Redundant 29: “Life in A Jar”
Oleh Erry Yulia Siahaan
“You see a man drowning, you must try to save him, even if you can’t swim”
Pernyataan metaforik ini bekerja dahsyat dalam diri Irena Stanisława Sendler. Gadis ini mengingat terus kata-kata yang kerap diucapkan oleh ayahnya itu. Kata-kata itu pula yang dinyatakan ulang oleh Sendler menjawab pertanyaan ibunya, mengapa dia begitu mau bersusah-susah membantu orang lain, padahal risikonya cukup besar terhadap keselamatan nyawanya.
Irena Sendlerowa, sebutan lain dari gadis itu, adalah seorang pekerja sosial Polandia yang menjadi sangat fenomenal dalam sejarah kemanusiaan pada Perang Dunia II. Perempuan kelahiran 15 Februari 1910 di Otwock itu mempertaruhkan nyawanya sebagai akitivis gerakan bawah tanah Polandia dan grup anti-Holocaust Polandia di Warsawa. Berkat jerih-payahnya, sekitar 2500 anak Yahudi berhasil diselamatkan dari ancaman eksekusi mati tentara Hitler di Ghetto, Warsawa. Sendler dan jaringannya memberikan dokumen palsu dan mencarikan tempat persembunyian di luar Ghetto kepada anak-anak itu.
Life in A Jar
Kisah heroiknya itu kemudian ditulis dalam buku best seller “Life in A Jar”. Diberi judul demikian karena selaras dengan apa yang telah dilakukan oleh Sendler.
Sendler mengetuk satu persatu pintu kediaman orang Yahudi di Ghetto untuk menyelamatkan anak-anak mereka. Sendler dan teman-teman seperjuangannya membawa keluar anak-anak itu dari pemukiman padat dan kumuh itu lewat upaya-upaya penuh risiko, untuk kemudian anak-anak itu dititipkan pada keluarga-keluarga di Polandia, di biara-biara, dan sebagainya. Di antara mereka ada yang masih bayi.
Irena sempat ditangkap, dipenjara, disiksa oleh tentara Hitler, namun akhirnya selamat dan hidup sampai tahun 2008 (Sendler berusia 98 tahun saat meninggal).
Nama-nama asli dan nama titipan dari setiap anak masing-masing dituliskannya dalam potongan kertas kecil, kemudian kertas itu dilipat dan dimasukkan ke dalam toples-toples (“jar” atau “jars” dalam bahasa Inggris). Dari cuma satu nama, menjadi dua, tiga, dan seterusnya, hingga mencapai ribuan.
Sendler adalah pekerja sosial berusia 29 tahun saat Perang Dunia II pecah. Dia dipekerjakan oleh Departemen Kesejahteraan Warsawa, yang setelah pendudukan Jerman terus menangani sejumlah besar orang miskin dan terlantar di kota itu.
Sendler memanfaatkan pekerjaannya untuk membantu orang Yahudi. Setelah Ghetto ditutup pada November 1940, kegiatannya menjadi sangat sulit dilakukan. Sekitar 400.000 orang diusir ke area kecil Ghetto, dengan situasi sangat buruk. Tempat tinggal itu sangat padat. Banyak yang tidak mendapatkan tempat hingga mati kedinginan di luar. Kondisi yang sangat tidak higienis, terbatasnya makanan dan obat-obatan mengakibatkan wabah dan tingkat kematian yang tinggi.
Sendler menemukan cara untuk masuk ke Ghetto dan membantu orang Yahudi yang sekarat. Dengan izin dari pemerintah kota, Sendler bisa memasuki Ghetto untuk mencek sanitasi. Kesempatan itu dimanfaatkannya dengan menjalin kontak dengan aktivis organisasi kesejahteraan Yahudi. Sendler kemudian mulai membantu menyelundupkan anak-anak Yahudi keluar dari Ghetto dan menyediakan tempat persembunyian bagi mereka.
Ibu Sendler sangat khawatir dengan kegiatan putrinya itu, sehingga dia mempertanyakannya suatu hari.
“You see a man drowning, you must try to save him, even if you can’t swim,” tegas Sendler mengutip ayahnya. Ayah Sendler adalah seorang dokter, meninggal dalam epidemi tifus pada 1917 ketika dia tertular penyakit tersebut saat merawat orang Yahudi yang miskin di Otwock.
Redundansi
Saya memasukkan kisah ini ke dalam folder tulisan saya mengenai redundansi karena sejumlah alasan. Saya dipertemukan dengan hal-hal senada, atau semacam pengulangan. Pengulangan ini, yang mungkin dinilai tidak penting, bagi saya justru merupakan hal luar biasa. Saya bersyukur bahwa Tuhan mengijinkan saya mengalami berbagai perjumpaan itu.
Hari itu Minggu 15 Januari 2023. Saya berkesempatan menonton film “The Courageous Heart of Irena Sendler” yang diangkat dari buku best seller “Life in A Jar”.
Puji Tuhan. Allah luar biasa. Tidak ada yang namanya kebetulan. Pada hari itu juga, dalam ibadah, ada lagu pujian tentang tetap setia mengikuti Tuhan Yesus, sekalipun cuma sendiri dan jalan yang harus dilalui sulit. Seperti Sendler yang tetap menyatakan iman dan pengharapannya kepada Tuhan melalui tindakan nyata yaitu kasih, meskipun menemukan kesulitan dan banyak kendala.
Pertemuan saya dengan film tentang Irena Sendler itu bukan kesengajaan. Saya tidak sedang mencarinya dengan sengaja. Saya suka film-film kisah nyata, khususnya tentang mereka yang selamat dari kisah kekejaman Hitler dan pasukannya.
