SONJO
Oelh: Nanang M. Safa
Salah satu kearifan lokal masyarakat Jawa yang bernilai positif dan hampir hilang dari peradaban adalah tradisi sonjo. Sonjo adalah tandang atau bertamu ke rumah tetangga yang lazimnya dilakukan pada malam hari. Kebiasaan sonjo tidak selalu dilakukan lantaran ada kepentingan, bahkan seringkali seseorang yang sonjo ke rumah tetangga atau saudaranya hanya untuk sekedar jagongan (ngobrol) saja.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang sonjo, perlu saya sampaikan juga bahwa ada kata yang sebenarnya semakna dengan kata “sonjo” yakni kata “sowan”. Kedua kata tersebut merupakan sinonim yang berarti berkunjung atau bertamu. Namun demikian ada perbedaan mendasar antara keduanya. Sonjo merupakan kegiatan berkunjung yang bisa dilakukan oleh siapapun, dalam status sosial apapun, dan kepada siapapun. Sedangkan sowan lebih mengarah pada kunjungan yang dilakukan oleh orang tertentu, kepada orang-orang dalam kelompok tertentu, dan dengan kepentingan tertentu juga. Biasanya yang dikunjungi adalah orang tua atau orang-orang yang dituakan dan dihormati semisal kiai (tokoh agama), tokoh masyarakat, guru, atau pejabat.
Ketika saya kecil dulu, seringkali para tetangga atau saudara datang ke rumah. Waktunya sehabis magrib hingga sekitar jam 21 (jam 9 malam). Ayah dan ibu saya bersama tamunya berbincang tentang berbagai hal sambil sesekali ditimpahi tawa. Namun biarpun perbincangannya terkesan seadanya, sebenarnya banyak hal serius yang mereka bicarakan, mulai dari masalah ringan sehari-hari hingga masalah-masalah sosial kemasyarakatan, dan kadang juga hal-hal berbau politik (tentu saja politik ala orang desa). Sebagai teman ngobrol, ibu saya pasti akan membuatkan wedang kopi tumbuk dan singkong rebus atau pisang goreng hasil dari kebun sendiri. Dan saya pasti kebagian jatah juga. Asyik ….
Tradisi sonjo selain bisa menjadi ajang mempererat silaturahmi juga bisa dijadikan media untuk melakukan rekonsiliasi untuk meredakan konflik sosial akibat gesekan-gesekan yang terjadi dalam hidup bermasyarakat. Dalam acara sonjo ini antara orang yang sonjo (tamu) dan orang yang disanjani (tuan rumah) akan terjadi perbincangan santai yang disebut dengan jagongan. Melalui perbincangan santai inilah akhirnya kebuntuan dan konflik akan bisa mencair dan tidak harus berlarut-larut.
Terjadinya komunikasi informal dua arah antara orang yang sonjo dengan orang yang disanjani tentu akan mengakrabkan kedua belah pihak sehingga keduanya bisa saling mengenal lebih dalam. Orang yang sonjo dan orang yang disanjani bisa saling menyelami tentang cara bertutur sapa (bahasa), sopan santun (tata kerama), sikap dan perilaku, pengetahuan tentang berbagai bidang ilmu, serta pemahaman tentang berbagai masalah yang terjadi dalam masyarakat sekitar yang kesemuanya itu merupakan cerminan dari karakter seseorang. Ketika seseorang bisa mengenal karakter orang lain lebih dalam, tentu orang tersebut tidak akan gampang terprovokasi dengan hasutan dan fitnah yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak sepaham atau orang-orang yang berniat memecah-belah persaudaraan antar individu, keluarga, atau kelompok masyarakat. Dengan demikian potensi terjadinya kesalahfahaman dapat diminimalisir.
Budaya sonjo juga dapat menumbuhkan empati, solidaritas, kasih sayang serta kepedulian terhadap orang lain. Tak jarang pula, dalam sonjo ini terjadi kesepakatan muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, hutang-piutang, dan pinjam-meminjam. Hal ini tentu bisa memperkuat ikatan emosional antar individu atau kelompok masyarakat yang sonjo dan disanjani.
Itulah beberapa manfaat positif dari tradisi sonjo yang sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan oleh orang-orang di desa saya. Banyak sekali faktor penyebab hilangnya budaya Jawa adiluhung ini. Perubahan pola hidup adalah faktor paling mendasar penyebab hilangnya tradisi sonjo. Semoga saja jalinan silaturahmi anak cucu kita tetap terjaga biarpun dalam kemasan yang berbeda.
#kmab#18