Tidak aku lihat langkah ragu dari Ayah Emak dan Bang Ihsan masuk ke dalam gubug kami, hanya Bang Akmal yang masih terpaku di depan pintu setelah mengeser badan untuk memberikan laluan kepada Ayah Emak dan Abangku untuk masuk.

“Akmal mari duduk di sini.” Suara Ayah bergema di ruang tamu rumah kami

Bang Akmal dengan canggung duduk di kursi yang tersisa satu, aku lebih memilih untuk duduk bersila didepan lutut Emak yang duduk di salah satu kursi rumah kami.

Aku meletakkan kepalaku pada lutut Emak, rasa rindu yang mendalam kepada keluargaku seperti hilang melihat kehadiran mereka saat ini.

“Maafkan Ayah yang selam ini menghalangi kebahagian kalian.” Terbata Ayah mengucapkan kata sakti yang sudah lama kami nanti.

“Ayah tak salah, tapi Akmal yang terlalu lancang mengambil kebahagian dari rumah Ayah.” Ucap suamiku dengan suara parau.

“Tidak ada yang mengambil, Ayah yang terlalu takut putri Ayah pergi mencari kebahagiannya yang ternyata dengan dirimu, putri Ayah telah dewasa. Terima kasih sudah menjadikan putri kecil Ayah menjadi wanita dewasa serta Ibu yang mengerti arti kehidupan. Lihatlah dirinya saat ini tidak pernah sekalipun dirinya mengeluh akan keadaan kalian kepada Ayah atau kepada Abang yang selalu menyayanginya. Hanya kata bahwa dirinya bahagia dengan kehidupannya saat ini, bahkan selalu mengatakan semua ini berkat kasih sayang Ayah dan Emak serta Abangya yang membuatnya menjadi istri yang berbakti kepada keluarganya.

Ayah selalu menanyakan kepada tetangga serta kenalan kalian bagaimana keadaan kalian selama lima tahun ini, mereka selalu mengatakan kekurangan keadaan kalian tapi tidak sekalipun dirinya merendahkan suaminya dengan datang kepada kami untuk meminta bantun.

Terima kasih sudah menjadikan anak Ayah istri sholeha.” Menetes air mataku ketika mendengar ucapan panjang lebar Ayah.

Kami semua diam dalam hening yang mengharukan, aku langsung memeluk Ayah sementara Abangku mengambil anak kami dari gendongan Bang Akmal dan menimangnya membuat bayi kecil kami tertawa.

Emak sudah menangis tersedu – sedu, Aku dan Ayah melepas pelukan kami menarik Emak ikut serta dalam pelukan yang sudah lama aku rindukan.***

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan