JIKA ANDA RAGU SEBAIKNYA DITUNDA DULU
Oleh: Nanang M. Safa
Pernahkah Anda ragu-ragu sebelum melakukan sesuatu? Apakah Anda melanjutkan rencana Anda? Lalu apa yang terjadi pada diri Anda?
Saya yakin semua orang pasti pernah mengalami rasa ragu ketika akan melakukan sesuatu, termasuk saya dan Anda. Dalam kesempatan ini, saya ingin mengajak Anda sedikit merefleksi tentang perasaan ragu yang pernah kita alami serta akibat lanjutannya.
Pertama saya ingin mengajak Anda menyimak kisah teman saya. Teman saya ini pernah mengalami hal yang hampir saja mengakhiri hidupnya jika saja tidak segera mendapatkan pertolongan. Semuanya bermula dari rasa ragu yang diabaikan. Ketika hendak pergi ke kebun sekitar 4oo meter dari rumahnya, teman saya ini ragu antara berangkat dan tidak. Namun dia tetap saja berangkat karena terdorong keinginan melihat durian di kebunnya yang buahnya sudah mulai tua.
Setelah sampai di kebunnya, teman saya mulai membersihkan bawah pohon durian dan sekitarnya. Mulanya tidak terjadi apa-apa. Namun ketika hampir pada akhir pekerjaannya, tiba-tiba saja seekor ular berbisa menyambar tangannya. Kontan saja dia melepaskan sabit di genggamannya. Dilihatnya luka bekas gigitan ular itu. Tanpa menunggu lama dia pulang ke rumah dan langsung minta tolong tetangganya untuk segera mengantarkannya ke rumah sakit.
Ketika saya menjenguknya, dari ceritanya tertangkap suratan kata “ragu” ketika hendak berangkat ke kebun. Dia ragu karena anaknya merengek minta diantar ke rumah keponakannya. Namun tetap saja dia berangkat ke kebun hingga akhirnya terjadilah peristiwa mematikan tersebut.
Beda lagi dengan cerita teman saya yang satunya lagi. Awalnya dia memang sempat ragu ketika hendak lewat jalan alternatif menuju ke tempatnya bekerja. Memang sich, jalan alternatif tersebut lebih dekat jika dibandingkan dengan jalan utama yang biasa dia lewati, terdapat selisih waktu sekitar 10 menit. Ketika itu teman saya ini berangkat agak kesiangan. Tentu saja dia khawatir akan terlambat sampai ke tempatnya bekerja. Maka dengan perasaan ragu, teman saya ini tetap saja mengambil jalur alternatif tersebut. Anda tahu apa yang akhirnya terjadi dengan teman saya ini? Ya, dia terjatuh dari motornya. Cukup parah juga lukanya. Dan lagi-lagi diawali dari rasa ragu.
Selanjutnya saya ingin mengajak Anda menyimak cerita saya.
Ketika istri saya hamil anak pertama dulu, istri saya ngidam sebagaimana banyak dialami perempuan yang sedang hamil. Ngidam adalah istilah untuk menggambarkan kondisi ibu hamil yang menginginkan makanan atau minuman tertentu (https://hellosehat.com/kehamilan/kandungan/kapan-ngidam-saat-hamil-terjadi/). Ketika itu istri saya ngidam buah kedondong. Sebagai seorang suami yang baik tentu saya sangat ingin memenuhi ngidam istri saya tersebut. Kebetulan pohon kedondong di rumah Pakde saya sedang berbuah lebat dan hampir matang. Gayung bersambut, tentunya.
Setelah mohon izin sama Pakde saya, saya langsung menuju ke halaman belakang di mana pohon kedondong berada. Namun ternyata pohon kedondong tersebut cukup besar dan tinggi. Cabang pertamanya saja berjarak 6 meter dari tanah. Hampir dua puluh menit saya hanya berdiri mengamati si pohon kedondong yang berdiri angkuh tersebut. Sesekali saya mengalihkan pandangan ke buah kedondong yang begitu ranum di dekat cabang pertama. Muncul keraguan antara naik ke atas pohon dan tidak.
