“Astri.. dia menulis lagi tentang senja. Aku baru baca . Sebenernya ada apa dengan dia dan senja? Mengapa tiap kali karyanya selalu berkisar tentang senja.” Entah imimkeluh kesah Rian ataukah sekedar penasaran. Astri belum cukup paham.
“Ri, apa kau tak ingin tanya langsung sama si pujangga senja itu? Biar tidak terus penasaran.” Astri mencoba memberi solusi nyata untuk menjawab keresahan sahabatnya, Rian. Susah-susah amat dipikirin kalau bisa ditemukan jawabannya dengan bertanya.
Rian menggeleng. Bertanya pada si pujangga senja? Pujangga itu biasanya kan laki-laki. Tapi ini seorang wanita. Bolehkah disebut pujangga? Rian tak tahu. Ia tak begitu dekat dengan dunia seni tulis menulis.
Biasanya para pujangga yang sering ia dengar namanya ya lelaki. Menggunakan syair puisi untuk melukiskan cintanya pada wanita idamannya. Tapi kalau Rian otak-atik makna kata pujangga sendiri, ditemukannya arti ini.
Pujangga atau bujangga adalah sebutan bagi para pengarang hasil-hasil sastra, baik puisimaupun prosa; ahli pikir; ahli sastra.[1]. Padan kata pujangga adalah: sastrawan dan penulis.[2]
Dia dapatkan pengertian itu dari sumber Wikipedia. Jadi, Tania memang boleh juga ya disebut sebagai pujangga.
Tania terkenal sangat pendiam di kampus. Tak banyak bicara atau mengajak bicara. Selalu membawa peralatan tempur berupa buku tulis ukuran sedang, pensil dan bolpoin, serta notebook kecilnya. Ada kalanya Tania hanya menulis di buku catatannya. Tapi tak jarang dilihatnya berkutat dengan notebook kecilnya.
Tania selalu senang memilih tempat duduk di bawah pohon flamboyan di samping kampus. Setiap waktu senggang dia isi dengan menulis. Tulisannya didominasi puisi. Paling banyak tentang senja, hujan dan terkadang bunga bersama kupu-kupu.
Namun Rian mendapati akhir-akhir ini, puisi Tania hanya tentang senja. Namun tak satupun puisi yang bernada ceria. Semuanya bernuansa biru, sendu, pilu atau rindu. Rian sangat menyukai puisi-puisi karya Tania. Namun ada cemas yang mengusik hatknya saat mendapati pujangga kesayangannya hanya menulis satu tema. Senja. Ada apa dengan senja?
“Rian” sebuah tepukan ringan di bahunya mengagetkan dan membuyarkan lamunannya. Lebih terkejut lagi saat didapatinya sosok pujaan hatinya ada di depan mata. Kapan datang tak disadarinya.
“Astri bilang ada yang mau kau tanyakan padaku. Ada apa?” Sapa lembut Tania yang tetiba sudah duduk disampingnya, di bangku depan ruang praktikum Biologi Dasar. Astaga Astri bilang apa ke Tania. Batin Rian. Aduh udah ada di depan mata, apa sebaiknya kutanya pada Tania ya.
“Tania, bagaimana kabarmu?” Kata Rian. Bingung dan juga heran. Masa iya Rian hanya mau tanya kabar. “Emm.. baik. Biasa aja. Memang kenapa? Apakah hanya itu yang ingin kau tanyakan?” Tania menatap Rian sambil memberi senyum kecil.
Aduh manisnya. Batin Rian. Rasanya kelu lidah ini ingin bicara. Masa iya hanya bertatap mata dan bicara dengan si pujangga senja, membuat aku kelu. Bisik Rian pada dirinya sendiri.
“Kau tahu kan kalau aku suka baca-baca puisimu. Tapi kuperhatikan akhir-akhir ini, banyak puisi sendu bertema senja. Atau puisi senja bertema sendu? ” Akhirmya tanya itu terlontarkan.
Tania tidak menyangka ada yang memperhatikan dirinya dari tulisan-tulisannya. Ia menatap Rian tajam. Kini tak ada senyum. Malah penuh selidik di matanya. Seolah tatapan mata itu ingin menembus hati Rian dan membolak balik isinya.
“Puisi yang mana membuatmu berpikir begitu?” Tania menjawab dengan dingin. Tak selembut sapa tadi. Rian terdiam. Terperanjat akan perubahan sikap Tania yang mendadak ketika dia bertanya tentang tema sendu puisinya.
“Puisi terbarumu, dan beberapa puisi sebelumnya. Aku bahkan ingat lirik terkahirnya.
Kau ternyata kini telah mampu
Memantik senjaku hingga menjadi ungu
Itu kan kalimat terakhirnya. Seolah tersirat adanya luka yang ingin kau lukiskan di puisi itu. Kalau aku tidak salah.”
Entah kekuatan dan keberanian dari mana Rian dapatkan. Semua kegundahannya tersampaikan dalam tanya. Hening dan tidak ada jawab. Tania tak lagi menatap Rian. Dia memilih menatap lantai di bawah kakinya. Saling diam dalam beberapa menit membuat Rian merasa tak nyaman dan bersalah.
“Maaf jika tanyaku meresahkanmu. Tak harus kau jawab kalau memang tidak mau” kata Rian akhirnya. Tania menarik nafas lega. “Rian, aku masuk kelas dulu ya. Kuliah hampir mulai. ”
Sebuah kata perpisahan singkat yang Tania berikan pada Rian. Rian memgangguk. Lalu percakapan itu tak pernah berlanjut. Itu pula menjadi saat terakhir Rian melihat Tania di kampus.
Astri bilang kalau Tania sudah pindah rumah dan melanjutkan dan berhenti kuliah. Dia pindah ke luar negri bersama Ibu dan adiknya. Mereka bertiga pergi bekerja di sana. Tania tidak lagi kuliah karena harus ikut bekerja dengan Ibunya.
Entah alasan apa yang membuat Tania dan keluarganya pindah ke luar negri. Tidak da pula kata pamit yang tersampaikan. Ada sedih melanda hati Rian. Merasa tidak dianggap sebagai teman sama sekali.
Dibukanya lagi blog pribadi milik Tania. Apakah masih ada puisi baru. Mungkin sekedar ingin tahu kabar tentangnya dari puisi. Benar. Tania menulis sebuah puisi 1 hari lalu dan bertuliskan kota tempat ia tinggal sekarang. Judulnya Melepas Senja di Katulistiwa dan di bagian akhir puisi tertulis Frankfurt Germany. Ternyata Tania pindah ke Eropa.
…
To be continue
Written by Ari Budiyanti
22 Januari 2020
Cerpen ini pernah tayang di Kompasiana