Aku dan Kamu dalam Seribu Kata

Fiksiana, Puisi0 Dilihat

(1)

Aku dan Kamu sama-sama bersaksi di depan Sang Maha Pencipta. Tertunduk bersimpuh, takjub. Dia ciptakan kita menjadi sebaik-baiknya mahluk. 

Sungguh tidak tahu diri jika sedetik saja kita tidak mampu mengucapkan rasa syukur.

Aku dan Kamu adalah ciptaanNya sebagai dua mahluk yang membawa CintaNya. Tapi itu bukan cinta kita karena kita diciptakanNya bukan untuk bersama. 

Aku dan Kamu ada di tempat yang berbeda. Kita hanya bisa saling memandang tak mampu berkata-kata.

(2)

Detik-detik berdetak lewat di sisimu. Saat itu perlahan Kamu berbincang dengan lantang. Menantang alang-alang, menerjang karang.

Lalu dengan malu-malu Kamu berbisik kepadaku: “Aku masih memeluk kedua lututku ketika detik-detik berdetak berlalu.”

Waktu itu wajahmu dalam sendu, sementara detik-detik terus berdetak berlalu dalam diam.

Hai Kamu!

Lihatlah bunga di Tamanku berseri. Meniti hari-hari dan menata cita-cita. Sementara sempat aku menjerat dan menghalau kumbang-kumbang nakal agar tidak berdendang merayumu.

Biarkan aku membuka kelopak hati wahai bunga di Tamanku. Agar harumnya membawa rasa cinta. Sementara aku tertegun ketika senja mulai meremang berbaur awan merona merah. Juga berabu dengan lelah-lelah.

Aku mencoba menikam senja dengan rindu yang kupunya. Masihkah Kamu ada di sana? 

(3)

Hai Kamu!

Ketika aku membaca jejak langkah-langkah kakimu di tanah becek berbatu. Apa yang Kamu rasa?

Atau ketika aku pandangi alunan sukmamu. Adakah separuh senyapmu menyapaku?

Sesaat Kamu pernah tersjerat luka pada suatu rangkaian peristiwa.

Sesaat akupun hanya mampu terpana memandangi rumput kering di pangkuan persada yang menatap harap-harap. Mengharap tatap-tatap mata yang berbinar. Meratap segala lelap dan melelapkan segala ratap.

Sesaat Aku dan Kamu tidak pernah lagi meramu rindu-rindu. Tak pernah lagi berbincang merdu. Tentang berlalunya angin biru atau tentang birunya angin lalu. Atau tentang nyanian perdu di Taman saat kita bertemu.

Lihatlah siang terentang dipanggang riang. Namun pagi tadipun berembun dengan senyum dikulum.

Sementara di Taman bungapun mekar dan kumbangpun liar. Lalu sebungkus cerita Kamu lempar di tengah Sinar Mentari yang nanar.

Pasti Kamu masih ingat waktu itu harap-harapku hampir mati.  Hampir saja layu ditelan ragu.

Dan ketika Kamu kemasi sisa-sisa sepi pagi tadi. Ternyata Kamu masih termangu di beranda hatiku. 

Aku tidak bisa mengelak menghidar dari hujatan panah cintamu. Terlalu.

(4)

Hai Kamu!

Ingat enggak ketika kita sejenak berhenti pada sebuah pelabuhan tak bertuan.

Saat itu kita menanti angin tenggara bertiup mesra. Membelai perahu layar kehidupan layar kita.

Kita sejenak berhenti membenahi untuk perjalanan berikutnya.

Teringat pula saat itu kita sempat bercengkerama lewat sebait nada. Sempat pula aku sentuh duka-dukamu lewat sebaris kata.

Lalu sebuah doa datang menjelma nyata dalam hening tanpa kata.

Kamu waktu itu selalu ada bersandar di beranda hatiku hingga Kamu terlelap damai untuk menuai mimpi indahmu.

Hati Kamu ikut bersemi tatkala unggas, perdu dan semak ikut bernyanyi melantunkan sepi-sepi.

Teringat pula pada suatu pagi yang pucat. Seperti biasanya embun bening cepat-cepat mengucap salam hangat untuk Mentari yang bersinar rawan. Untuk margasatwa yang berkicau riang.

Untuk semilir angin sejuk. Untuk daun-daun, ranting, perdu, lumut dan rumput hijau. Untuk batu kerikil, karang, bukit terjal, laut, ombak.

Untuk langit biru, bulan, bintang, siang, senja dan untuk malam. Untuk sungai, danau, hutan, lembah, gunung, parit dan pematang sawah.

