Novel | Seruni, Catatan Isteri Seorang Politisi #4

Fiksiana, Novel93 Dilihat

Catatan 4

Hari ini lebih banyak melamunkan kenangan terkahir bersama Grasto, berbagai pirasat yang aku terima sebelum kepergiannya. Saat itu dia sangat manja, ingin tidur dipangkuanku. Ucapan-ucapannya sudah seperti memberikan isyarat, kalau dia ingin meninggalkanku,

Flashback

“Runi, mas ingin merayakan kesembuhan mas ini bersama kamu,” ucapnya saat itu

“Besok, kita makan malam bersama ya, kita cari tempat makan yang romantis, mas ingin sekalian mengenang masa-masa kita pacaran dulu.” Lanjutnya

Mendengar tawaran mas Grasto, aku bukan malah senang, malah tambah sedih. Ada perasaan yang mengganjal dalam hatiku.

“Kenapa Runi? Kok kamu tidak gembira menerima tawaran mas?” Tanya mas Grasto

” Aku senang kok mas, cuma aku terharu aja sama tawaran mas, mas gak berubah, tetap seperti saat kita pacaran dulu,” jawabku

“Kamu doakan ya, semoga mas sehat-sehat aja, nanti begitu mas sudah tidak berpolitik lagi, kita hidup didesa aja ya, cari hidup yang damai bersama anak kita,”

“Aamiin, mas akan sehat-sehat aja, In Sha Allah, udah sekarang mas istirahat ya, biar besok malam kita bisa makan malam bersama,”

“Mas mau tiduran dipangkuan kamu, karena mas nyaman banget tidur dipangkuan kamu, sambil liat gerakan bayi yang ada dikandungan kamu.” Ucapnya

Aku mengajak mas Grasto ke kamar, seperti biasanya, aku menyender di kepala tempat tidur, dan mas Grasto berbaring di pangkuan aku.

Secara mental, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi hal yang terburuk. Bahkan aku sudah mempersiapkan diri kalaupun ada apa-apa dengan mas Grasto. Aku jadi ingat pesan mas Grasto saat itu, bahwa dia sudah mempersiapkan deposito untuk aku dan anaknya,
“Runi, mas sudah siapkan deposito untuk kamu dan anak kita, kamu bisa lihat kapan waktu pun, karena mas simpan di brankas,” ucapnya sambil menatapku

“Kode brankasnya, sesuai dengan tanggal lahir kamu.” Setelah mengucapkan itu dia tertidur

***

Mengingat hal itu, hati aku tambah sedih, karena berbagai firasat sudah diperlihatkan kepadaku. Namun untuk menenangkan hati aku saat itu, aku tepis semua firasat itu.

Airmata aku tidak bisa tertahankan lagi, hati aku begitu sedih, aku seakan-akan sedang memangku mayat, yang sedang tertidur dipangkuanku.

Brankas itu belum pernah aku buka sekalipun, sejak mas Grasto meninggal, karena untuk kebutuhanku sehari-hari, uang pensiun mas Grasto masih cukup buatku. Hari ini aku ingin memastikan pesan mas Grasto, aku mencoba membuka brankas yang tersimpan di dalam lemari pakaian.

Aku cocokkan kode dengan tanggal kelahiranku, dan benar aja brankasnya terbuka. Di dalam brankas itu ada sepuluh gepok uang seratus ribuan, juga ada beberapa lembar dollar Amerika, dengan nilai pecahan 1000 USD. Selain itu ada satu lembar sertifikat deposito senilai 2 miliar.

Aku gak ngerti soal deposito, aku perlu konsultasi dengan mas Todhy, gimana cara menguangkan deposito itu.

Aku semakin sedih kalau melihat semua ini, mas Grasto seperti sudah merasa ada tanda-tanda kalau akan meninggalkan aku, sehingga dia menyiapkan semua kebutuhan aku dan anak kami yang sedang aku kandung.

