Novel | Seruni, Catatan Isteri Seorang Politisi #5

Fiksiana, Novel93 Dilihat

Catatan 5

Aku tetap mempercayai bahwa jodoh itu adalah misteri, merupakan hak prerogatif Tuhan, tidak satu manusia pun bisa mencampurinya. Makanya itu tidak terlalu memperdulikan hal itu, kadang yang sudah kita nikahi pun belum tentu jodoh kita. Itulah yang aku alami saat ini, aku pikir mas Grasto adalah jodohku, ternyata Tuhan hanya utus dia untuk memperbaiki akhlakku.

Aku juga tidak lagi berani untuk berprasangka kalau mas Todhy adalah jodohku, bisa saja apa yang aku anggap baik, namun belum tentu baik dalam pandangan Tuhan. Kadang yang tidak kita sukai, malah disukai Tuhan, begitulah misteri kekuasaan Tuhan, yang tidak bisa kita campuri.

Hari ini aku mau cerita tentang mimpi aku semalam, mas Grasto datang menemuiku, aku merasa semua itu semuanya seperti nyata. Dia datang dalam tidurku, dia membelai perutku yang mulai membesar, dia menangis sedih sambil terus membelai perutku,

“Runi, anak yang ada diperut kamu, adalah anakku, buah cinta kita, kamu tidak usah ragu membesarkannya.”

Aku terbangun dari mimpiku, aku cari mas Grasto disekitar kamarku, aku tidak menemukannya, aku benar-benar rindu. Aku sedih, aku menangis, aku keluar dari kamar, aku sangat berharap bisa menemuinya, aku tidak merasa kalau itu cuma mimpi. Seluruh sudut rumah sudah aku susuri, namun aku tidak menemukan mas Grasto.

Aku mencoba untuk berwuduk, aku tunaikan sholat tahajud, aku tumpahkan semua isi hatiku dihadapan Tuhan, aku mendoakan mas Grasto, aku ingin dia selalu datang, meskipun hanya dalam mimpi.

Seperti itulah mimpiku tentang lelaki yang sangat aku cintai, lelaki yang sudah mengubah hidupku untuk lebih mengenal Tuhan. Pagi ini aku ingin bercerita pada mas Todhy, tentang mimpi aku semalam, belum sempat aku telepon dia, tiba-tiba aku dikagetkan dengan kedatangan mas Tyasto.

Mas Tyasto datang tanpa memberitahu terlebih dahulu, awalnya dia telepon, menanyakan tentang kondisi kehamilanku, dan aku tidak tahu kalau saat itu sebetulnya dia sudah berada dirumahku, tiba-tiba saja dia muncul di depan pintu rumahku,

“Maaf Runi, kalau kedatangan mas mengganggu kamu, mas mau ngomong sesuatu, boleh mas masuk?”

” Kita bicara di teras aja ya, mas kan tahu aku ini janda yang tinggal sendiri dirumah, aku gak mau nanti malah jadi fitnah,”

“Okey gak papa, mas mau ngajak kamu umroh, itu kalau kamu mau,”

“Aku kan bukan muhrimnya mas Tyasto, apa kata orang nantinya,”

“Kita tidak cuma berdua Runi, kamu boleh ajak keluarga kamu, nanti didepan Ka’bah, kita menikah,”

“Terima kasih tawarannya mas, saat ini aku belum siap untuk semua itu.”

Setelah mendengar penolakanku, gak lama setelah itu dia langsung pamit. Dia merasa misinya untuk menikahiku, dengan dalih umroh pun tidak berhasil membuatku tergoda.

Aku tidak terlalu berharap bisa menikah didepan Ka’bah, sudah banyak bukti yang berpisah setelah menikah dihadapan Ka’bah.

Menikah itu bukan soal dimana tempatnya, tapi soal komitmen dihadapan Tuhan, seperti apa kita memahami makna ijab kabul itu, adalah sesuatu yang sakral, bukanlah sesuatu yang cuma untuk dipamerkan.

Begitulah mas Tyasto, dia masih beranggapan aku adalah wanita yang mudah dirayu, dengan berbagai hal yang membuat wanita takjub, dan aku bukanlah wanita yang seperti itu.

Bukan cuma sekali mas Tyasto menawarkan berbagai kemewahan, bagi dia kalau aku ingin menikah dengannya, setiap hari aku cukup beribadah dan berdandan sesuai dengan keinginannya, dan aku diperbolehkan mau belanja apapun, semua apa yang aku inginkan, dia akan penuhi, aku cukup tinggal memintanya.

Aku tidak ingin hidup seperti itu, aku ingin hidup yang wajar-wajar saja, aku tidak ingin sesuatu yang berlebih-lebihan, karena Tuhan tidak menyukai hal-hal yang berlebih-lebihan. Aku sudah cukup bersyukur dengan apa yang aku miliki saat ini, meskipun aku tidak lagi memiliki suami.

Begitulah yang namanya perasaan, kadang kita bisa hanya mengikuti perasaan, tapi dilain waktu kita bisa mengabaikan begitu saja, kita lebih mendengar kata hati tenimbang hanya mengikuti perasaan.

Tanpa mengindahkan kata hati, mudah terjebak dalam perasaan, karena perasaan cenderung dipenuhi napsu, sementara kata hati penuh pertimbangan akal sehat. Aku lebih cenderung berpihak pada akal sehat tenimbang mengikuti kehendak hawa napsu yang cuma semu.

Aku percaya pada mas Todhy bukan karena dia teman baik mas Grasto, tapi karena sikap wajar dan apa adanya yang dia miliki, membuat aku lebih dekat pada mas Grasto, ada kesamaan sikap antara mas Todhy dan mas Grasto, sama-sama tahu bagaimana menghargai wanita.

Sampai saat sekarang ini, belum sekalipun mas Todhy memperlihatkan rasa sukanya padaku, kalau penuh perhatian memang iya. Tapi aku menganggap semua itu sebagai sesuatu yang wajar, karena dia menjaga amanah mas Grasto.

Kadang aku melihat mas Todhy banyak kemiripannya dengan mas Grasto, sangat perfectionist, dan tidak ingin sembarangan. Melihat mas Todhy seperti melihat mas Grasto. Kalau membandingkan mas Todhy dengan mas Tyasto memang agak bertolak belakang.

Pernah ada satu laki-laki telpon ngajak kenalan, dan aku harus menemuinya disuatu tempat, itu pembicaraan via telpon saja dia sudah tidak menghargai aku.

“Hai Seruni, boleh kenalan ya, namaku Norman, aku suka sama kamu,”

“Mas tahu nomor hape saya dari mana?” Aku tanya dia

“Ya adalah, nama kamu cukup terkenal kok, boleh ketemu gak?” Tanya dia sambil terus nyerocos.

“Wah maaf mas, saya lagi hamil besar, gak boleh kemana-mana selain kedokter.”

Laki-laki itu terus ngomong, seakan-akan dia anggap aku bukan manusia, yang bisa seenaknya mengikuti keinginan dia. Hal-hal seperti ini kadang bikin kesal, namun aku tidak mau ambil hati.

Itulah salah satu pengalaman buruk yang aku alami hari ini, banyak peristiwa dan ujian akan kita hadapi setiap hari, kalau tidak mempersiapkan mental, kita akan mudah terpuruk oleh keadaan. Semoga saja peristiwa yang tidak mengenakkan, tidak aku alami lagi setelah melahirkan nanti.

 

 

 

Tinggalkan Balasan