Tentang 1 Januari yang menguras emosi, rerumputan pun lusuh diterpa air hujan yang berlomba-lomba mengucur turun membasahi bumi. Menciptakan kisah panjang tentang sebuah kesedihan. Kesedihan yang menciptakan pagi nan beku.
“Bi Tini, hari ini dagang uduk ga?” Teriak yang dilontarkan oleh Sumarni dari sebrang rumahnya bersama riak suara hujan.
“Iya, hari ini kan tahun baru. Bibi udah belanja banyak, buat di dagangin ke curug ci hear” balas Bi Tini senada teriak.
Teriakan demi teriakan terlontar searah iramah hujan. Rumah Bi Tini dan Sumarni bersebrangan sejauh dua meter. Itulah sebabnya percakapan mereka terarah dengan baik tanpa harus saling menyambangi.
“Gimana dagangnya atuh, hujan begini mana ada yang wisata ke curug” sambung Sumarni.
“Iya Bibi juga bingung, mana udah masak banyak banget ini” balasnya.
“Mudah-mudahan banyak yang beli uduk ke rumah bibi. Saya bungkusin sepuluh ribu ya. Nanti saya kesitu bawa payung” timpal Sumarni.
Dalam pandangan yang lemas seakan sulit menerima keadaan cuaca di pagi itu, tangan Bi Tini lihai mengemas uduk.
“Jangan melamun, rizky mah sudah Allah atur mudah-mudahan siang mah reda hujannya” ujar Sumarni yang amat mengagetkan Bi Tini.
“Iya atuh neng, doa’in bibi ya, agar jualannya laris”. balasnya.
Gemerisik suara hujan membersamai asyiknya Sumarni dalam menyantap nasi uduk. Sambil menyantap uduk Sumarni tak henti menyemangati Bi Tini agar kesedihannya berbalas bahagia.
Beberapa menit berselang, tiba-tiba seorang pemuda rupawan datang menuju rumah Bi Tini. Ia adalah Aji yang merupakan pacarnya (Dina) anak bu Tini yang pada hari itu sedang berlibur di Jogja di rumah kakaknya.
“Assalamualaiku Mi” Sapa Aji dengan hangat.
“Wa’alaikumsalam. Sarapan dulu ya Ji. Umi udah masak uduk yang banyak buat jualan ke curug tadinya, tapi hujan masih belum reda” Ujar Bi Tini
“Iya boleh Mi. Oh iya, tadi si Neng nelpon katanya belum bisa pulang dari Jogja, kehabisan tiket kereta”.
“Iya, tadi malam juga udah nelpon umi. Kata Neng Dina, paling bisa pulang minggu depan . Marni, Aji, Umi mau solat duha dulu ya. Aji sekalian jagain warung Umi dulu”balasnya.
“Iya Umi” balas Aji.
Dalam laras dingin yang menyangga pagi, Bi Tini menghiasi sudut rumah dengan wudhu sebagaimana wudhu menjaga dari najis dan kesucian. Seperti peptahnya Jalaludin Rumi “Air berkata kepada yang kotor, “Kemarilah.” Maka yang kotor akan berkata, “Aku sungguh malu.” Air berkata, “Bagaimana malumu akan dapat dibersihkan tanpa aku?” seperti itulah Bi Tini selalu lekat dalam wudhu.
Di teras rumah, hujan seperti mengacaukan suasana. Tebing yang ada di pinggir rumah Bi Tini seperti lelah mempertahankan kekuatannya, ia lapuk di terka air dan memuntahkan batuannya menuju rumah Bi Tini. Sumarni berteriak kencang.
“Longsooooooor tolooooong” teriak Sumarni sambir berlari menyelamatkan diri.
Aji menjadi sangat panik ia berlari memasuki rumah dan mencari bi Tini. Bi Tini amat kaget mendengar dentuman di atap rumahnya, seketika Aji menarik keras tangan bi Tini dan membawanya keluar. Belum sampai menuju teras tiba-tiba Bi Tini terpeleset karena kakinya yang basah. Waktu begitu cepat tak sampai hitungan detik, kusen rumah Bi Tini menimpa badannya. Aji menjerit dan kebingungan, ia kemudian berlari mencari pertolongan warga.
Dikala itu warga bak burung dalam sangkar yang terbang berhamburan, bukan berhamburan menuju rumah bi Tini, melainkan saling menyelamatkan diri. Aji berteriak tiada berbalas, situasi begitu kacau tanah yang bergerak dengan cepat membuat warga dibungkus kepanikan. Akhirnya Aji kembali menuju rumah Bi Tini, sekuat tenaga ia melepaskan kusen yang menghimpit tubuh Bi Tini. 30 menit setelah terevakusi Aji membawanya keluar. Biru lebam pada dadanya serta tulangnya yang seakan remuk, membuat Bi Tini tak sadarkan diri.
