GORESAN HATI UNTUK AYAH

Cerpen, KMAB55 Dilihat

pexels-ron-lach-9518018

GORESAN HATI UNTUK AYAH

Ayah, kutuliskan kata untuk merangkai kalimat bernada kerinduan padamu. Putramu teramat sepi ketika harus menjalani hari-hari sendiri tanda canda dan gurauan ayah. Jarang lagi kita bertengkar tentang masalah-masalah kecil. Jarang lagi kita berdiskusi tentang bisnis yang di sukai ayah. Harapan-harapan ayah agar aku menjadi seorang Polisi seperti kakek sementara bunda menginginkanku melanjutkan belajar S2 di luar negeri. Tidak jarang ayah memintaku untuk mengikuti beberapa training tapi aku masih enggan melaksanakannya. Aku masih ingin menyelesaikan kuliahku kemudian memikirkan pekerjaan.

Di depanku sekarang seorang ayah yang tak berdaya, berbaring dengan jarum infus ditangan. Kabel oksigen yang terpasang di hidung ayah. Diabets yang naik turun membuatku lebih ekstra menjaga ayah dengan asupan makan. Obat-obatan dengan berbagai warna dan ukuran yang harus ayah konsumsi tiap hari.

Jantungku serasa berhenti berdetak takala melihat ayah menggigil kedinginan karena demam dan keringat bercucuran disekujur tubuh ayah. Bunyi gemeletuk gigi ayah menahan irama tubuh ayah yang perlahan-lahan mengeluarkan aliran panas. Aku dekap badan ayah untuk menghibur dan menenangkan. Aku gosok-gosok kaki, tangan dan dada ayah agar menjadi hangat.

Aku menjadi tenang tatkala suster menghampiri dan membawakan botol kecil berisi cairan paracetamol untuk menurunkan suhu ayah. Paracetamol itu menggantikan tetes-tetes infus yang berisi makanan. Aku harus terus mengawasi agar botol paracetamol tidak benar-benar kosong dan dapat segera diganti dengan cairan penambah tenaga ayah.

Ayah tahukan jika aku sempat panik ketika tubuh ayah menjadi sedingin es dan ayah tak sadarkan diri. Aku menggoyang-goyang tubuh ayah untuk membuat mata ayah terbuka. Aku berlari menghampiri suster untuk segera menolong ayah. Suster segera mengecek kadar gula ayah yang benar-benar drop dan membuat kesadaran ayah hilang sesaat. Botol infus diganti botol cairan yang berisi glukosa. Suhu badan ayah sedikit demi sedikit menghangat. Alhamdulillah Tuhan masih menyelamatkan ayah.

Aku melihat ayah mulai membuka mata dan memandangku. Tidak berapa lama aku mendapat video call dari bunda yang ingin mengetahui kondisi ayah. Wajah bunda tampak panik namun aku berusaha menenangkannya dan mengatakan jika ayah baik-baik saja. Aku lihatkan wajah ayah ke bunda dan bunda berusaha tabah dan memberiku semangat.

“Sabar ya Mas. Bunda mungkin agak terlambat sampai ke Rumah Sakit. Lihat kendaraan di depan bunda penuh dan tidak bergerak. Bunda sudah belikan kasur lipat kecil untuk tidur kita dibawah disamping ayah agar tidak masuk angin.” Kalimat-kalimat bunda terus mengalir seakan-akan tidak mau berhenti.

“Bunda, OK, nanti bunda pulang ke rumah bawa keperluan untuk bunda menginap di rumah sakit.” Kataku untuk membuat suasana hati bunda lebih tenang.

Aku melihat ayah lagi dengan tatapan mata kosongnya dan aku berusaha menyadarkan ayah. “Minum susunya yuk Yah. Biar badan ayah bertenaga.” Pintaku kepada ayah dengan memohon.

