Boro-boro S2, Sarjana pun Enggak

Karir, Peristiwa159 Dilihat

SENI MENERTAWAKAN DIRI SENDIRI (Bag.6)

Dapat tawaran mengajar di kampus almamater, pastinya itu sangat menggembirakan. Itulah yang saya alami saat itu, tiba-tiba seorang art director senior saya menawarkan itu pada saya, dengan senang hati saya pun memenuhi panggilan ke kampus.

Inilah kesalahan saya, belum apa-apa sudah di posting ke Facebook, padahal untuk menjadi seorang dosen di perguruan tinggi itu, harus memenuhi berbagai persyaratan.

Sementara saya cuma bermodalkan keahlian dan keyakinan. Saya berpikir kampus almamater saya itu masih seperti yang dulu, gak tahunya sistem birokrasi sudah berubah jauh.

Saya pernah mendapat peluang dari kampus, untuk menyelesaikan program S1 hanya dalam waktu 1 tahun, kesempatan itu saya abaikan. Saya berpikir pada saat itu, bahwa saya tidak membutuhkannya, karena profesi saya tidak menuntut saya harus seorang sarjana.

Alhasil saya lewatkan begitu saja tawaran tersebut, dan saya terus menekuni profesi saya sebagai art director. Saya tidak pernah berpikir saat itu, akan mengabdikan diri di kampus, karena memang saya tidak bisa menjadi tenaga pendidik. Tapi begitu ada peluang tersebut, maka saya pun antusias untuk menerimanya.

Saya berpikir kalau senior saya tersebut juga bukanlah penyandang gelar S1 atau pun S2, tapi dia bisa mengajar di kampus tersebut. Apa lagi dia bukanlah alumni kampus itu, sehingga beranggapan kalau saya sangat berpeluang untuk bisa diterima.

Inilah yang membuat saya menertawakan diri saya sendiri, saya pikir dunia birokrasi itu bisa memaklumi siapa pun diri saya, ternyata dugaan saya salah.

Persyaratan yang harus saya penuhi untuk menjadi seorang dosen, harus S2. Dalam hati saya, “boro-boro S2, sarjana pun enggak”.

Padahal, saya berharap dengan mendapat kesempatan mengajar di kampus tercinta, saya bisa mengisi hari tua saya dengan berbagi ilmu.

Ternyata gayung tidak bersambut, tidak ada peluang sama sekali bagi yang tidak memiliki gelar S2, dan itu persyaratan mutlak dari Dikti katanya.

Saya pun nelangsa, ternyata tidak mudah untuk berbagi ilmu, harus melalui proses birokrasi yang begitu rumit. Lembaga pendidikan kesenian yang tadinya sangat merdeka, sudah tidak ada bedanya dengan lembaga pemerintah lainnya. Begitu sangat kaku dalam menerapkan sistem birokrasi, tanpa kompromi.

Berdasarkan pengalaman ini, saya menganjurkan anak saya yang lulusan D3 Komunikasi IPB, untuk menyelesaikan pendidikan S1 nya, ternyata jawabannya sama dengan jawaban saya, saat diminta ayah saya agar menyelesaikan pendidikan S1,

“Untuk apa Pa? Kan ade gak membutuhkan itu?” Jawab anak saya.

Kadang memang, saat kita terlalu asyik dengan menikmati penghasilan yang diperoleh, dari profesi yang digeluti, tanpa embel-embel gelar di depan dan belakang nama, sehingga menganggap gelar apa pun tidak penting lagi. Tapi begitu berhadapan, dan berurusan dengan birokrasi pemerintahan, hal itu sangat diperlukan.

Saya tidak habis-habis menertawakan diri saya sendiri, kalau ingat peristiwa tersebut. Zaman Sudan berubah, saya masih asyik dengan kesibukan diri sendiri. Sementara diluar sana orang-orang berlomba-lomba memperbanyak gelar di depan dan belakang namanya, karena dengan gelar tersebut mereka mempunyai privilege dipergaulan sosial.

Dan itu nyata, dalam berorganisasi kalau kita tidak memiliki gelar, jangan harap bisa mendapatkan privilege. Bahkan bisa jadi tidak dianggap apa-apa, kecuali kalau kita orang terkenal, meskipun tidak memiliki gelar, pasti dihormati.

Saat berada dilingkungan orang-orang penyandang berbagai gelar, kalau kita tidak memiliki keistimewaan yang bisa dibanggakan, maka bersiap-siaplah untuk tidak diperdulikan.

Karena kondisinya memang sudah seperti itu, terkecuali Anda public figure, atau profesi Anda cukup dikenal, barulah Anda akan dihargai.

Padahal dilingkungan seniman sendiri, sebetulnya hal seperti itu tidak terlalu diperdulikan, yang lebih dilihat adalah karyanya. Karyanya bisa melebihi gelar yang dimilikinya, karena itu lebih otentik daripada gelar. Gelar hanya dibutuhkan dalam lingkungan birokrasi, dan terkait pemerintahan.

Ajinatha

Tinggalkan Balasan

2 komentar