Oleh: Dionisius Agus Puguh Santosa, SE, MM
Bagi para pembaca, barangkali setelah membaca judul di atas, muncul dua pertanyaan singkat berkaitan dengan istilah “bibliophile” dan “bibliomania”. Benar, bukan?
Jika kita mencoba mencari maknanya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi luring maupun daring, maka kita akan mendapatkan pengertian dari salah satu istilah yang berhubungan dengan buku tersebut.
Kita hanya dapat menemukan makna dari kata ”bibliomania” yang diartikan sebagai pencinta buku yang mengumpulkannya sebagai benda seni. Sedangkan kata “bibliophile” tidak kita temukan maknanya. Setelah saya melakukan penelusuran lebih lanjut di internet, saya mendapatkan makna kata bibliophile, yaitu orang yang suka mengoleksi buku dan mempunyai hobi membaca semua koleksinya.
Saya pribadi mempunyai hobi mengoleksi buku yang saya anggap menarik dan bermanfaat. Biasanya setiap bulan saya selalu menyempatkan diri untuk bertandang ke toko buku yang ada di Kota Banjarmasin atau Banjarbaru.
Soal nama toko bukunya, itu tidak terlalu penting untuk saya bahas. Karena bagi saya, di toko buku yang kelihatannya sederhana pun, saya tetap bisa menemukan buku-buku yang menarik. Bila saya telah menemukan buku-buku dimaksud, saya tidak akan segan-segan untuk mengeluarkan sejumlah uang demi meminang buku-buku itu.
Bahkan menjelang penyusunan skripsi maupun tesis, saya merealisasikan hobi mengoleksi buku ini melebihi kebiasaan saya sebelumnya. Ketika mahasiswa lain ada yang memilih mengeluarkan sejumlah uang untuk mendapatkan “bantuan pihak ketiga” agar skripsi atau tesisnya beres; saya justru rela mengeluarkan jumlah uang yang nominalnya sama untuk membeli buku-buku referensi yang saya perlukan!
Kedengarannya mungkin apa yang saya lakukan ini “lucu” bagi sebagian orang di zaman sekarang. Bahkan barangkali akan ada yang mentertawakannya seraya berseloroh, “Ngapain ngeluarin uang sebanyak itu cuma untuk beli buku doang? Kalau ujung-ujungnya harus ngerjain sendiri skripsi atau tesisnya? Mending uang segitu dipakai untuk membayar pihak ketiga yang sanggup menyelesaikan skripsi atau tesis kita sesuai pesanan!”
Tentu bagi para pembaca yang pernah mengalami situasi dan kondisi seperti yang saya maksudkan di atas, pasti sudah bisa menebak dan dapat membayangkan apa yang sesungguhnya telah menjadi budaya yang dihidupi oleh sebagian mahasiswa kita yang tengah berjuang meraih gelar sarjananya.
Di satu sisi ada mahasiswa yang begitu idealis mau berjuang dari nol untuk menuliskan skripsi atau tesisnya dengan cucuran keringat dan air mata. Namun di sisi lain ada juga mahasiswa yang memilih jalan “terima beres”, asal lulus, titik!
Apabila ditelusuri lebih jauh dan lebih mendalam, pasti tidak bisa dilepaskan dari kemampuan literasi yang dimiliki oleh mahasiswa bersangkutan. Kelompok mahasiswa yang memiliki kemampuan literasi baik, akan menerapkan ilmunya untuk menyelesaikan setiap tugas yang diberikan dengan penuh tanggup jawab. Jika diminta menulis skripsi atau tesis, ya harus menuliskan skripsi atau tesis itu dengan “tangan sendiri”, bukan meminjam tangan orang lain untuk merampungkannya!
Akan tetapi jika kemampuan literasi mahasiswa bersangkutan di bawah rata-rata, sudah bisa dipastikan bahwa mereka-mereka ini akan memilih “jalan pintas” dengan meminta pertolongan kepada pihak ketiga yang sanggup menyelesaikan skripsi atau tesis tersebut sesuai dengan target waktu yang sudah ditetapkan.
Apabila kita sebagai mahasiswa pergi ke perpustakaan kampus, kemudian mencari referensi pembanding untuk penulisan skripsi atau tesis kita; barangkali akan ada yang berkomentar bahwa isi skripsi atau tesis yang menjadi koleksi perpustakaan kampus cenderung mengikuti pola yang seragam.
Di mulai dari Bab I Pendahuluan, yang disusul dengan Bab II berisi Landasan Teoritis, kemudian berlanjut ke Bab III berupa Gambaran Umum Perusahaan atau Lembaga yang diteliti, lalu pada Bab IV dilakukan Analisis Data yang disambung dengan Bab V Penutup. Itu adalah kerangka umum penulisan skripsi. Sedangkan untuk penulisan tesis akan mengikuti struktur yang sedikit lebih kompleks.
Meski terkesan polanya demikian, namun jika kita sungguh melakukan penulisan sejak awal; maka kita akan dapat merasakan bahwa proses penulisan karya ilmiah ini memang sangat menuntut konsentrasi sekaligus konsistensi kita sebagai seorang penulis yang bertindak sekaligus sebagai peneliti di lapangan.
Justru di sinilah manfaat keberadaan buku-buku referensi yang sudah kita siapkan di awal proses penulisan skripsi atau tesis ini. Dengan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing, judul skripsi atau tesis yang sudah kita tentukan sejak awal, akan kita jabarkan sedikit demi sedikit mengikuti tahapan yang sudah digariskan.
Berbekal ketekunan, penulisan skripsi atau tesis tersebut niscaya akan dapat terselesaikan pada waktunya dengan hasil terbaik tentunya. Bila kita sudah sampai pada tahapan akhir ini, kita akan sungguh dapat mengamini bahwa kebiasaan kita mengoleksi buku dan mempunyai hobi untuk membaca semua koleksinya akan menemukan maknanya.
Namun bila kita kemudian memutuskan diri untuk menjadi mahasiswa yang lebih memilih untuk meminta bantuan “pihak ketiga” saat menyelesaikan skripsi atau tesisnya; maka bisa jadi kita akan termasuk ke dalam golongan bibliomania alias pencinta buku yang mengumpulkannya hanya sebagai benda seni. Bisa jadi seseorang melakukan aktivitas mengoleksi buku hanya sebagai “prasyarat” untuk ditunjukkan kepada dosen saat sidang/ujian skripsi atau tesis berlangsung!
Banjarmasin, 3 Februari 2021