BERMASTAUTIN di Ibu Kota Kabupaten, di Tanjungbalai Karimun, sedikit banyak ikut mengubah perasaan Jamel setelah begitu lama tinggal di kota kecamatan, di Moro. Merasa tinggal di kota yang lebih besar dan maju dari pada sebelumnya, di Kota Moro atau di Kota Tanjungbatu, ketika masih mengabdi sebagai guru di sana, memang berbeda rasanya. Ada rasa bangga bertempat tinggal di Tanjungbalai Karimun. Apakah ini perasaan berlebihan atau perasaan wajar bagi seorang yang baru berpindah tempat dari daerah yang relatif sepi berbanding daerah yang lumayan ramai, boleh jadi begitu. Yang pasti, Jamel merasakan betapa lebih ‘bernilainya’ bertempat tinggal di sini. Serasa ada kehidupan baru dalam diri saya.
Jamel kembali terbayang bagaimana rasanya tinggal dan hidup di daerah yang jauh dari keramaian, di Moro. Apalagi Moro sudah dikenal sebagai kota (kecamatan) yang sedikit tertinggal berbanding dua kota di dua kecamatan lainnya di kabupaten Karimun, Kundur dan Karimuns. Sebelum berubah nama menjadi ‘Moro Bersinar’ di era camat Pak Robert tahun 1994/ 1995, daerah ini bahkan lebih terkenal dengan nama ‘Moro Sulit’ karena memang sulit untuk dijangkau dari daerah lain di Kabupaten Kepulauan Riau (sebelum lahirnya Kabupaten Karimun) itu. Bahkan di kabupaten pemekaran ini pun, posisi Moro tetap sebagai daerah yang sulit untuk dijangkau karena transportasi dari dan ke Moro memang tidak banyak. Dari Tanjungbatu (Kundur) akan ke Moro hanya ada kapal-kapal (pompong) kecil yang pulang-pergi memncari dan membeli kebutuhan masyrakat Moro. Selain itu, hanya ada kapal very yang singgah dengan trayek Tanjungbatu – Tanjungpinang atau ke Batam. Jadi, sangat sulit untuk pulang dan pergi ke Moro.
Tapi itu kini sudah tinggal kenangan. Kini daerah itu sudah menjadi kenangan setelah Jamel dimutasi ke Pulau Karimun, tempat Ibu Kota Kabupaten Karimun berada. Kurang lebih delapan tahun dia hidup bersama keluarganya di sana, tentu saja sudah cukup buat Jamel merasakan suka-dukanya di daerah yang disebut Moro Sulit itu. Satu tahun pertama dia menjadi Wakil Kepala Sekolah (SMA Negeri Tanjungbatu, sebagai sekolah pembina) di Moro, dia bahkan tidak membawa isterinya. Bersama dua anaknya, isteri Jamel tetap tinggal di Tanjungbatu mengingat sulitnya transportasi ke Moro. Jamel bertahan berpisah, karena Kepala Sekolah waktu itu, Supardjo Suk, BA berpesan agar bekerja saja dengan baik dan jangan berharap untuk diangkat menjadi Kepala Sekolah. Jamel hanya sebagai wakilnya saja hingga ada Kepala Sekolah defenitif, kelak. Jamel tak mengerti maksudnya waktu itu, walaupun belakangan Jamel mengerti juga maksud Kepala Sekolah pertama SMA Negeri Tanjungbatu itu.Namun setelah tujuh-delapan bulan Jamel berulang-alik Tanjungbaru- Moro, isteri Jamel yang sudah hamil berat meminta ikut ke Moro. Padahal Jamel waktu itu tinggal (menumpang) di mess guru yang ukurannya sangat kecil dan sederhana. Jamel menempati salah satu kamar dan menggunakan ruang di belakang untuk masak dan makan.
“Sepertinya Abang tidak akan kembali lagi ke Tanungbatu,” kata isteri, Tati waktu itu meminta ikut pindah saja ke Moro. Akhirnya Jamel memboyong keluarga ke Moro. Bermulalah Jamel dan keluarga dengan kehidupan baru di Moro dengan suasana yang sangat sederhana itu. Sulit Jamel untuk melupakan suka-duka hidup di Moro. Sampai akhirnya dia dimutasi.
Kini Jamel sudah meninggalkan Moro. Dengan SK Bupati, Muhammad Sani itu Jamel dimutasi dari SMA Negeri 1 Moro ke SMA Negeri 2 Karimun. Di Tanjungbalai Karimun, awal tempat tinggal dia bermastautin adalah di rumah sewaan milik Ibu Asmawati Sudiro. Itulah rumah pertama ketika pertama sampai di Ibu Kota Kabupaten ini. Rumah itu tadinya adalah rumah yang disewa oleh Rasudianto Rauf yang lebih dikenal sebagai Anto, Kepala SMA Negeri 1 Karimun yang berpindah tugas ke Pekanbaru. Rumah itu berada di daerah Kampung Melayu, berseberangan jalan dengan SD Negeri 002 Teluk Air, Tanjungbalai Karimun. Di sebelah SD ini ada dua sekolah lagi, SMP Negeri 2 Karimun dan SMK Yaspika Karimun. Cukup lama dia menempati rumah itu, sampai akhirnya Jamel mampu mengangsur membangun rumah sendiri di Wonosari, Kecamatan Meral tahun 2004.
Selama memimpin dan sebagai guru di SMA Negeri 2 Karimun, seperti 17 tahun berlalu menjadi guru, Jamel juga mengemban tugas-tugas tambahan ‘lain’ yang sedikit banyak bersinggungan juga dengan tugas pokok saya sebagai guru. Beberapa tugas sosial diamanahkan kepadanya selama di Tanjungbalai Karimun. Begitulah barangkali posisi dan nasib guru yang jika mau selalu ada pekerjaan baru yang dipercayakan masyarakat atau lembaga tertentu kepadanya. Selagi mau dan mampu memikul amanah yang disandarkan, maka pekerjaan tambahan akan terus berdatangan. (bersambung)