Hari ini (11/08) saya mengikuti Literasi Digital Sektor Pemerintahan Daerah Jawa Barat Tahun 2022 (BPSDM) Batch 5 Bertema Literasi Digital yang diselenggarakan oleh Pemberdayaan Kapasitas Teknologi Digital Kementerian Kominfo.
Jumat, 5 Agustus 2022 saya mendapat kabar Literasi Digital bagi ASN di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kota/Kabupaten Se-Jawa Barat ini dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Subang.
Tentu saja saya senang! Saya pun ikut mendaftar. Menyadari pentingnya kegiatan ini, Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Disdikbud Subang lantas membuat grup chat. Berdasarkan Surat Perintah Kadisdikbud Subang Nomor KP.06.01/2188-Bid.GTK.11, tercatat ada 473 orang yang menjadi peserta pelatihan yang berasal dari kabupaten kami. Jumlah tersebut sudah termasuk guru/kepala/pengawas jenjang PAUD, TK, SD dan SMP se-Kabupaten Subang.
Presiden Indonesia, Jokowi, memberi sambutan pertama. Dalam sambutannya, orang nomor satu di Indonesia tersebut menyatakan bahwa kita harus bisa meminimalkan konten-konten negatif. Dengan literasi digital, kita harus mampu memenuhi dunia internet dengan konten-konten positif. Bahkan, kita harus dapat memanfaatkan internet untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.
Usai sambutan dari perwakilan Kominfo, BPSDM, dan Wakil Gubernur Jawa Barat, kagiatan dilanjutkan dengan pemaparan materi.
Fakta Netizen Indonesia
Jujur, saya kaget ketika pemateri pertama, Gatot Sandy, Praktisi Konten Digital menyampaikan bahwa netizen Indonesia adalah yang paling tidak sopan se-Asia Pasifik. Yah, kalau diingat-ingat, faktanya cyber bullying memang kerap terjadi. Cek saja komentar-komentar di media sosial orang-orang Indonesia. Haduh, beberapa ada yang bikin ngeri karena kata-kata yang dituliskan.
Tak hanya itu, lebih lanjut beliau menyampaikan bahwa dalam tiga tahun terakhir (Agustus 2018 – Agustus 2021), diketahui ada 8.878 isu hoax yang tersebar. Meski literasi digital Indonesia ada di tingkat sedang (3,47 dari skala 5 indeks literasi digital nasional tahun 2020), namun daya saing digital kita masih rendah (Indonesia urutan 56 dari 63 negara berdasarkan Digital Competitiveness Index 2020).
Dilihat dari kategori readiness dalam Indeks Internet Inklusif 2021, Indonesia ada di peringkat 74 dari 120 negara. Angka tersebut menunjukkan kesiapan masyarakat untuk menghadapi transformasi digital perlu ditingkatkan.
Apa Itu Literasi Digital?
Pemateri yang telah mendapat Sertifikasi Profesi Digital Marketing BNSP tersebut menyampaikan bahwa Literasi Digital adalah kemampuan menggunakan TIK untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat dan mengomunikasikan informasi dengan kecakapan kognitif maupun teknikal (Buku Kerangka Literasi Digital Indonesia).
Tujuan dari literasi digital adalah untuk meningkatkan kemampuan kognitif SDM di Indonesia agar keterampilannya tidak sebatas mengoperasikan gawai.
Dalam berliterasi digital, ada empat hal penting yang kita butuhkan (Kominfo, Siber Kreasi):
- Digital skills, yaitu memahami perangkat keras dan lunak TIK, serta system operasi digital.
- Digital safety, yaitu meningkatkan kesadaran perlindungan dan keamanan data pribadi.
- Digital ethic, yaitu menyesuaikan diri, berpikir rasional dan mengutamakan netiket.
- Digital culture, yaitu mampu membangun wawasan kebangsaan dalam berinteraksi di ruang digital.
Budaya Digital
Budaya digital menurut Martinez-Caro, Cegarra Navarro, & Alfonso-Ruiz (2020) adalah komplek set dari nilai atau kepercayaan, asumsi dan simbol yang menjadi cara perusahaan dalam melakukan bisnis digital melalui kolaborasi, penciptaan kreativitas dan inovasi melalui strategi digital.
Hal-hal terkait budaya digital yang dijelaskan pemateri antara lain menyaring informasi, konten buruk dunia digital, serta prinsip Pancasila dalam berbudaya digital.
1. Ketika Kita Tidak Menyaring Informasi
Ketika kita tidak menyaring informasi yang tersebar di dunia maya, maka bisa terjadi hal-hal berikut:
- Adanya hoax atau berita bohong yang dibuat dengan tujuan jahat;
- Hate speech, yaitu segala jenis komunikasi dalam bentuk ucapan, tulisan, maupun perilaku yang menyerang atau menggunakan Bahasa merendahkan atau diskriminatif kepada orang atau kelompok tertentu;
- Cyber Bullying, yaitu penggunaan TIK untuk dengan sengaja menyakiti secara psikis, menghina dan mengancam individua tau kelompok;
- Mis-Informasi. Informasinya salah, namun tidak sengaja dibuat untuk menyebabkan kekacauan;
- Mal–Informasi. Peristiwa yang benar terjadi, namun digunakan untuk menimbulkan kekacauan;
- Salah Koneksi. Konten dengan gambar-judul-isi yang tidak saling mendukung atau tidak berhubungan;
- Dis-Informasi. Informasinya salah, dan sengaja dibuat untuk menyebabkan kekacauan;
- Satir, yaitu tidak ada niat untuk merugikan namun berpotensi menipu;
- Framing Negatif dimana informasi sesat dipakai untuk membingkai isu atau orang tertentu.
2. Alasan Adanya Konten Negatif Dunia Digital
Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa konten negattif muncul di dunia digital:
- Alasan pertama adalah karena adanya motif mencari uang untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
- Politik dimana alasan utamanya ialah ingin menjatuhkan kelompok politik tertentu.
- Adu domba, mencari kambing hitam untuk memecah belah masyarakat dengan isu SARA.
Jika menemukan konten negatif, kita bisa menyampaikan kepada instansi berikut:
3. Prinsip Pancasila dalam Berbudaya Digital
Terakhir, yang dibahas dalam budaya digital oleh pemateri adalah bagaimana implementasi Pancasila bagi para “Digital Netizen” di Indonesia yang diambil dari Modul Pelatihan Kemkominfo:
- Sila pertama, digital netizen hendaknya mampu mengakses, mengeksplorasi dan menyeleksi informasi tentang agama dan kepercayaan dari sumber yang kredibel yang memungkinkan adanya kajian multi-perspektif.
- Sila kedua, memiliki kesadaran bahwa setiap warga digital adalah setara.
- Sila ketiga, adanya kesadaran dan kebanggaan menjadi warga negara Indonesia dalam dunia digital (netizen +62).
- Sila keempat, adanya kesadaran untuk mengetahui, mengeksplorasi, menyeleksi, dan mengelaborasi informasi publik yang berhak diakses dari lembaga publik sebagai pertanggungjawaban transparansi dan akuntabilitasnya.
- Sila kelima, adanya kesadaran untuk memahami kebijakan tentang ranah digital. Di Indonesia ditetapkan UU ITE dan UU Kebebasan Memperoleh Informasi.
Nah, netizen yang berbudaya, mari kita biasakan saring sebelum sharing.
Bersambung ke Bagian 2 ….
2 komentar