Sebuah kisah di suatu malam. Saat hujan lebat dan beriringan dengan gemuruh guntur. Sesekali pun ada kilat menghiasi langit malam yang gelap pekat.
Ketika kakak beradik sedang berkunjung di rumah nenek di kampung. Sang kakak sudah tertidur lelap. Kelelahan bermain rupanya seharian ini. Hujan lebat menambah nyenyak saja tidurnya.
Sang adik sebaliknya. Dia begitu resah dan gundah. Belum juga tertidur. Malahan ada gejala mau menangis. Memang sih, si adik selalu tidur siang dan biasanya cukup lama. Bisa sampai 4 jam. Wah-wah, tidur yang sangat lelap.
Tiba-tiba hujan semakin deras saja dan suaranya kencang sekali. Mbah (panggilan untuk nenek), Ibu, Bulik (panggilan untuk Tante), juga sudah sangat mengantuk sekali. Adik kaget mendengar suara air hujan yang keras jatuh di atap rumah.
“Bu, takut, takut” sambil menangis teriaknya. Dengan sudah terkantuk kantuk, ibu dan mbah berusaha menidurkan Adik, tapi tetep saja Adik menangis kencang.
Bulik pun beraksi ikut menenangkan. “Adik takut apa? Itu cuma air hujan, air, kayak kalau Adik mandi pakai air, dari kran keluar airnya deras. Kalau air hujan turun deras dari langit” kata Bulik sambil terkantuk kantuk
“Takut, hujan, sepeda” kata Adik lagi.
Ibu pun langsung paham, dan bilang ke Bulik “Oh, itu Adik takut sepedanya di depan kehujanan ya.”
Mbah pun menyahut “Bulik, sepedanya Adik dimasukin saja ke rumah..biar kelihatan jadi tidak menangis lagi. ”
Sepedanya baru dikeluarkan dari garasi samping rumah, sudah lama tidak dipakai karena Adik tinggal di luar kota. Hanya pakai sepeda jika datang berkunjung ke rumah Mbah. Sepedanya masih kotor. Bulik tidak mau memasukan sepeda ke dalam rumah.
“Sepedanya kotor, Mbah”. Adik masih menangis.
Lalu Bulik mengajak adik ke jendela depan rumah. Melihat dari jendela yang berkaca.
“Coba Adik lihat sepedanya, tidak kehujanan kan, aman. Lihat ke atas, sepedanya di bawah atap depan rumah jadi tidak kehujanan. Yang kehujanan itu tanaman Bulik, yang di atasnya tidak ada atapnya. Besok pagi, sepedanya kita cuci dulu ya, baru setelah itu buat mainan Adik. Sekarang tidur dulu ya. Besok pagi baru main sepeda, coba sekarang kordennya ditutup.”
Adik menutup korden jendela dan udah berhenti menangis, melihat sepedanya aman di depan rumah, tidak kehujanan, lalu segera pergi ke Ibu. Tidak sampai 10 menit, sudah langsung tertidur lelap. Hantinya sudah tenang. Sepeda tidak kehujanan. Aman.
Sementara hujan masih tetap deras, membuat tidur semakin lelap saja.
Adik bukan takut hujan deras tapi takut sepedanya kehujanan di tengah malam. Keesokan harinya, saat Adik bangun tidur, sepedanya sudah bersih dan siap digunakan. Mbah sudah memandikan sepeda Adik sehingga bisa digunakan.
Adik masih kecil. Sepeda rodanya masih tiga. Tapi senangnya bukan kepalang, pagi-pagi bersepeda ria mengelilingi halaman depan rumah Mbah yang luas itu.
..
Ditulis oleh Ari Budiyanti
7 April 2019
Terinspirasi kisah keponakan-keponakan kecilku
#CerpenAri
Cerpen ini sudah tayang di Kompasiana
Keponakan yang lucu
Bagus