Untuk gelisah-gelisah, jengkel-jengkel, duka nestapa, derita dan bahagia, menangis dan tertawa.

Hingga pagi bertemu pagi lagi saat Kamu berlari menembus kabut tipis berlapis keraguan cinta Kamu padaku.

Aku lanjutkan cerita ini sejak hujan di senja itu reda sendiri. Di beranda rumah itu Kamu berdiri menanti tetes terakhir gerimis jatuh ke bumi.

Lalu Kamu biarkan senja menjerit perlahan disetubuhi malam. Aku tersenyum memandang pesonamu merona di wajahmu. 

Cantik.

(5)

Cerita ini pada suatu malam. Sehingga aku terguncang dan tenggelam. Berusaha menjadi tempat berpegang.

Seharusnya ada tempat. Di mana kupijakkan kakiku erat-erat.

Seharusnya ada jalan. Di mana kulangkahkan cita dan harapan.

Lalu di sela detak jantungku. Ada nada sumbang yang selalu saja tak kumengerti.

Di mana saat ini aku berhenti. Dari seluruh perjalananku.

Sesaat aku sempat singgah. Hanya sekedar menengok segenap gelisahku yang telah semakin gosong berabu.

Tuhan, haruskah. Puisi ini berhenti dan musnah. Hilang dan lenyap dan basi dan mati.

Karena itu kutunggu. Ada reinkarnasi puisiku masa lalu.

(6)

Jendela itu berdebu. Tampak menyimpan lelah. Menyimpan gundah dan resah.

Sementara di luar hujan gerimis. Semakin menipis.

Dan lelawa hitam semakin terdiam. Menatap harap-harapnya.

Semakin lusuh. Semakin redup dan padam.

Jendela itu berdebu. Tempat aku termangu. Menyimak masa lalu.

Jendela itu, tempat aku terharu. Jendela itu tempat kita memandang. Kemenangan masa depan.

(7)

Ya Allah, aku pernah berkata bahwa semua cinta dan segala cinta adalah milikMu bukan milikku, bukan milik siapa-siapa.

Maka aku sangat takut berdosa, jika aku mencintainya, bukan karena aku mencintaiMu.

Aku tanam budi dihatinya. Tidak kukotori dengan pamrih. Biarkan tetap putih hingga akhir nanti.

Ya Allah, cinta adalah rahasia besar milikMu, berilah aku kekuatan untuk memahaminya.

Aku mohon perlindungan hati ini dari kejahatan diriku sendiri.

Aku bersimpuh bersimbah peluh. Aku berdoa tengadah, beriring gundah, bergenggam resah.

Aku berlutut berpangku takut. Aku berjalan tertatih dan terjatuh. Hanya untuk menggapai cintaMu. 

(8) 

Dalam diamku yang terkatup dan tatapku yang tajam, katakan, jiwaku melangkah masih tetap tegap, utuh.

Biarkan semakin tulus senyumku, semakin ikhlas hatiku, semakin ramah dan lembut tutur kataku.

Dalam diamku yang terkatup dan tatapku yang tajam. Biarkan, dengan rakus detik-detikku melahap tarik nafasku

Biarkan, irama sumbang detak jantungku makin lemah dan berhenti bernyanyi. Biarkan, senyum bibirku terkulum lega saat kutinggalkan kefanaan.

Akan kucabik pengoyak dunia yang mencoba menyuap imanku di dada.

Aku hanya pengembara yang tak mau menunda perjalanan menuju RidhoNya.

Jikapun aku melepas dahaga maka itu hanya karena, aku sibuk berbenah kembali jati diri agar tertata rapi.

Suatu hari seperti biasa, aku sarapan pagi sepiring doa, Tuhan ALLAH kepadaMu hidup dan matiku. 

(9) 

Pagi berwarna biru. Episode demi episode terlipat dalam album hidup dan bunga tulip sejak mekar dari kuncupnya tengah mulai membentuk wajahnya.

Benangsarinya memanjang menjangkau sukma. Titipkan pagi katupkan senja. Tentramkan malam.

Lihatlah hari-hari sebenarnya terlipat amat cepat berputar pada porosnya.

Meninggalkan pahala dan juga dosa. Dan siang berwarna bening membimbing arah tertuju jalan tentram, jalan lenggang.

Sampai disini puisi ini berhenti, melipat hari-hari lewat hingga kala semakin senja, bersisa doa-doa. 

Tuhan yang memiliki terang, mohon sinarilah hati ini dengan purnama malam.

@hensa17.

Sindang Palay 17 September 2023

Tinggalkan Balasan