Seperti itulah mas Grasto semasa hidupnya, selalu memberikan aku kejutan, banyak hal yang dia rahasiakan terlebih dahulu, sampai waktunya dia kasih aku kejutan. Kali ini sepertinya dia sudah punya firasat, kalau umurnya tidak lama lagi, sehingga jauh hari, dia sudah kasih tahu aku.

Tanpa aku sadari, aku menangis terharu, aku benar-benar rindu pada Mas Grasto. Aku mencoba telepon mas Todhy, aku mau minta temani mas Todhy untuk ziarah kemakam mas Grasto,

“Assalamu’alaikum mas Todhy, aku ganggu kesibukan mas gak?”

“Wa alaikum salam Runi, gak sih, kebetulan mas lagi masa reses, jadi ada dirumah,”

“Aku mau minta temani ziarah ke makam mas Grasto, bisa gak?”

“Wah kebetulan, mas juga memang ingin ziarah kemakamnya Runi, yaudah mas jemput kamu ya, biar kamu gak nyetir mobil dulu.”
“Ya mas, aku juga mau konsultasi soal deposito yang dari mas Grasto, sebelum dia meninggal,”

“Okey, siap Runi, mas jalan kerumah kamu sekarang ya.”

Kebetulan memang rumah mas Todhy juga ada di wilayah tanggerang, gak jauh dari kawasan perumahan aku. Gak sampai lima belas menit, mas Todhy sudah sampai dirumah aku, aku ajak mampir dia gak mau, dia takut jadi fitnah nantinya, karena aku tinggal sendirian.

Akhirnya kami langsung jalan kepemakaman mas Grasto, didalam perjalanan aku tanya soal gimana caranya mencairkan deposito yang ditinggalkan mas Grasto, aku tunjukan sertifikat deposito tersebut pada mas Todhy,

“Kalau ini sih sertifikat deposito, tidak susah mencairkannya, beda kalau bilyet deposito,” terang mas Todhy
“Oo gitu ya mas, aku bingung mau diapain deposito ini, mas ada saran gak, sebaiknya aku cairkan atau tetap di deposito?” Aku minta sarannya

“Kalau kamu mau, sebaiknya deposito itu dicairkan, kamu investasikan ke tanah atau property, karena nilainya akan terus berkembang,” saran mas Todhy

“Mas Todhy mau bantu aku?” Tanyaku

“Ya harus mau, gimana mungkin mas gak mau, mas ini memegang amanat suami kamu Runi,” jawab mas Todhy

“Alhamdulilah mas, terima kasih ya mas.”

Begitu sampai dipemakaman mas Grasto, aku bersimpuh disisi nisannya, aku tumpahkan semua yang aku rasakan, aku menangis sejadi-jadinya, aku gak mampu menahan kesedihan dan kerinduanku pada mas Grasto,

“Mas, aku benar-benar kehilangan kamu mas, aku sendiri, kadang aku gak ngerti apa yang harus aku lakukan, yang aku tahu, Tuhan sangat sayang sama aku mas, setelah dia kirim kamu walau sesaat, sekarang dia kirim lagi mas Todhy sebagai malaikat yang menjagaku, aku hanya bisa berdoa setiap saat, agar Tuhan melapangkan kubur mas, juga mengampuni semua dosa-dosa mas, dan menerima semua amal baik yang Sudah mas lakukan, Aamiin ya rabbal’alamiin”

Aku lihat mas Todhy, matanya juga berkaca-kaca, dia tidak bisa menahan keharuannya.

Mas Todhy juga mengirimkan doa, dan alfatihah pada mas Grasto. Saat larut dalam kesedihan, tiba-tiba aku merasa tangan mas Todhy membelai bahuku, dia berusaha menenangkanku, agar aku tidak terus larut dalam kesedihan.

Itulah pertama kali mas Todhy menyentuh tubuhku, dia tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya, aku hanya menduga karena dia kasihan melihat aku sedang bersedih. Itupun tidak lama tangannya ada dipundakku.

 

Tinggalkan Balasan