Aji kemudian berniat mencari pertolongan menuju kampung sebrang. Namun Ia panik, semua tanah yang ia injak seperti lapuk di tarik bumi. Kesedihannya berbalas bahagia seorang bapak-bapak datang menuju rumah Bi Tini. Si bapak ini bernama Husen, ia menerima kabar dari Sumarni. Ketika yang lain berhamburan menuju hutan, Pak Husen datang menuju Bi Tini.
Dua lelaki ini bak pahlawan yang bertarung menghantam badai. Sekuat tenaga mereka membopong tubuh bu Tini secara bergantian. Tak ada tempat yang lebih aman selain menyelamatkan diri ke hutan. Hutan yang berada di atap gunung, di sebut dengan hutan ‘Sibanung’. Semua warga berlomba menuju hutan itu, mendaki terjal berkawan dalam hujan.
Perjalanan itu begitu menguras emosi, licin, terjal dan menerobos hutan bak memasuki dunia dongeng. Itulah faktanya Aji dan Husen berhasil melewati fase itu. Bi Tini semakin lemas, dehidrasi serta biru lebam dalam tubuhnya membuat ia amat memprihatinkan. Jangankan pertolongan medis mencari air saja amat sulit dalam situasi panik seperti itu.
Di tengah senja yang hampir gulita, mereka beristirahat. Sesekali Bi Tini meringis kesakitan, suarnya serak dan bergetar, nampak sekali ia begitu lelah dan butuh pertolongan. Aji dan Pak Husen membawanya perlahan. Ketika menemukan sumber mata air, Aji memetik daun dan memberikan minum pada Bi Tini.
Setelah perjalanan sampai pada atap gunung, mereka beristirahat di saung kebun warga. Suasana dingin yang menusuk serta gelap yang pekat menjadikan malam itu begitu melakolis. Di pertengahan malam, Bi Tini semakin gusar, napasnya semakin sesak wajahnya semakin pucat, serta denyut nadinya semakin lemah.
Ditengah biusan angin yang risau, akhirnya Bi Tini menghembuskan nafas terakhirnya. Aji pun menjerit, tangisnya pecah bingung harus berbuat apa. Mang husen kemudian mengusulkan agar Aji memberitahu warga yang sudah berkumpul di hutan sibanung, dan jasad Bi Tini ditemani olehnya.
Dengan perasaan yang kacau, Aji berlari menembus hutan yang gelap tiada rasa takut di benaknya. Yang ia pikirkan adalah mengabari warga. Hingga sampai di pucak sibanung, keluarga Aji berteriak histeris. Mereka bahagia melihat Aji setelah dikabarkan Aji menghilang di hutan. Aji kemudian menceritakan urutan kejadian hingga akhirnya warga berduyun-duyun menjemput jasad Bi Tini.
Siang harinya Bi Tini di kuburkan di tengah hutan tersebut. Rasa sedih masih lekat dalam diri Aji, bingung harus bercerita mulai dari mana memberi penjelasan pada dina kekasihnya.
Kabar bencana ini santer ke seluruh Indonesia hingga Dina mendengar kabar dari media bahwa kampungnya terkena bencana. Ia berusaha keras menghubungi warga desanya, tapi tak satupun bisa ia hubungi. Sinyal yang putus membuat warga begitu terisolasi akan keadaannya.
Tiga hari berselang, setelah warga terevakuasi akhirnya dina mendapat kabar dari Aji.
“Neng, yang sabar ya, mamah sudah berada di Surga” Ujar aji sambil menceritakan semua kronologinya.
Seketika tangis dina dan kakanya pecah tak tertahankan, ia menjadi sangat histeris. Ia menyesal tak membersamai ibunya, jika waktu bisa di putar, mungkin Dina tidak akan berlibur di Jogja. Namun semua adalah tulisan takdir, tiada yang dapat mengelak.
Rasa sedih yang dalam berkawin dengan kesal yang lantang. Bagaimana tidak, Dina tak bisa pulang dengan cepat karena tiket yang ia beli di jadwalkan untuk dua hari berikutnya. Batinnya semakin tersiksa tak ada wajah hangat yang menyambutnya pulang, tak ada usapan hangat dari tangan ibunya yang lembut.
Setelah 7 hari berselang akhirnya Dina kembali ke Desa, ia begitu lunglai tubuhnya seperti tak bertulang, namun Aji tegak berdiri menguatkannya.
-Sekian-