lukisan Mata By Joko Dwiatmoko
lukisan drawing pad oleh Joko Dwi

Mata adalah salah satu indra untuk melihat. Menjadi andalan untuk melihat keindahan alam dan kekayaan visual. Dengan mata bisa melihat aneka warna dan aneka bentuk benda. Dari pengalaman indera penglihatan itu banyak cerita yang bisa diserap. Dari indera mata terus direkam di otak. Bagi pelukis merekam apa yang terlihat bisa jadi menjadi sebuah ide yang bisa ditransfer dalam media lukis, mural dan graffiti. Lalu bagaimana dengan mata hati?

Mata hati jauh lebih tajam, mempunyai kepekaan luar biasa dan lebih luas cakupannya karena menyangkut imajinasi, pemikiran dan kebijaksanaan. Mata hati yang tajam bisa memberi pencerahan dengan refleksi kedalaman. Akan lebih bagus jika refleksi mata hati bisa ditulis dan menjadi sebuah tulisan yang kontemplatif.

Sebagai penyuka dunia tulis menulis, kepekaan mata hati sangat diperlukan untuk menulis dengan cakupan yang refleksi luas. Bukan hanya menulis dengan emosi dan dangkal. Dengan menyertakan mata hati membuat tulisan tidak sekedar kata – kata tidak bermakna. Setiap kata, kalimat paragraf selalu dalam balutan penuh makna. Lalu bagaimana bisa menghasilkan tulisan yang bukan sekedar rangkaian kalimat namun penuh filosofi?

Semuanya berasal dari mata hati. Disamping itu menulis adalah aktifitas berpikir dan kemudian diwujudkan. Banyak orang bisa berpikir dan berkata – kata dalam bahasa lisan, namun belum banyak yang bisa mewujudkannya dalam sebuah karya tulisan.

Salah satu karya yang merupakan refleksi mata hati, refleksi jiwa adalah puisi. Puisi menurut pemahaman penulis adalah sebuah refleksi dari sebuah peristiwa. Tiap katanya bermakna. Tidak sepanjang artikel, tidak seluas novel, bahkan dengan modal hanya satu bait puisi bisa mengguncang dunia.

Apa yang dilakukan Wiji Tukul dengan puisi – puisinya. Begitu menakutkan penguasa. Dengan satu kata Lawan sudah membuat ia dicari cari aparat. Sebegitu kuatnya kata hingga membuat jagad politik heboh. Kepekaan penulis dalam menangkap fenomena membuat kadang orang menggambarkan bahwa kata lebih tajam dari pedang. Jauh lebih menggores dan melukai mata hati dengan kata – kata yang menohok.

Menulis adalah aktifitas intelektual, membuat seorang penulis bisa merekam pengetahuan dan mengabadikannya menjadi sebuah karya tulis. Jejak tulisan bisa terus dilihat baik yang tertulis di buku maupun di internet. Bagaimana ide bisa terus bertumbuh dan tidak kekurangan bahan. Salah satunya adalah dengan membaca. Membaca dapat meningkatkan wawasan membuat tulisan mengandung kedalaman. Buku – buku filsafat, buku buku pengetahuan, humaniora, sejarah,  permenungan memberi banyak bahan untuk ditelaah. Jika melihat sebuah kasus mata hati dapat menjadi peredam bagi tulisan tulisan yang hanya mendasarkan diri pada kedangkalan berpikir. Menjauhkan menulis berdasarkan emosi atas sebuah peristiwa, sekedar mempertahankan diri hanya karena fanatisme sempit.

Matahati dapat membuat tulisan bernilai abadi, mampu memberikan gambaran yang bisa terefleksi lama, melewati masa demi masa. Sebuah tulisan bisa tetap aktual meskipun sudah dilewati dari tahun ke tahun dari windu ke windu dari dekade ke dekade dari abad ke abad.

Semoga tulisan yang sederhana ini bisa memberikan sedikit pengetahuan buat para pembaca.

Menulis adalah sebuah upaya untuk mengabadikan ide dan memonumenkan karya. Banyak penulis yang terus dikenang karena kata- kata mutiaranya yang terus diingat.

Sekali lagi disamping mata dalam arti phisik dan salah satu bagian dari indera yang dimiliki manusia, mata hati merupakan medan refleksi tempat sebuah jawaban dari pengendapan emosi, bukan hanya karena spontanitas, sebuah reaksi yang yang hanya dipikir sekilas. Mata hati memberi kedalaman. Maka ketika tulisan melibatkan mata hati maka kebermaknaannya jauh lebih luas, bahkan lebih luas dari samodra.

 

Tentang Penulis

Pak Dhe Jenggot adalah nama pena dan menjadi nama di facebook. Nama Asli adalah Ign Joko dwiatmoko. Mengajar di BPK Penabur Jakarta. Di YPTD sudah ada buku Solo yang dihasilkan yaitu Bukan Sekadar menulis. Saat ini masih giat menulis di Kompasiana, dan mengikuti beberapa lomba menulis. Sebelum menulis Buku Solo di YPTD pernah ikut menulis beberapa buku Antologi dari Komunitas, satu artikel gabungan dari para pemenang lomba menulis di Kanisius, Antologi Cerpen di penerbit Mitra Publishing. Sebelum menjadi guru tahun 2001, pernah menjadi kontributor di majalah Praba sekitar 1999 sampai 2001 awal. Beberapa tulisan pernah masuk koran Tempo dan koran Bernas. Masih terus belajar menulis dengan membaca tulisan dari teman – teman penulis.

 

Tinggalkan Balasan