Ayah hanya bisa mengangguk tanda setuju untuk meminum susu diabetasol yang lumayan mahal harganya. Seperempat gelas susu berhasil ayah habiskan. Jumlah itu masih terlalu sedikit untuk asupan tubuhnya. Aku membujukknya lagi untuk menyeruput seteguk lagi.

Mata ayah sedikit berbinar-binar melihat kedatangan bunda. Aku tahu ayah sangat mencintai bunda. Demikian juga bunda yang berhati lembut walau kesan pertama agak garang, sangat baik kepada ayah dan aku.

Dua bulan terakhir di tahun 2020 ini benar-benar ujian bagiku. Rasanya aku tidak percaya dengan kondisi ayahku yang tiba-tiba drop. Masih segar dalam ingatanku ketika aku masih kecil bersama ayah.

Kala itu ayah mengajarkanku bersepeda dan aku terjatuh berkali-kali namun ayah selalu menyemangatiku hingga akhirnya sepedaku laju meninggalkan ayah. Kemudian aku berhenti dan aku menengok ke belakang, ayah melambaikan tangan memintaku kembali. Aku tertegun sejenak karena aku masih memikirkan cara bagaimana mengayuh agar aku tak terjatuh. Kuberanikan diri untuk segera menaiki sepeda dan segera melaju kearah ayah dan aku berhasil.

Senyum ayah mengembang sambil bertepuk kegirangan melihat putranya kembali. Ayah memelukku dan mengusap rambutku. Aku semakin bersemangat untuk berlatih dan akhirnya dengan berjalannya waktu aku dapat mengendarai sepeda kecilku ke sekolah dan ayah masih mendampingiku dengan sepedah kunonya.

Umurku semakin bertambah dan aku duduk dikelas dua SMP. Aku melihat teman-temanku mulai belajar bersepeda motor. Ayah tahu apa yang aku inginkan. Ayah belikan aku sepeda motor second untuk belajar. Besar motor dan tubuhku tidak seimbang. Motor yang ayah belikan lebih tinggi dari ukuran tubuhku. Ayah memberiku jalan bagaimana menyiasati untuk menakhlukkan sepeda motor itu dengan membisikkan kata mujarab,”Berfikir dan cari akal yang mudah untuk menakhlukkan Si Merah.”

Aku mengangguk dan berfikir. Ayah menyebut motor itu Si Merah dan semenjak itu aku menyebutnya Si Merah juga. Ayah melihatku lagi dan bertanya,”Sudah dapat ide?” Aku terkejut dan langsung mengiyakan.

“Coba ayah mau lihat.” Kata ayah lagi.

Aku hidupkan mesin motor, ketika aku siap untuk menjalankan Si Merah aku topang kaki sebelah kiriku. Gas aku tekan pelan-pelan dan dalam waktu bersamaan aku segera meloncat ke atas jok (tempat duduk pengendara motor) dan berhasil membawa motor laju berkeliling lapangan berumput. Setelah beberapa kali putaran aku menghampiri ayah dan gas aku kurangi dan siap untuk berhenti di dekat ayah. Rem aku injak dan Si Merah berhenti dan aku loncat dari jok. Dengan cekatan ayah memegang Si Merah yang hampir oleng.

“Bagus. Anak ayah sudah bisa menakhlukkan Si Merah. Harus tetap latihan. Tapi tidak boleh latihan sendiri. Harus dengan ayah!” Begitu penjelasan ayah panjang lebar. Aku lihat wajah ayah yang tampan dan berkumis serta mata tajamnya melihatku. Aku langsung mengambil sikap dan berkata,”Siap Ayah!”

Ayah mengajakku pulang sambil mengendarai motor dan aku duduk dibelakang ayah. Ayah tidak mengijinkanku membawa motor karena melihatku berkeringat dan tampak kelelahan. Angin semilir menerpa tubuhku dan aku merasa sedikit ngantuk di bonceng ayah. Sebelum aku jatuh tertidur ayah menghentikan Si Merah disebuah kedai makanan dan minuman.

