Paradoksial acapkali terjadi di negeri ini. Negeri dengan kekayaan melimpah, gemah ripah loh jinawi, namun rakyatnya lebih banyak yang kekurangan ketimbang yang hidup sejahtera. Kemiskinan seakan abadi adanya, baik kultural maupun struktural. Lapangan pekerjaan yang tak menjanjikan, sementara dapur harus terus ngebul menjadikan tak sedikit penduduk pribumi yang nekat menjadi pekerja migran. Meski berat, karena tuntutan perut dan kebutuhan pokok lainnya membuat para ibu pura-pura lupa bila kelak bakal rindu pada keluarga.
Tak sedikit kaum Ibu dengan peran utamanya mengasuh anak-anak dan berkhidmat pada suaminya, terpaksa harus pergi jauh mengadu nasib. Mereka bahkan berperang dengan maut saat mengadu nasib di negeri orang. Di sisi lain, mereka tidak mendapatkan perlindungan dari suami,keluarga, apalagi negaranya.
Kisah Sedih Meriance dan Adelina
Miris mendengar kisah penyiksaan yang dialami Meriance Kabu, pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Wajahnya menghitam karena hampir setiap hari dipukul majikannya. Tubuhnya pernah ditempelkan setrika panas, alat vitalnya dijepit tang hingga memar, lebam, dan terluka, lidahnya sobek, telinganya robek, tulang hidungnya pun patah.
Wanita malang yang awalnya tinggal di desa ini berniat pergi ke Malaysia untuk sekadar bisa memberi uang jajan pada anak-anaknya. Nahas, ia menjadi pekerja migran ilegal karena kurang informasi. Majikannya kerap mengancam melaporkannya ke polisi jika ia keluar rumah. Setelah selamat dari siksaan, kini Meriance terus mencari keadilan karena majikan yang menyiksanya tidak mendapatkan hukuman berat.
Kisah Adelina adelina tak kurang pilu bila dibandingkan dengan Mariance. Majikannya yang dihukum kurungan pada 2019 telah dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Penang. Padahal, pada 2018, Adelina ditemukan di beranda rumah majikannya dalam kondisi penuh luka, hingga akhirnya nyawanya melayang. Adelina termasuk satu dari 700 lebih pekerja asal NTT yang kembali kepada keluarga dalam kondisi meninggal. Pulang dalam peti mati (BBC, 1-3-2023).
Dubes RI untuk Malaysia tidak mengingkari adanya penderitaan yang dialami kaum migran. Hermono sang Dubes itu menyatakan, 5.000 kasus yang menimpa Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia, ratusan di antaranya adalah kasus penganiayaan, termasuk penyiksaan fisik, gaji tidak dibayar, dan lain-lain. Data lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 2.300 pekerja yang gajinya belum dibayarkan. Mirisnya, semua ini terjadi di tengah permintaan pekerja di sektor rumah tangga yang terus meningkat, bahkan mencapai lebih dari 66.000 pekerja. (Data KBRI Malaysia, Februari 2023).
Angka penderitaan ini tidaklah real. Faktanya pasti lebih banyak. Laksana fenomena gunung es, data tersebut hanya berdasar pelaporan, sedangkan yang tidak melapor diyakini angkanya jauh lebih besar. Banyaknya kasus penganiayaan yang tidak tertangani. Banyak majikan jahat yang tak terjerat hukuman, membuat para majikan di negeri jiran itu enteng melakukan penganiayaan terhadap sejumlah PMI. Di sisi lain, alangkah menderitanya para wanita yang menjadi pahlawan devisa ini. Dimanakah mèreka memperoleh perlindungan?
Benarkah Permenaker Menyolusi?
Berlatar beragam kasus penganiayaan yang menimpa PMI, Menaker menerbitkan Permenaker 4/2023 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia, menggantikan Permenaker 18/2018. Dalam Permenaker yang baru ini, ada penambahan clausal manfaat jaminan sosial. Manfaat yang dimaksud ditujukan untuk meningkatkan perlindungan dan pelayanan bagi PMI dari risiko sosial, baik karena kecelakaan kerja, kematian, maupun hari tua.
Ida Fauziyah selaku Menaker menjelaskan, ada iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKm) sebesar Rp370.000 dengan perjanjian kerja 24 bulan, juga iuran jaminan hari tua (JHT) berkisar antara Rp50 ribu—Rp600 ribu. (BBC, 3-3-2023). Atas Iuran yang telah dibayarkan ini, pekerja migran akan mendapatkan kompensasi berupa pelayanan kesehatan, santunan berupa uang, pendampingan, pelatihan vokasi bagi PMI yang cacat, santunan kematian, biaya pemakaman, beasiswa pendidikan, pelatihan perlindungan selama kerja, dan lain-lain. Dengan begitu, perlindungan kerja dan pascakerja para PMI akan makin terjamin. Namun, benarkah Permenaker ini menjadi solusi atas kekerasan yang menimpa PMI?