Sejak kecil saya memang sudah dilatih ayah saya memanjat pohon. Namun pohon yang saya panjat adalah pohon cengkih yang cabangnya banyak dan daunnya rimbun. Jadi mudah saja saya memanjatnya dan karena terlindung oleh dedaunan yang rimbun, saya tidak terlalu terganggu dengan ketinggian pohon cengkih yang saya panjat. Namun ini sungguh sangat berbeda. Pohon kedondong adalah jenis pohon yang tidak banyak cabang. Kulit pohonnya juga terlihat mengkilap mengesankan bahwa si pohon cukup licin. Belum lagi tingginya. Benar-benar ciut nyali saya melihat kondisi si pohon kedondong.
Di sisi lain saya teringat dengan ngidam istri saya. Buah kedondong yang begitu ranum sudah ada di depan mata, masak iya saya akan membiarkannya. Dan ketika pamit tadi pun saya sudah meyakinkan istri saya bahwa saya akan mendapatkan si buah kedondong. Ketika mengingat ini maka tekad saya berubah menjadi nekad. Biar bagaimanapun saya harus berhasil mendapatkan si buah kedondong.
Saya abaikan rasa ragu saya. Dengan semangat menggebu, saya mulai memanjat si pohon kedondong. Satu langkah dua langkah, lancar-lancar saja. Hingga sepuluh langkah berikutnya, lutut saya mulai gemetaran. Namun tanggung, tinggal sekitar 4 langkah lagi saya akan sampai ke cabang pertama. Dan akhirnya usaha saya berhasil. Dengan susah-payah saya berhasil menggapai cabang pohon kedondong. Saya duduk di cabang pohon kedondong yang cukup besar tersebut. Saya lihat ke bawah terasa tinggi sekali. Memang beda ketika saya memandangnya dari bawah tadi. Agak takut juga saya. Sebelum menggapai buah kedondong yang berada setengah meter di atas kepala saya, saya tenangkan diri. Gemetar di lutut saya juga tidak seperti ketika memanjat tadi. Sudah mulai reda.
Setelah saya rasa cukup beristirahat, saya berdiri di cabang pohon lalu mulai memetik buah kedondong. Cukup banyak juha buah kedondong yang saya dapat. Tiba waktunya saya harus turun. Di sinilah mulai muncul masalah. Ternyata turun dari cabang pohon yang cukup besar jauh lebih sulit dari pada naiknya tadi. Saya mulai gugup. Saya coba berkali-kali belum juga berhasil. Tentu saja saya tambah gugup. Akhirnya saya putuskan untuk duduk kembali di atas cabang pohon kedondong. Saya berusaha menahan diri untuk tidak memandang ke bawah karena pasti akan menambah ciut nyali saya.
Di bawah tidak ada siapa-siapa. Mesti bagaimana saya? Apa yang harus saya lakukan? Tidak mungkin saya teriak-teriak minta tolong. Bagaimana nanti tanggapan orang-orang terhadap ketololan saya ini? Sungguh ketika itu saya seperti orang bodoh, hampir tak tahu apa yang mesti saya lakukan.
Saya harus melakukan sesuatu. Tidak mungkin saya akan berada di atas pohon terus. Semakin lama justru saya akan kehilangan tenaga. Dengan mengucap “Bismillah, Allaahu Akbar!” saya mulai mengayunkan kaki menuruni cabang si pohon kedondong. Akhirnya kesulitan terbesar bisa saya lewati. Sedikit demi sedikit tubuh saya mulai melorot ke bawah. Alhamdulillah, akhirnya saya berhasil menginjakkan kaki saya kembali ke tanah. Saya duduk bersimpuh di bawah pohon kedondong sambil memeluk batangnya. Ya Allah, hampir saja ….
Itulah akibat dari keraguan yang saya abaikan.
Tidak semua keraguan yang Anda abaikan akan berakibat buruk. Namun banyak orang mengalami hal buruk ketika mengabaikan rasa ragu tersebut. Ketika rasa ragu menggelayuti Anda, sebaiknya Anda menundanya dulu. Setelah rasa ragu tersebut bisa Anda taklukkan, Anda bisa memulainya. Semuanya demi kebaikan Anda juga kok.
#kmab#33