Hakikat Penciptaan Manusia

Humaniora, Islam107 Dilihat

Sumber gambar :makrifatulinsan.wordpress.com

 

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa ta’ala yang paling sempurna. Dikatakan paling sempurna, karena selain memiliki wujud yang paling baik, manusia juga dilengkapi akal pikiran dan nafsu. Allah Subhanahu wa ta’ala juga telah mewajibkan manusia untuk beribadah dan menyembah hanya kepada-Nya, agar manusia tetap berada dalam kemuliaannya.

Dalam proses penciptaannya, ada 2 unsur utama dalam diri setiap manusia, yaitu unsur Ruh dan unsur Tanah. Dua unsur inilah yang menjadikan manusia hidup, tumbuh serta berkembang menjadi besar dan dewasa.

Dalam Al Qur’an Surat As Sajdah (32) Ayat 7-9 Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah”.

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina”.

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.

Dari ayat di atas, dapat kita pahami bahwa asal mula manusia (Adam a.s) adalah tercipta dari tanah, kemudian anak keturunan Adam a.s (seluruh manusia) berasal dari saripati air yang hina (nutfah). Di ayat yang lain dikatakan dari saripati tanah, karena pada dasarnya nutfah berasal dari sel gonosom, sel ini berasal dari nutrisi makanan yang dikonsumsi oleh manusia. Seluruh makanan yang dikonsumsi manusia berasal dari sumber makanan hewani maupun nabati (tumbuhan), dan hampir seluruh tumbuhan mengambil sumber makanannya dari dalam tanah dalam proses fotosintesis.

Sebelum ruh ditiupkan ke dalam janin, secara embriologi wujud manusia tidak jauh berbeda dengan wujud embrio makhluk hidup yang lain. Baru kemudian, setelah bentuk janin sempurna dan telah mengalami differensiasi sekitar usia 4 bulan dalam kandungan, barulah ruh ditiupkan ke dalam janin. Bentuk dan ukuran janin berkembang pesat setelah ditiupkannya ruh, sampai pada akhirnya, setelah kurang lebih usia janin 9 bulan lebih 10 hari, maka saatnya janin tersebut lahir ke dunia.

Sebagian besar bayi ketika dilahirkan dalam kondisi menangis, seolah dia sudah mengetahui amanah berat yang akan dipikulnya ketika hidup di dunia. Dahulu ketika masih berada di alam rahim (kandungan), seolah ia berada di dalam surga. Segala apapun yang dibutuhkannya, akan segera tercukupi melalui perantara tali kasih (plasenta) antara ia dengan sang ibu. Ketika dalam kandungan, seorang bayi sudah menyaksikan kebesaran Allah Subhanallah wa ta’ala seraya bersyahadah Tauhid, sebagaimana yang tersirat dalam Al Qur’an Surat Al A’raf (7)ayat 172 :

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Setelah seorang bayi dilahirkan kemudian tumbuh menjadi balita dan kanak-kanak, selanjutnya dia akan menjadi remaja dan memasuki masa aqil baligh (mukallaf). Sebagai sebuah kefitrahan, bahwa setiap manusia pasti memiliki kecenderungan akan nilai-nilai Ilahiyah (ketuhanan), siapapun orang tuanya, apapun jenis suku bangsanya, dan di manapun ia berada. Ada sebuah amanah yang harus diemban oleh setiap mukallaf yaitu mengenal Tuhannya dan mengabdi hanya kepada-Nya . Inilah hakikat dasar dari dilahirkannya seorang manusia ke dunia. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al Qur’an Surat Adz Zariyat (51) Ayat 56 :

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

Di ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman :

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (Q.S Al Ahzab (33) : 72)

Sebagai makhluk yang mengemban amanah sebagai ‘abdullah (hamba Allah), tidak ada ruang sedikitpun bagi manusia untuk menjadi hamba thagut (segala sesuatu yang disembah dan mendominasi diri selain Allah). Beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, jangan diartikan selesai manakala sudah melaksanakan sholat, puasa, zakat, maupun haji. Namun, ibadah yang dimaksud harus berada dalam ruang lingkup yang luas, tidak sebatas ruang private dan domestik saja. Nilai-nilai ibadah seseorang harus bermakna komunal dan berimbas pada terciptanya kebaikan untuk seluruh alam, karena pada hakikatnya setiap manusia mengemban misi rahmatan lil ‘alamin.

Untuk mencapai misi rahmatan lil ‘alamin, tidak dapat dilakukan secara perorangan atau sendiri-sendiri. Maka kecenderungan manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial) dapat diarahkan pada sebuah pengorganisasian pemikiran. Secara naluri, setiap manusia adalah pemimpin bagi manusia yang lainnya. Hanya saja, tidak setiap manusia menyadari dan mampu menjadi pemimpin dan siap dipimpin. Padahal, pada hakikatnya setiap manusia adalah khalifah di muka bumi. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) Ayat 30 :

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Dalam sebuah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)

Kesimpulan :

Manusia adalah makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala yang paling sempurna karena telah dikaruniai akal pikiran dan nafsu. Dengan karunia tersebut, apakah ia tetap dalam kefitrahannya sebagai hamba Allah Subhanahu wa ta’ala yang menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, sehingga ia akan mampu menciptakan rahmatan lil ‘alamin di muka bumi, atau sebaliknya terjerumus kepada lembah kehinaan?. Semua berpulang kepada kita, karena pada hakikatnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak membutuhkan segala macam bentuk persembahan kita. Namun, kitalah sebagai hamba Allah yang sangat membutuhkan segala macam kasih sayang-Nya. Semoga Allah Subhanu wa ta’ala senantiasa memberi kita petunjuk untuk selalu berada di jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah diberi nikmat dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai. Aamiin Ya Robbal ‘alamiin. ***

Referensi :

1.https://muslim.or.id/52693-pemimpin-rumah-tangga-4.html

2. https://tafsirq.com/

Tinggalkan Balasan