DRAMA MENJELANG HARI KELAHIRAN
Oleh: Nanang M. Safa
Menjadi suami siaga adalah keinginan setiap suami. Begitupun saya. Keinginan saya untuk menjadi suami siaga (bisa mendampingi isteri saya di saat-saat melahirkan) adalah menjadi keinginan saya yang mestinya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dari ketiga kelahiran anak saya, alhamdulillah saya selalu bisa mendampingi dan memberikan semangat pada saat-saat isteri saya harus berjuang bertaruh nyawa untuk kelahiran anak-anak kami.
Ya, dan kali ini keinginan saya juga tidak pernah berubah, ingin mendampingi isteri saya melahirkan anak ke-empat kami. Anak ke-empat? Barangkali di antara Anda ada yang merasa takjub atau justru merasa heran, wow … anak ke-empat. Hari gini punya anak sampai empat. Okeylah, saya tidak akan berdebat tentang ini. Toch bukankah memiliki anak banyak atau sedikit itu menjadi hak masing-masing orang? Bukankah urusan anak itu berkaitan erat dengan amanah Sang Maha Pencipta?
Sedangkan saya meyakini betul bahwa tiap-tiap kelahiran adalah awal dari sebuah sejarah. Anak-anak kita akan memiliki sejarahnya sendiri kelak. Mereka akan merangkai hidupnya sendiri. Mereka akan menemukan takdirnya sendiri. Kita sebagai orang tua hanya bertugas membiasakan, mendidik, mengajar, dan mengembangkan bakat dan potensi yang semuanya telah dipersiapkan oleh Allah SWT secara sempurna sebagai bekal mengarungi hidup di dunia. Jadi bagi saya, memiliki banyak anak justru merupakan anugerah Allah yang luar biasa. Alhamdulillah ….
Sesuai prediksi bidan yang menangani kehamilan isteri saya, isteri saya akan melahirkan pada tanggal 8 Mei 2021. Namun seperti yang banyak terjadi yang namanya prediksi bisa maju bisa mundur. Namun kelahiran anak saya yang keempat ini benar-benar dramatis.
Drama pertama: Satu hari menjelang kelahiran anak saya (sesuai prediksi bidan), saya malah harus opname di rumah sakit. Isteri saya yang sudah kelelahan, harus merawat saya. Tentu hal ini benar-benar membuat pikiran saya kacau. Ya Ilahi, saya yakin Kau telah memilihkan jalan terbaik untukku, untuk keluarga kami. Hanya keyakinan itulah yang membuatku optimis untuk menjalani hari-hari penuh drama itu.
Di saat-saat seperti itu saya benar-benar bisa merasakan bahwa memiliki banyak saudara yang rukun dengan tempat tinggal yang tidak terlalu berjauhan adalah sebuah keberuntungan yang luar biasa. Merekalah tempat saya bertumpu, selain tentu saja tetangga. Mereka begitu kompak mengambil peran masing-masing tanpa harus saya minta.
Satu hari satu malam cukuplah saya menginap di rumah sakit. Cairan infus tiga kantong yang masuk ke tubuh saya, saya rasa sudah cukup untuk memenuhi nutrisi tubuh saya yang terkuras habis. Siang itu terpaksa saya harus menggugurkan puasa saya (mokel) karena keadaan tubuh saya yang lemas lunglai. Semalam saya juga tidak bisa menikmati makan sahur saya karena tubuh saya sudah terasa tidak nyaman. Dan ketika mokel itupun saya juga cuma minum segelas air putih dan tiga butir kurma. Itupun harus saya paksakan. Perut saya seakan menolak makanan yang saya telan. Prinsipnya yang penting ada nutrisi masuk ke tubuh saya, sudah cukup. Tentang yang lain, nanti saya gunakan istirahat di rumah, saya yakin akan pulih sedikit-demi sedikit. Maka siang itu habis Zuhur saya putuskan pulang.
Drama kedua: Satu hari setelah kepulangan saya dari rumah sakit, isteri saya mulai merasakan hal yang tidak beres. Terjadi flek disertai cairan bening. Akhirnya saya minta dia konsultasi ke bidan dan oleh bidan disarankan untuk konsultasi ke dokter kandungan di rumah sakit Trenggalek. Rupanya isteri saya merasa berat untuk berangkat ke rumah sakit. Terus terang saja, di masa pandemi seperti ini sedikit banyak kami ikut terpengaruh oleh opini masyarakat tentang sisi-sisi keamanan rumah sakit di kota kami. Namun setelah saya beri motivasi dan pertimbangan-pertimbangan akhirnya isteri saya mau berangkat juga dengan diantar dan didampingi oleh adik saya bersama suaminya.
Sepulang dari rumah sakit, saya mendapatkan dua keterangan yang menggembirakan sekaligus membuat saya bertanya-tanya. Berita pertama tentang prediksi persalinan isteri saya yang menurut dokter masih kurang sekitar dua mingguan lagi. Padahal menurut prediksi bidan justru sudah terlewat tanggal. Berita kedua tentang jenis kelamin anak saya. Bidan menyatakan bahwa anak saya yang keempat ini berjenis kelamin perempuan. Tentu saja berita ini membuat rasa senang tersendiri bagi kami. Maklum saja, kami telah dikaruniai tiga anak laki-laki. Tentu jika boleh meminta kami ingin anak kami yang keempat ini perempuan. Dan bidan telah memberikan berita gembira itu kepada kami. Namun ternyata dokter malah menyatakan hal yang sebaliknya. Biarlah, kami tetap yakin pilihan Allah adalah pilihan yang terbaik. Isteri saya sehat, anak saya sehat adalah harapan terbesar saya saat ini.
