Mengemban Tugas Tak Terduga

Terbaru105 Dilihat

MENGEMBAN TUGAS TAK TERDUGA

Oleh: Nanang M. Safa

 

Pernahkah Anda membayangkan diberi tugas yang tak terduga? Ya, saya katakan tak terduga dalam arti tugas yang Anda terima tersebut sama sekali tidak pernah Anda bayangkan karena tugas tersebut sama sekali baru bagi Anda. Anda belum pernah memiliki pengalaman berkaitan dengan bidang tugas yang akan Anda emban tersebut. Anda juga tidak memiliki keahlian dalam bidang tersebut.

Bagaimanakah reaksi pertama Anda ketika diberikan tugas tersebut? Menolak, mengiyakan dengan ragu-ragu, atau menerima saja tanpa beban?

Bersama seorang teman, saya diserahi tugas menangani anak-anak yang akan diikutkan dalam kompetisi di ajang Porseni. Tidak main-main, tingkat propinsi. Bidang lomba yang menjadi tanggung jawab kami adalah seni bela diri pencak silat. Wooo … benar-benar di luar dugaan. Pengalaman 0 alias nihil. Memang sich, ketika mahasiswa dulu saya pernah menekuni salah satu perguruan bela diri. Dulu, 20 tahun lalu. Namun bela diri yang diperuntukkan sebagai bekal diri dengan bela diri untuk kompetisi tentu sangat berbeda. Bela diri untuk kompetisi di ajang Porseni lebih menekankan pada aspek seni bela dirinya bukan pada pertarungannya. Apalagi ini ada embel-embel standar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) yang tentu sangat ketat aturannya. Mulai dari peralatan yang digunakan hingga teknis perekaman dan pengiriman video. Ini adalah problem pertama.

Oya, sekedar untuk diketahui, pelaksanaan Porseni tahun ini dibagi menjadi dua model yakni model tatap muka (luring) dan model tatap maya (daring). Pencak silat masuk dalam cabang olahraga (cabor) yang dilombakan dengan model tatap maya. Tentu ada sisi mudah dan sulitnya. Namun menurut saya, sisi sulitnya jauh lebih banyak. Apalagi jika melihat kondisi madrasah kami.

Cabor pencak silat adalah cabang yang baru pertama kali diikuti dan belum masuk dalam kegiatan ekstra kurikuler di madrasah kami. Tentu kami harus pontang-panting mencari pelatih yang benar-benar mumpumi, bukan sekedar pelatih yang sekedar menguasai jurus-jurus pencak silat standar.

Selanjutnya kami masih harus memilih anak-anak yang setidaknya telah mengenal jurus-jurus dasar pencak silat. Mengingat waktu yang tersedia cukup singkat (hanya 3 minggu), kami benar-benar harus gerak cepat. Setelah mencari informasi melalui anak-anak juga, akhirnya berhasil kami dapatkan 3 atlet aputra dan 2 atlet putri. Sebenarnya jika ada, mestinya 3 atlet putra dan 3 atlet putri agar nantinya bisa mengikuti cabang tunggal putra dan tunggal putri, ganda putra dan ganda putri, serta beregu putra dan beregu putri. Dan ternyata setelah satu minggu latihan, 1 atlet putri mengundurkan diri karena keadaan fisiknya lemah. Maka akhirnya kami putuskan untuk mengikuti cabang tunggal putra dan tunggal putri, ganda putra, serta beregu putra.

Masalah tidak berhendi sampai di sini. Peralatan untuk latihan ternyata juga menjadi problem tersendiri. Kami butuh toya dan golok standar IPSI. Sebenarnya ada saran untuk menyewa saja mengingat keterbatasan anggaran yang ada. Alasan lain, toya dan golok itu hanya dibutuhkan untuk kompetisi. Namun kami punya alasan lain. Pertama, setelah kami hitung-hitung, meminjam 4 toya dan 4 golok dalam waktu dua minggu anggarannya justru lebih besar dibanding membeli. Kedua, golok yang digunakan di perguruan bela diri bebanyakan tidak standar IPSI. Ketiga, toya dan golok tersebut nantinya bisa disimpan dan digunakan untuk ajang kompetisi yang lain, termasuk Porseni tahun berikutnya. Dengan alasan itulah akhirnya kami beranikan diri untuk mengajukan anggaran untuk pembelian toya dan golok.

Masalah berikutnya berkaitan dengan tempat berlatih. Madrasah kami belum memiliki aula atau gedung olah raga (GOR), sementara untuk latihan memerlukan tempat cukup luas dan terlindung dari sinar matahari agar anak-anak tidak cepat lelah dan bisa berlatih dengan nyaman. Akhirnya kami putuskan untuk mengontrak aula balai desa tetangga (Margomulyo) sebagai tempat latihan, biarpun harus bergantian dengan klub badminton setempat.