Sendler melakukan semua itu karena hatinya iba atau kasihan melihat ribuan anak di Ghetto yang kondisinya memprihatinkan. Ada anak yang mati di jalan karena kelaparan dan kedinginan, tidak mendapatkan tempat di kamar-kamar yang disediakan. Sebab, memang makin banyak orang Yahudi yang dibuang ke Ghetto. Ibu Sendler sendiri sempat ragu dan khawatir pada Sendler, yang gelisah dan bersikeras ingin menolong anak-anak itu. Sebab, ibunya melihat tidak ada kemampuan Sendler untuk itu. Itulah saat di mana Sendler mengutip ucapan ayahnya itu. “Menolong tanpa syarat”.
Belas Kasihan
Film ini sangat menginspirasi, bahwa untuk menolong orang lain kadang tidak mesti menunggu kita menjadi kaya dulu, atau merasa mampu dulu. Ketika hati diliputi belas kasihan, di situ kita sebenarnya seperti sedang ditanya, mau atau tidak kita melakukan sesuatu.
Kata “belas kasihan” ini saya garis bawahi dan menjadi kata-kata yang saya ingat sejak diucapkan oleh kakak perempuan saya, Triana atau biasa saya panggil dengan sebutan “Angkang Trin”. Saya sangat mengidolakan Angkang Trin, karena iman dan pengharapannya nyata dalam perbuatannya. Dalam tindakan kasihnya kepada orang lain. Dalam Alkitab, tepatnya dalam Kitab 1 Korintus 13 ayat 13 dikatakan bahwa “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
Angkang Trin banyak membantu saudara, kerabat, dan teman. Bahkan, itu tetap dilakukannya meskipun dalam kondisinya yang sangat tidak memungkinkan. Entah karena kemampuan finansialnya, ataupun kekuatan fisiknya.
Suatu kali saya bertanya, “Angkang, kenapa Angkang kok mau menolong siapa saja, bahkan di saat kondisi Angkang sebenarnya nggak memungkinkan?”
Angkang Trin mengatakan, karena dalam hatinya muncul belas kasihan dan itu membuat dirinya berusaha tidak menolak perasaan itu. Berdasarkan belas kasihan itulah, Angkang Trin berusaha melakukan sesuatu. Meskipun, orang lain melihat tindakan itu sebenarnya berisiko. Perjumpaan saya dengan Angkang Trin adalah salah satu perjumpaan yang terindah dalam hidup saya.
Lakukanlah untuk Tuhan
Kata-kata ini juga diucapkan oleh pendeta dalam ibadah pada hari saya menonton film tentang Sendler itu (Minggu, 15 Januari 2023). Pendeta mengingatkan jemaat tentang janji Tuhan dalam Alkitab. Pesan senada juga ada dalam nats hari ini, Yesaya 49 ayat 1-7, yang mengingatkan bahwa setiap orang lahir bukan karena suatu kebetulan, tapi dengan tujuan. Sekali lagi, seperti Sendler. Bahkan, kita semua.
Menurut pendeta, jangan menunggu kita (merasa) mampu dulu baru kita menolong orang lain. Juga, katanya, jangan berpikiran bahwa kita menolong tapi nanti sia-sia atau tidak menjadi untung bagi kita. “Saya yang melakukan kok orang lain yang menikmati”, misalnya.
Bukan kebetulan. Puji Tuhan. Mengawali khotbahnya hari itu, pendeta menyampaikan sebuah cerita tentang seorang bapak yang hobinya berburu, lalu suatu hari dapat musang. Ponakannya datang ke rumah bapak itu. Dia meminta sedikit dagingnya, tetapi pamannya berkeberatan.
“Oh, jangan dong. Nanti tidak cukup untuk keluarga saya,” kata bapak itu, seperti ditirukan oleh pendeta. Ponakan itu akhirnya meminta kulitnya saja. Kulit dan bulu musang itu lumayan, kata ponakan itu. Bisa untuk dibuat hewan pajangan. Tetapi, pamannya sekali lagi menolak. Pamannya bilang, di rumahnya juga perlu hewan pajangan.
Sangat bertentangan dengan kerelaan memberi dari Sendler. Bahkan, ketika nyawa menjadi taruhan, Sendler tetap berjuang. Ternyata Sendler berumur panjang. Seorang warga Yahudi menyebut Sendler sebagai orang yang “telah melawan Hitler dan menang”.
Pendeta mengingatkan, lakukanlah semua itu untuk Tuhan. “Lakukanlah seperti kita melakukan itu untuk Tuhan.”
Seperti dikatakan dalam Yesaya 49: ” … namun, hakku terjamin pada TUHAN dan upahku pada Allahku. … ” Artinya, dalam melakukan hal-hal yang baik, jangan berpikiran melakukannya selain untuk Tuhan. Tuhan Maha Tahu. Jangan untuk pencitraan, untuk memuaskan kesombongan diri, atau semacamnya. Tetapi, benar-benar untuk Tuhan. Ikhlas. Kita melakukannya karena Tuhan sudah lebih dulu mengasihi kita.
Memang semua interpretasi dari pesan dalam film atau lagu dalam ibadah tadi, bahkan dari apapun, berpulang pada diri kita masing-masing. Kita juga tidak boleh menghakimi orang lain yang tidak sejalan dengan interpretasi kita. Satu hal yang pasti, menolong orang lain merupakan salah satu aplikasi kasih dan tidak ada perbuatan kasih yang akan sia-sia.
Semoga kita semua beroleh kekuatan dari Tuhan untuk dapat mengaplikasikan kasih di dalam Tuhan dan untuk kemuliaan Tuhan. Amin. ***