Seekor Burung Elang yang terbang tinggi, yang mengincar mangsa buruannya, menggunakan nalurinya menangkap setiap peluang yang tidak bisa disia-siakan.
Seperti halnya juga seorang pemulung, yang menggunakan nalurinya, melihat berbagai benda yang bernilai manfaat ditumpukan sampah yang dikaisnya.
Begitu juga seorang penulis, yang mensiagakan penglihatannya, pendengarnya dan ketajaman nalurinya dalam membaca setiap situasi dan peristiwa, yang menjadi sumber Inspirasi ide dan gagasan tulisannya.
Seperti itulah Analogy kepekaan indera dan ketajaman naluri dari seekor elang dan pemulung dalam melihat peluang yang bernilai manfaat.
Seorang pemulung sangat tahu benda-benda seperti apa yang bernilai Rupiah, diantara tumpukan sampah yang dikaisnya. Kemampuan itu bukanlah Hal yang tiba-tiba, tapi karena kebiasaan, dari sebuah prosesi rutinitas yang dilaluinya setiap Hari.
Seorang penulis pun harus mempunyai kepekaan terhadap ide-ide, peluang imformasi yang bisa menjadi bahan tulisannya. Kepekaan tersebut tentunya tidak datang begitu saja, tapi melewati sebuah proses panjang yang sudah dilalui, yang menjadi Habit, karena sebuah proses rutinitas menulis.
Gagasan itu seperti juga tumpukan sampah, yang harus dikais, dan diteliti, disortir. Yang mana saja dari tumpukan sampah gagasan tersebut yang patut dipilih, dan dilihat nilai manfaatnya.
Tidak perlu seperti pemulung yang lebih melihat nilai rupiahnya, penulis hanya perlu melihat dari semua sampah gagasan tersebut, mana yang bisa dituangkan menjadi tulisan yang memberikan manfaat.
Kalaupun pada akhirnya tulisan tersebut menghasil rupiah, itu hanyalah balasan dari sebuah jerih payah. Nilai manfaat dari sebuah tulisan itu terkadang melebihi nilai Rupiah.
Menulis itu adalah pekerjaan yang sangat mulia. Tidak semua orang dianugerahi kemampuan untuk menulis, merangkai kata dan menenunnya menjadi sebuah kalimat yang Indah.
“Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya.” — Stephen King
Apa yang dikatakan Stephen King diatas sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Kerja menulis adalah bekerja dengan segenap jiwa dan raga, bukan sekedar bekerjanya pikiran.
Kerja fisiknya memang tidak terlihat berat, tapi ketika menulis sepenuhnya dengan jiwa dan raga, itu adalah pekerjaan yang sangat melelahkan.
Tapi tidak bagi sang Plagiator, yang hanya tinggal memetik hasilnya, tanpa pernah menghargai jerih payah orang lain, dengan mudahnya memindahkan karya orang lain menjadi karyanya, memetik keuntungan tanpa pernah besrsusah payah dengan jerih payah.
Mantab bermanfaat pak Aji