Drama ketiga: Setelah konsultasi ke dokter itu mestinya bisa membuat saya tenang. Saya masih memiliki cukup waktu untuk memulihkan kembali kesehatan saya sehingga nanti ketika tiba hari persalinan saya bisa mendampingi isteri saya seperti pada kelahiran ketiga anak saya sebelumnya. Namun justru keadaan isteri saya tidak semakin membaik.
Pagi itu isteri saya kembali mengeluh tentang rasa tidak nyaman di perutnya. Tentu ini membuat saya harus ekstra waspada. Sekitar jam sepuluh isteri saya merasakan mulas. Jangan-jangan …. Pikiran saya semakin tak karuan. Maka saya telephon adik saya untuk bersiap sambil menunggu perkembangan keadaan isteri saya. Adik perempuan saya inilah yang menjadi jujugan saya untuk urusan seperti ini. Saya tahu dia dan suaminya tentu sangat sibuk hari itu. Sebagai seorang marbot masjid tentu adik saya bersama suaminya harus mempersiapkan segala hal untuk menyambut hari raya Idulfitri esok hari. Namun bagaimana lagi keadaan memaksa saya untuk mengambil tindakan cepat. Apalagi saya sendiripun masih belum bisa berbuat banyak lantaran tenaga saya masih sangat lemah akibat sakit yang belum sembuh betul itu.
Setelah shalat Zuhur, saya telepon adik saya untuk mengantarkan isteri saya. Pertama yang dituju tentu bidan yang menangani isteri saya. Setelah diperiksa ternyata memang sudah ada tanda-tanda melahirkan biarpun belum bukaan. Isteri saya diajak pulang sambil menunggu perkembangan lebih lanjut.
Beberapa jam di rumah ternyata keadaan isteri saya semakin mengkhawatirkan. Dan lagi-lagi saya sendiripun tidak bisa berbuat banyak. Yang bisa saya lakukan hanyalah memberikan dorongan semangat sambil terus berdo’a untuk kebaikan isteri dan anak saya.
Setelah Asar, isteri saya diantar oleh adik saya ke Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung. Rumah sakit ini track record-nya cukup baik untuk penanganan persalinan. Ternyata tekad kami untuk proses persalinan isteri saya cukup di poliklinik bidan desa tidak bisa kesampaian. Hal ini disebabkan Hemoglobin (Hb) isteri saya cenderung rendah. Bidan yang kami percayai sebenarnya masih sanggup untuk menangani persalinan bayi kami, namun sepertinya ada keraguan dari wajahnya. Kami maklum, pengalaman kelahiran ketiga anak kami, ketika melahirkan isteri saya mengalami perdarahan yang cukup banyak. Apalagi kali ini, Hb isteri saya di bawah standar. Dengan memilih rumah sakit sebagai tempat persalinan, saya bisa lebih tenang sebab kalau toch terjadi perdarahan akan bisa segera tertangani dengan baik, termasuk ketika membutuhkan transfusi darah.
Drama keempat: Malam itu isteri saya sedang berjuang bertaruh nyawa demi kelahiran anak saya. Sementara saya di rumah dengan ditemani kakak saya dan anak sulung saya, (anak saya yang nomor dua dan tiga sudah tiga hari menginap di rumah eyangnya di lain desa). Istri saya ditemani adik perempuan saya. Sedangkan kedua adik laki-laki saya kebagian peran menjadi kurir dan mengurus berbagai hal dan kebutuhan selama di rumah sakit. Saya terus memantau perkembangan persalinan isteri saya lewat hp saya. Untuk isteri saya, saya titipkan “sebotol air putih” sebagai motivasi ketidakhadiran saya di sisinya.
Pukul 10 malam saya mendapat kabar, proses persalinan isteri saya sudah mencapai tahap pembukaan 5. Kabar itu saya terima dari adik perempuan saya yang setia mendampingi isteri saya. Saya terus berdo’a untuk kelancaran persalinan isteri saya. Bukan lagi tentang jenis kelamin anak saya yang akan lahir namun fokus kepada keselamatan isteri dan anak saya. Dan alhamdulillaah … Sekitar jam setengah dua belas malam saya mendapat kabar lagi bahwa anak saya telah lahir. Dan di sinilah puncak kebahagiaan itu, anak saya lahir perempuan, cantik, sehat, dan lengkap, tidak ada kekurangan suatu apapun.
“Fa bi ayyi aalaai rabbiku maa tukadzdziban”
Saya tidak bisa lagi membendung air mata saya. Saya langsung sujud syukur dengan berlinangan air mata bahagia. “Terima kasih ya Allah atas anugerah yang telah Kau limpahkan kepada Kami. Ampuni saya yang sempat kurang ikhlas menerima takdir-Mu. Ternyata ceritamu lebih indah dari cerita yang saya rencanakan. Subhanallaah wa alhamdulillah wa laa ilaaha illallaahu Allahu akbar. Laa hawla wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘aadziim ….”
Tepat di malam keagungan, malam Idul Fitri, malam penuh gema takbir, hari Rabu, 12 Mei 2021 bertepatan dengan 1 Syawal 1442 H, pukul 23.10 anak saya lahir, dengan berat 3,2 kg dan panjang 51 cm. Semoga kelak dia bisa menjadi pelita bagi keluarga kami, bisa menjadi pelengkap canda dan keceriaan dalam keluarga kami. Semoga kelak dia bisa menjadi anak solihah yang bisa memberi manfaat bagi keluarga dan bagi banyak orang. Kami beri dia nama “LATIFA SAFA MAHARANI” dengan nama panggilan “ARA”.
#kmab#13