Bukan Solusi
Sejumlah kompensasi sesuai konsepsi Permenaker 4/2023 diasumsikan sebagaI solusi atas problem yang dialami pekerja migran. Tertidaknya ada dua poin yang bisa dianalisis terhadap asumsi ini. Pertama, persoalan utama kaum migran adalah kemiskinan akut. Kemiskinan menjadikan keterampilan para pekerja migran sangat rendah sehingga mereka hanya bisa masuk di sektor tanpa skill, seperti pembantu rumah tangga. Kemiskinan juga membuat warga mudah terbawa proses migrasi ilegal karena mereka juga miskin pengetahuan. Mereka cenderung memilih proses yang lebih mudah dan cepat, meski tidak aman.
Lebih dari itu, kemiskinanlah yang menjadi penyebab tingginya angka PMI. Andaikan kehidupan mereka sejahtera dan pekerjaan mudah didapat, tentu hidup bersama dengan keluarga di tanah kelahiran menjadi pilihan yang mereka sukai. Oleh karenanya, problem PMI bisa selesai dengan mengembalikan kesejahteraan rakyat. Problem kemiskinan karuslah diselesaikan.
Sayangnya, alih-alih menyejahterakan, banyaknya pekerja imigran justru menjadi sumber pemasukan bagi negara lewat devisa. Meski PMI yang sedang mempertaruhkan nyawanya di luar sana tanpa perlindungan yang nyata dari negara. Artinya, PMI akan terus dipelihara, bahkan disosialisasikan sebagai solusi perekonomian keluarga dan penyokong ekonomi negara. Sungguh, mereka itu sebenarnya terperdaya.
Kedua, adanya Permenaker ini sejatinya mengonfirmasi bahwa fokus pemerintah bukan untuk melindungi warganya dengan menyediakan lapangan kerja di tanah air. Menciptakan kondisi untuk mencegah agar mereka tidak perlu bermigrasi. Apa pun, ketiadaan lapangan pekerjaan merupakan masalah utama bagi penduduk miskin. Sayangnya, pemerintah lebih memilih melindungi sektor ini agar pemasukan tidak menyusut. Untuk kepentingan ini diproduksi UU perlindungan kerja dengan harapan hilangnya hambatan bagi PMI untuk bekerja.
Permenaker agaknya hanya berfokus pada iuran yang wajib dibayarkan para PMI demi terjaminnya perlindungan kerja mereka di luar negeri. Pertanyaanya, jika ingin melindungi warganya, mengapa harus memungut iuran dan mengapa tidak dianggarkan dari negara untuk para pekerja migran? Nampak bahwa pemerintah hanya berfokus pada otak-atik pemasukan negara.
Di sisi lain, rendahnya posisi tawar negeri ini mebjafikan peradilan Malaysia mudah membebaskan para majikan meski telah terbukti melakukan tindak aniaya pada pekerja Indonesia. Bahkan, Kedubes RI untuk Malaysia seakan tak punya berfungai dihadapan putusan hakim yang dianggap sangat menzalimi pekerja Indonesia. Tatkala majikan yang menyiksa Adelia diputuskan bebas, nyatanya pihak Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa.
Kemiskinan Sistemis, Perlu Solusi Sistemik
Kemiskinan sistemis, inilah uang menjadi penyebab kekerasan pada PMI. Artinya rakyat miskin akibat dari sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telah nyata merampas hak rakyat dan memandulkan fungsi negara dalam mengurusi rakyatnya. Sistem ini juga melegalkan perampasan sumber daya alam milik rakyat oleh Asing
Bila pengelolaan SDA dikelola negara, maka sumber mata pencarian akan banyak terbuka karena pengelolaan SDA dari hulu ke hilir dikuasai negara. Sayangnya, kini SDA banyak dikelola asing. Walhasil, fenomena banjirnya tenaga kerja asing di tanah air terjadi di saat angka pengangguran domestik sangat tinggi.
Sebenarnya yang mendesak saat ini adalah membuka lapangan pekerjaan yang memadai bagi kaum lelaki. Selain itu juga ketepatan dalam pengelola sumberdaya alam secara mandiri, tanpa tergantung pihak asing. Selain hasilnya akan dinikmati oleh rakyat, proses pengelolaan SDA ini juga akan menyedot banyak pekerja. Dengan begitu, lapangan kerja akan terbuka. Rakyat tidak perlu menjadi PMI hanya untuk mencari sesuap nasi, karena di negerinya sendiri kekayaan melimpah.
Bila perekonomian negara kuat niscaya persoalan hidup rakyat bakal terurai. Kaum ibu tak tertuntuk untuk bekerja, mereka akan fokus pada pendidikan anak. Kaum perempuan pun akan sejahtera di bawah penerapan sistem Islam.
UProblem kekerasan terhadap pekerja migran, senyatanya hanyalah salah satu dari sekian persoalan yang tidak akan kelar jika kepemimpinan sistem kapitalisme masih eksis di negeri ini. Untuk menyelesaikannya, Islam merupakan sistem yang tak janya memberi harapan, namun juga merupakan kewajiban untuk diterapkannya oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan.