Cerbung ini khusus persembahan penulis untuk mereka para mahasiswa. Namun juga untuk mereka yang masih berjiwa muda.
DUA PULUH SEMBILAN
Sore ini seusai kami menyelesaikan pekerjaan laboratorium kami berbincang cukup serius. Ketika itu Aini pernah menanyakan tentang perasaanku saat ini kepada Erika.
“Erika sudah menjadi catatan masa laluku. Catatan itu tetap tersimpan dan tidak bisa dihapus.” Kataku.
“Ya Han. Pasti itu. Hanya aku ingin menyampaikan sebuah pesan Erika untukmu.”
“Pesan apa Aini? Apakah dia berkata padamu?”
“Iya tadi malam Erika menelponku dan mengatakan pesan itu untukmu.”
“Katakan saja Aini!”
“Erika berpesan agar kamu mulai membuka diri untuk orang lain. Jangan terbelenggu masa lalumu. Kalau bisa lupakanlah Erika untuk masa depanmu.”
Aku hanya terdiam tidak mampu berkata apa-apa. Pada saat seperti ini justru aku kembali seakan terbayang saat saat bersama Erika.
Semakin ingin melupakannya malah semakin kuat selalu mengingatnya. Namun pesan Erika ini apakah pertanda secara simbolis bahwa aku diberikan restunya untuk mencinta Aini, sahabatnya.
Apakah ini juga pertanda Aini sudah mau membuka diri untukku. Ya Allah semoga saja demikian. Harapanku begitu menggelora mendengar kabar ini.
“Maafkan aku Han. Aku hanya menyampaikan pesannya. Aku mengerti kenapa kamu terdiam begitu lama.” Kata Aini.
“Tidak apa-apa Aini. Pesan Erika sangat membantuku bahkan aku berharap pesan itu bisa juga untukmu.” Suaraku pelan.
Aini menatapku dengan mata penuh kepedihan karena teringat Iqbal almarhum, calon suaminya yang wafat sebelum pernikahan mereka.
“Ya Han. Kita sepertinya mempunyai taqdir yang sama harus kehilangan orang yang kita cintai dan tidak mudah melupakan semua kenangan yang kita alami.” Ujar Aini.
“Tapi Aini sekarang saatnya kembali membuka diri lagi untuk orang lain,”kataku berharap. Namun Aini masih terdiam mendengar ucapanku.
Aku sebenarnya sangat berharap keluar ucapan dari bibir Aini. Walaupun mungkin hanya kata-kata yang tersirat bahwa Aini ingin membuka diri untuk orang lain. Paling tidak jika itu diucapkannya, maka aku mulai memiliki harapan.
Bibir Aini masih terkatup rapat. Aku masih sabar menunggu ucapan yang nanti keluar dari bibir mungil nan ramah senyum itu. Kulihat wajah Aini terlihat murung.
Mungkin masih ingat kepada Iqbal. Setelah terdiam agak lama akhirnya keluar juga ucapan yang kutunggu itu.
“Emm, tapi, bagaimana ya,” ia berguman menggantung kalimatnya.
“Aku gak bisa!” Jawab Aini dengan nada tinggi. “Han. Aku tidak mudah membuka diri untuk orang lain. Belum ada seseorangpun yang mampu membuka hatiku.” Suara Aini tegas.
Mendengar ini rasanya hampa harapanku. Lalu aku mencoba tersenyum hanya sekedar menutupi rasa kecewaku.
“Aini, sahabatmu selalu ada untuk membantumu agar hatimu bisa terbuka lagi untuk orang lain” kataku berusaha untuk memancing. Apakah Aini tersenyum mendengar kata-kata ajaibku yaitu “sahabat”.
Ternyata berhasil. Kulihat wajahnya kembali merona cerah memancarkan optimis yang menggembirakanku. “Sahabat” adalah kata kuncinya.
“Terima kasih Han,” kata Aini tersenyum lembut “Hampir saja aku lupa ternyata di sampingku ini selalu ada sahabat setiaku yang tidak pernah membuatku kesepian. Beruntunglah Aini Mardiyah memiliki sahabat seorang Han.”
Aku menyambut senyum Aini dengan perasaan campur aduk. Senang, kecewa, galau, gundah pokoknya macam-macam.
Senyumnya itu menyisakan teka teki. Aku memang hanya sebagai sahabat setianya. Ya hanya sahabat. Aini. Begitu susahnya menebak hati seorang wanita.
Ilustrasi Foto by Pixabay.
Teman-teman bagi penggemar novel sila baca novel di bawah ini, klik saja tautannya.
1 komentar