Sabtu, minggu terakhir dipenghujung tahun. Berjalan menyusuri senja, bersama seseorang yang telah membersamaiku selama 21 tahun. Aku bergelayut manja pada lengannya yang kokoh, mencoba menikmati setiap langkah dibawah rintik rinai hujan. Perlahan rintik hujan mulai menderas dan akhirnya kami mengalah, memilih menepi pada sebuah kedai kopi di ujung jalan.
Dua cangkir kopi dengan kepulan asap dan aroma khasnya menyeruak dalam penciumanku, aromanya menguar memasuki rongga otakku, menjalar keseluruh tubuh, memberi rasa hangat sebelum aku benar-benar merasakan kehangatan dari kopiku.
Kuseruput kopiku dengan amat sangat perlahan, menikmatinya dengan sungguh-sungguh, karena setiap seruputannya memberikan kenikmatan tersendiri, terlebih lagi disaat hujan dengan cuaca dingin seperti saat ini.
Sementara suamiku menatap dengan tersenyum, seperti biasa dia akan mengatakan hal yang sama setiap kali melihat aku menikmati kopiku.
“Enak ya de, kopinya”.
Aku tersenyum dan membalasnya “Ya, nikmat yang tiada duanya”. Lalu kami tertawa bersama.
Hal-hal kecil tetapi membuatku menikmati kebahagiaanku bersamanya.
Hujan kian deras dan air mulai menggenangi jalan. Sepertinya hujan akan lama untuk berhenti. Itu artinya kami akan lama juga di kedai ini menikmati kopi kami.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan. ada begitu banyak hal terlintas dalam benakku. Dalam diam aku menghitung, sudah setahun dan sepertinya semua masih sama.
Aku memecah keheningan dengan bertanya “Yah, gak terasa waktu cepat banget berlalu, tau-tau sudah diakhir tahun, dan kita masih begini-begini aja ya?”.
Ia menoleh ke arahku dan menjawab “iya, ya de. Cepat baget waktu berlalu”.
“Kita tidak tahu, apa tahun depan kita masih diberi waktu dan bersama-sama?”.
Aku menatapnya dengan sendu “iya ya Yah, kita gak pernah tahu. Dan kita belum mempersiapkan apa-apa”.
Setiap akhir tahun, selalu membuat kami merasa perlu untuk merefleksi, karena kami sadar usia kami tak lagi muda, makin menua dan artinya jatah hidup kami makin berkurang. Ada banyak pencapaian yang kami lampaui tetapi lebih banyak kekurangan yang masih harus diperbaiki. Terutama pada persoalan nilai-nilai kehidupan dan spiritualitas.
Kedewasaan menghadapi persolan hidup seharusnya bukan lagi pilihan tetapi keharusan. Usia yang kian menua sejatinya memberi banyak pelajaran untuk bersikap lebih dewasa. Keinginan memiliki hal-hal duniawi sering kali membuat kami lupa mensyukuri apa yang telah kami peroleh. Sehingga hal-hal kecil seringkali memantik pertengkaran yang sebenarnya tidak perlu. Kerapkali kami tidak sabar menghadapi peliknya kehidupan. Rasa tidak yakin dan was-was terhadap “penghasilan” seringkali membuat kami dihiasi kekhawatiran dan ketakutan. Kami lupa jika rezeki sesungguhnya sudah ada yang mengatur. Belum lagi persoalan sabar dan ikhlas, sepertinya menjadi PR besar yang benar-benar harus dipelajari untuk dapat diterapkan tahun depan.
Diam-diam aku memperhatikan suamiku, Sepertinya Dia sedang memikirkan sesuatu, itu terlihat jelas dari cara Dia memandang cangkir kopi dan menyeruput kopinya dengan amat sangat perlahan.
Ia menoleh kearahku, bertanya dengan nada suara lirih.
“Tahun kemaren ibadah kita bolong-bolong ya de”.
“Sepertinya kita lebih banyak baca chat dari pada baca quran”.
“Ayah juga lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal lain daripada ibadah”.
“Sepertinya kita harus benahin lagi tahun depan ya de?”.
Dengan nada getir aku menjawab.
“Iya Yah, sepertinya tahun depan kita harus lebih banyak bebenah. Kita harus saling menguatkan, semoga tahun depan kita bisa lebih baik lagi”.
Kami tidak boleh lemah dan putus harapan, karena Allah melihat proses. paling tidak niat dan tekad sudah Allah catat sebagai amal kebaikan.
Semoga Allah kuatkan niat dan tekad kami untuk menjalani tahun depan dengan cara yang lebih baik lagi.
Akhirnya hujan mulai reda, menyisakan gerimis kecil. Menghabiskan sisa kopi dicangkir dan kami berjalan keluar dengan pikiran yang masih menggelayut. Dalam diam kami berjalan, diiringi gerimis kecil dipenghujung akhir tahun. Kami bertekad untuk menjadi lebih baik lagi.