Dari sisi teknis, ternyata juga harus putar otak. Bayangan awal kami untuk perekaman video cukup mudah dan singkat. Namun ternyata … oh ternyata … cukup melelahkan dan rumit, terutama di bagian beregu. Keterbatasan tempat cukup menyulitkan kami untuk bisa take gambar secara maksimal.  Belum lagi ketatnya aturan dari panitia. Penyesuaian durasi waktu dengan kecepatan gerakan saja sangat sulit. Durasi waktu yang disediakan panitia untuk seluruh tampilan jurus (tangan kosong, toya, dan golok) hanya 3 menit dengan waktu toleransi 10 detik. Benar-benar butuh konsentrasi tinggi, baik bagi petugas shooting lebih-lebih bagi para atlet. Belum lagi dari sisi kekompakan. Maklum saja, latihan awal hingga siap tampil hanya disediakan waktu 3 minggu. Kami harus take gambar berulang kali untuk mendapatkan hasil terbaik. Maka shooting yang saya prediksi tidak lebih setengah hari ternyata harus makan waktu hingga satu hari penuh. Benar-benar melelahkan.

Proses pertama bisa kami selesaikan. Selanjutnya kami tinggal menunggu hasil dari ikhtiar kami. Tiga minggu berikutnya pengumuman hasil Porseni kami terima. Ternyata madrasah kami bisa meloloskan 2 cabor yakni catur (putri) dan pencak silat (tunggal putra). Ya …, minimal bisa menebus rasa lelah kami. Namun dengan lolosnya cabor pencak silat di 10 besar tersebut, kami masih harus menyiapkan segalanya untuk tampil di babak final.

Tampilan di babak final ternyata tetap tatap maya (daring) namun dalam kemasan live zoom. Satu hari menjelang pelaksanaan babak final, kami harus mempersiapkan ruangan dan segala peralatan yang dibutuhkan, termasuk jaringan internet agar tidak terjadi bad signal ketika tampil live. Seperti yang saya sampaikan di atas, mengingat madrasah kami belum memiliki aula atau GOR maka kami harus mengosongkan satu ruang kelas untuk persiapan live zoom esok hari. Seusai kegiatan pembelajaran hari itu, kami harus mengosongkan ruang kelas 8B. Ruang kelas ini kami pilih karena bersebelahan dengan ruang IT. Meja dan kursi kami keluarkan. Pasang banner, karpet, kamera, dan perlengkapan lain.

Di hari h pelaksanaan, sejak pagi kami telah stand by di ruang live zoom. Atlet kami (Agus Kurniawan) juga sudah siap sejak pagi. Cek sana sini, beres. Kami cukup optimis, setidaknya kami bisa masuk 3 besar.

10 menit menjelang jam pembukaan sesuai juknis dari panitia, kami belum bisa masuk. Saya mulai galau. Khawatir terjadi gangguan  sinyal. Rekan saya di bagian IT terus memantau, dan terus mencoba login. Hingga sepuluh menit berikutnya, belum bisa login juga. Saya masih mencoba menenangkan diri, barangkali saja panitia masih mempersiapkan semuanya, seperti kebanyakan acara zoom meeting yang selama ini saya ikuti, lazimnya juga molor dari jadwal semestinya.

30 menit berikutnya, ternyata masih juga belum berhasil login. Saya benar-benar galau. Saya mencoba berkomunikasi dengan panitia di Malang. Jawaban yang saya terima disuruh mencoba login lagi dengan diberi link yang ternyata sama dengan link yang sudah saya terima sebelumnya. Tentu saja hasilnya zonk. Tetap tidak bisa login. Seorang rekan yang kebetulan memiliki akses ke panitia inti juga mencoba telepon. Namun hasilnya tetap nihil. Solusi yang diberikan tidak bisa memecahkan masalah. Tim IT di madrasah kami sudah dikerahkan, namun entahlah, kendala teknis belum juga bisa diatasi. Nervous dan galau campur aduk menjadi satu.

Akhirnya setelah negosiasi dengan panitia, kami diberi kesempatan tampil terakhir (padahal mestinya tampil di nomor urut ke-2). Batas toleransi waktu 10 menit inilah yang kami maksimalkan. Akhirnya di menit-menit akhir kami berhasil login dan tampil. Sayang sungguh sayang, akibat sedikit kesalahan teknis, tampilan live zoom kami tetap tidak bisa maksimal. Benar-benar dramatis. Biarpun akhirnya kami tidak bisa tembus 3 besar setidaknya kami telah berikhtiar maksimal untuk bisa memberikan yang terbaik untuk madrasah kami.

“Terima kasih untuk Tim IT MTsN 4 Trenggalek. Tetap semangat, dan pantang menyerah. Selamat untuk Agus Kurniawan. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk madrasah kita. Semoga tahun depan kita bisa meraih prestasi lebih baik lagi.”

 

#kmab#11

 

 

Tinggalkan Balasan