MAKANLAH SEPERLUNYA
Mengingat hal-hal yang bermanfaat dan menerapkannya sebagai falsafah hidup tidaklah salah. Meskipun kenangan itu di saat aku masih kecil (kurang lebih usia 6 tahun), namun peristiwa itu sangat membekas di benakku.
Ini sebetulnya sebuah peristiwa sederhana, dimana terjadi saat makan malam bersama. Ternyata memang saat makan bersama, kadang tanpa disadari orang tua mengajarkan berbagai adab yang baik. Memang tidak semua orang tua melakukan itu.
Bagiku peristiwa ini menjadi pelajaran penting dikemudian hari, karena ucapan Bakku itu selalu terngiang-ngjang saat aku makan. Sehingga aku bisa terhindar dari sikap dan perilaku yang tamak.
Saat itu aku masih sangat kecil belum mengerti apa-apa. Sehingga melihat lauk-pauk yang terhidang, terdorong pikiran untuk mengambil beberapa lauk-pauk. Saat aku akan mengambilnya, Bakku menegurku,
“Makan saja yang sudah ada di piringmu terlebih dahulu, kalau yang ada sudah habis barulah ambil lagi yang lainnya.” seketika aku mengurungkan niatku, dan aku melahap apa yang ada di piringmu sampai tuntas.
Melihat aku tidak melanjutkan makan, Bakku bertanya dengan lembut,
“Sudah selesai makannya? Tidak mau nambah lagi?” tanya Bakku.
Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala, cuma itu respon yang aku berikan dari pertanyaan Bakku. Beliau kembali menasehatiku, aku pikir nasehat itu bukan hanya ditujukan kepadaku. Tapi, juga bagi kakak-kakakku yang ikut makan bersama.
“Makanlah seperlunya, sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan perutmu, agar kamu terhindar dari sikap tamak. Sikap tamak itu akan mubazir, dan mubazir itu tidak disukai Tuhan.” Kira-kira itulah nasehat Bakku saat itu.
Nasehat itu benar-benar aku terapkan dalam kehidupanku sehari-hari, selalu mengukur kebutuhan perut. Bahkan, kadang aku makan tidak untuk kenyang, karena kenyang itu membuatku mudah ngantuk.
Falsafah “Makan disaat lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”, menjadi pengingatku terhadap ucapan Bakku. Falsafah ini pun mengajarkan agar terhindar dari sifat tamak dan berlebih-lebihan.
Tidak ada ruginya mengamalkan falsafah ini, secara medispun sangat menyehatkan. Makan tidak hanya memberikan energi pada tubuh, setiap asupan makanan yang masuk ke dalam perut akan memengaruhi suasana hati.
Logikanya, jika seseorang makan dengan takaran yang tidak tepat atau berlebihan, maka perut terasa sesak dan sakit sehingga malas untuk beraktivitas. Yang ada malah kantukpun menyerang, dengan begitu maka terhambatlah produktivitas.
Ternyata, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pun mengingatkan dalam sebuah Hadits-nya,
“Tidaklah sekali-sekali manusia memenuhi sebuah wadah pun yang lebih berbahaya dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan tubuhnya. Jika ia harus mengisinya, maka sepertiga (bagian lambung) untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk napasnya (udara).” (HR. Tirmidzi)
Relevansi aku menuliskan ingatanku dimasa kecil adalah untuk Muhasabah, agar selalu mengingat pesan baik yang pernah diterima dan menjadikannya sebagai falsafah dalam menjalani hidup.
Alhamdullillah, sifat ini ditularkan pada anak dan cucuku, dan selalu terhindar dari sifat tamak. Merasa cukup (Qona’ah) dan bersyukur terhadap apa yang sudah dimiliki. Sehingga, selalu terhindar dari hal-hal yang berlebih-lebihan.
Setelah dewasa aku sadar bahwa apa yang dikatakan Bakku pada masa itu sangatlah baik tujuannya. Beliau menanamkan sikap Qona’ah terhadap anak-anaknya. Dan aku tahu, Bakku memang dalam hidupnya selalu bersyukur dengan apa yang sudah dimilikinya.
Semasa jadi pejabatpun kehidupan kami sekeluarga tidak pernah berlebih-lebihan. Kami hidup apa adanya sesuai dengan jerih payah yang halal, dan hanya mengandalkan gaji yang diterima setiap bulan.
Pada kenyataannya, kami tetap hidup meskipun hanya pas-pasan. Bahkan, di rumah kami yang ramai dengan keluarga yang menumpang tidak pernah kekurangan.
(Artikel ini salah satu yang mengisi buku “Aku dan Bakku” yang akan diterbitkan pada bulan Oktober 2022 yang akan datang)
Ajinatha