Badel, seekor monyet, tertawa melihat temannya sesama monyet, Momon, yang sedang menanam pisang.
“Ada apa Del? Macam sedang menonton lawakan saja. Apa yang kamu tertawakan?” tanya Momon melihat Badel tertawa ke arahnya.
“Ha ha ha ha …!” Badel terus tertawa sampai terkencing-kencing.
“Hei…! Bisakah kamu hentikan tawamu dan menjelaskan mengapa kamu tertawa?”
Badel berusaha menghentikan tawanya yang tak tertahankan.
“Momon. Kamu adalah karakter monyet yang sedang mempertontonkan lelucon paling ekstrem di abad ini.”
“Lelucon bagaimana, Del?”
“Ya lelucon.”
“Bisa kamu jelaskan maksudmu? Ada hubungannya dengan pisang yang saya tanam?”
Badel kembali tertawa.
“Saya menanamnya karena saya suka. Del… Kalau nanti pisang ini tumbuh dan berbuah kita bisa pesta pisang,” Momon melanjutkan penjelasannya.
“Tentu saja. Kita bangsa monyet memang penyuka pisang. Monyet mana yang tidak suka pisang? Tetapi masalahnya bukan suka atau tidak suka. Bukan pula tentang pesta pisang.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Caramu menanam pisang. Itulah masalahnya.”
“Maksudmu?” Momon tetap dalam kebingungan.
“Pisangmu tidak akan bisa hidup. Menanam pisang caranya bukan begitu, Mon,” kata Badel.
“Memang kenapa, Del?”
“Menanam pisang bukan pucuknya.”
Momon terdiam. Dia memandangi pisangnya. Momon tampak ragu. Tetapi sifatnya yang tidak pernah mau mengalah membuatnya terus mencari jawaban agar tindakannya dapat dibenarkan. Momon memang begitu. Selalu mencari pembenaran atas setiap tindakan yang dilakukannya.
“Badel, mari kita lihat. Kamu pernah menemukan buah pisang yang belum dipetik?,” Momon bertanya.
“Tentu saja. Saya pernah melihatnya. Saya, kamu, dan semua monyet adalah hama pisang bagi manusia.”
“Saat masih di pohonnya buah pisang itu terdapat pada bagian mana?”
“Pucuknya,” jawab Badel singkat.
“Nah, kan kamu tahu sendiri buah pisang keluar dari pucuknya,”
“Momon, tidak ada yang dapat membantah bahwa buah pisang memang keluar dari pucuknya. Hanya saja, di mana-mana manusia menanam pisang bukan pucuknya tetapi bonggolnya,” giliran Badel berusaha meyakinkan Momon.
“Kamu tidak bisa mengikuti cara manusia, Del. Manusia itu pesulap. Mereka sangat pintar mengubah sesuatu yang fiktif menjadi sebuah fakta. Mereka mampu mengolah hamparan fatamorgana menjadi kebenaran tidak terbantahkan. Atau sebaliknya. Kalau kamu melihat mereka menanam bagian bawah pisang, itu hanya penampakan saja. Jangankan pohon pisang, hutan yang lebat saja mampu mereka sulap menjadi gurun,” Momon berusaha mengubah keyakinan Badel.
Badel terdiam.
“Manusia itu dibekali kecerdasan dan kemampuan luar biasa. Dengan melempar celana dalam ke atap rumah hujan bisa berhenti. Yang paling populer saat MotoGP Mandalika minggu lalu, mereka menggunakan pawang hujan untuk merekayasa cuaca agar balapan itu bisa berlangsung dengan baik. Bahkan saat minyak goreng langka bisa berubah jadi banjir minyak hanya dengan mencabut HET,” lanjut Momon.
Rupanya Badel mulai terpengaruh dengan penjelasan Momon. Pada saat yang sama, Momon tahu bahwa dia memang salah. Tetapi dia ingin Badel percaya bahwa apa yang dilakukannya merupakan sebuah kebenaran. Momon terus menerus menjejali pikiran salah ke dalam kepala Badel dengan sejumlah peristiwa yang dianggap tak masuk akal beberapa hari terakhir. Momon terus melakukannya sampai Badel menerimanya menjadi suatu kebenaran. Tampaknya Momon berhasil. Badel diam.
“Masuk akal,” Badel membatin.
“Ayo! Bantu saya angkat batang pisangnya. Kita tanam sama-sama. Nanti kita panen sama-sama.”
Badel patuh. Dibantunya Momon mengangkat pucuk pohon pisang itu.
Lombok Timur, 23 Maret 2022