Menulis dengan sebenar-benarnya itu ternyata tidak mudah. Bagi orang-orang yang sudah memahami kaidah penulisan mungkin memang mudah. Atau bagi yang sekadarnya menulis, tentulah gampang.
Sejak duduk di bangku SMA saya sudah menulis, tapi ya sekadar menulis, dan tidak pernah berpikir bagaimana menulis dengan sebenar-benarnya. Bahkan sejak tahun 2010 saya sudah bergabung di Kompasiana, untuk sekadar berbagi tulisan.
Memang saya menulis cuma bermodalkan nekad, bukanlah dengan ilmu kepenulisan yang benar. Saya cuma berpikir kalau hal itu bisa dipelajari sambil berjalan, atau Learning by Doing. Pada akhirnya prinsip itu yang saya pakai dalam menulis.
Persoalannya, dengan cara itu membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang baru mengetahui seperti apa menulis yang benar. Kadang membaca ulang tulisan saya yang sudah lama di Kompasiana, membuat saya tertawa geli sendiri.
Banyak sekali kesalahan yang saya lakukan dalam penulisan. Mulai dari penggunaan tanda baca, saltik (salah ketik), sampailah pada persoalan EYD dan sebagainya. Itu hal yang luput dari perhatian, dikarenakan kurangnya pengetahuan.
Dengan modal nekad pula saya menulis puisi, cerpen, bahkan novel tanpa pernah memperdulikan kaidah-kaidah penulisannya. Saya cuma berpikir bahwa, dari kesalahan-kesalahan itulah nantinya jadi tahu bagaimana menulis yang benar.
Sampai sekarang pun saya masih terus belajar bagaimana menulis yang benar. Ternyata menulis itu memang tidak mudah, bahkan saya tidak percaya kalau banyak Motivator menulis yang mengatakan bahwa menulis itu mudah. Karena, apa yang saya alami menulis itu tidaklah mudah.
Inilah yang membuat saya menertawai diri saya sendiri. Secara jam terbang sudah cukup lama menulis, tapi sampai sekarang tidak pintar-pintar menulis. Produktif sih iya, tapi menulis itu ukurannya bukanlah produktivitas saja, juga harus mencermati kualitasnya.
Untuk yang satu ini memang kadang saya tidak terlalu peduli, yang penting apa yang dituliskan sampai pada pembaca dan memberikan manfaat bagi yang membaca. Soal kualitas bisa diperbaiki sambil terus belajar.
Meskipun berbagai artikel opini dan inspirasi yang di posting di Kompasiana cukup mendapat apresiasi, namun tetap saja setelah dibaca ulang banyak sekali kelemahannya, terutama dalam hal kaidah penulisan.
Inilah yang membuat saya semakin gigih untuk berusaha memperbaikinya.
Dalam menulis novel, saya cenderung hanya mengandalkan kemampuan mengolah cerita. Pada kenyataannya, menulis novel itu banyak sekali aspek yang harus dipikirkan.
Dengan membaca karya-karya penulis yang sudah populer, pelan-pelan saya belajar bagaimana menulis novel yang benar.
Begitu juga dalam menulis opini dan sebagainya, saya terus berusaha memperbaiki kualitas tulisan, meskipun sampai sekarang belumlah benar sepenuhnya.
Inilah pentingnya menertawai diri sendiri dan menertawai kelemahan sendiri, supaya bisa introspeksi dan memperbaiki diri.
Kelemahan saya pada awalnya adalah kurang teliti, selalu tergesa-gesa dan tidak ingin meluangkan waktu untuk membaca kembali tulisan yang akan di posting.
Kelemahan ini terus dibiarkan sehingga dalam bilangan tahun, maka proses belajarnya pun menjadi larut dan makan waktu yang terlalu lama.
Dengan menertawai tulisan sendiri, maka lebih baik tenimbang akan ditertawai orang lain. Itu yang saya alami saat menulis Web Novel, banyak sekali masukan yang saya terima dari pembaca, baik dari soal ‘dialog tag’ sampai ke persoalan tanda baca.
Semakin banyak tahu kelemahan sendiri, maka semakin pula saya menertawai tulisan saya sendiri.
Ini merupakan buku ke 15 saya yang saya anggap masih dalam proses memperbaiki kualitas tulisan. Semakin banyak buku yang saya tulis, semakin pula saya hati-hati dalam menulisnya.
Banyak novel yang saya coba edit kembali penulisannya. Dan itu semakin menyadarkan saya, bahwa menulis itu bukanlah sekadarnya, tapi juga harus dicermati apa yang ditulis. Rancangan global isi dan kemasan buku tersebut juga adalah hal yang harus diperhatikan.
Belajar dari kesalahan adalah upaya untuk menghindari pengulangan kesalahan yang sama. Kalau pun menulis itu mudah, tapi jangan juga digampangi, sehingga aspek penting dalam menulis terabaikan.
“Menerima diri kita apa adanya berarti menghargai ketaksempurnaan kita sama seperti kesempurnaan kita.” – Sandra Bierig
Berarti sama kita Pak Aji, membaca tulisan lama sendiri bikin ketawa. Banyak hal-hal kecil yang kurang kita perhatikan. Dalam hal menulis kata hubung saja misalnya, kadang gak nyambung.
Misalnya, menulis tetapi didahului oleh koma, tapi kita masih lebih suka menulis tapi tanpa koma pula.
Tanda hubung yang idealnya di awal kalimat, kita masih suka menyeliplan di tengah kalimat.
Ada kata yang semestinya dipisah, tetapi disatukan, misalnya, sepak bola, kita masih sering menemukan menulis dengan sepakbola.
Salaman Pak dan terima kasih.
Benar Bung Katedra..membaca tulisan lama itu adalah cara utk memperbaiki kualitas tulisan dan itu saya sadari sepenuh hati, kalau sy masih harus terus belajar.. Terima kasih bung Katedra apesiasinya