“Yuk kita makan dan minum dulu.” Ajak ayah sambil melihat mataku yang lima watt.

Ayah memarkirkan motor di bawah pohon dan aku segera masuk ke kedai mencari tempat duduk yang masih kosong. Ayah menghampiriku dan berkata,”Mas Aci, cepet pesan makan di bu Marni.” Aku memesan nasi ayam goreng kesukaanku dan sedikit sayur bayam tanpa sambal juga es teh sebagai pengobat rasa dahagaku. Aku melihat ayah memesan nasi campur dengan kombinasi orek tempe, oseng kangkung dan ikan Cuek dengan sedikit sambal. Ayah juga memesan kopi pahit dan air mineral gelas. Kami makan dengan lahap.

Udara cukup panas namun karena tegukan es teh dan hembusan angin membuatku merasa segar. Aku melihat ayah berkeringat karena memakan sambal dan meminum kopi pahit panas. Wajahnya tampak lebih cerah.

“Yuk pulang!” Ajak ayah kemudian.

“Sekarang giliranku ya Yah. Aku yang bonceng Ayah” Pintaku.

Ayah mengangguk dan memberikan kunci kepadaku, namun ayah tidak membiarkanku sendiri untuk menuju tempat parkir. Ayah memperhatikanku memasukkan kunci. Aku melangkahkan kakiku agar seimbang namun ayah sudah duluan naik di atas jok untuk membantuku menjaga keseimbangan. Brumm..brumm .. brumm.. motor berjalan perlahan-lahan meninggalkan kedai dan para penikmat makanan bu Marni.

Hari berganti hari, bulan dan tahun mengikuti irama waktu, aku beranjak remaja, tepatnya duduk di kelas dua SMA.  Ayah semakin tua, rambut ayah mulai berkilau putih dan ekonomi ayah semakin membaik dengan bantuan ibu yang bekerja di instansi pemerintahan. Ayah mulai mampu membeli mobil second. Seperti kegemaranku mengendarai motor, aku mulai tertarik untuk mencoba mengendarai mobil. Aku mendekati ayah dan seperti biasa memohon kepada ayah untuk diajari mengendarai mobil.

Ayah tidak dapat menolak permintaanku. Pelajaran mengendarai mobil dimulai. Aku duduk di samping ayah dan ayah duduk dibelakang kemudi sambil menjelaskan instrumen-instrumen utama yang terdapat pada mobil. Langkah berikutnya ayah mulai menghidupan mesin mobil, kemudian dengan gentle memasukkan gigi satu sembari menginjak gas perlahan-lahan, maka melajulah mobil menuju jalanan sepi di sekitar perumahan. Aku perhatikan tangan dan kaki ayah yang begitu lincah memindahkan gigi dan menginjak kopling. Berikutnya giliranku mengendarai mobil berputar-putar sekitar perumahan.

Waktu berjalan begitu cepat, aku sudah benar-benar menguasai mobil ayah bahkan aku sudah memiliki SIM. Aku telah duduk di bangku kuliah di Jakarta semester tujuh. Ayah memberikan kepercayaan sepenuhnya untuk mengendarai mobil. Bahkan ayah mulai membeli mobil baru untukku. Picanto merah yang sangat hemat BBM dan jarang mogok.

Jika pulang ke Jawa untuk mudik Picanto merah menjadi andalan ayah dan aku. Semenjak aku dapat mengendarai mobil ayah tidak lagi mau untuk duduk dibelakang kemudi. Sebagai alasannya ayah sering merasa lelah dan mata agak kabur karena usia dan penyakit gulanya yang mulai ayah rasakan beberapa tahun lalu.

Bisnis ayah semakin lancar dan akhirnya dapat membeli satu mobil lagi, mobil Avanza warna hitam yang memuat banyak penumpang. Kami berencana pulang kampung dengan mengendarai Avanza, tidak lagi Picanto. Rencana itu beberapa kali gagal karena tiba-tiba ayah kurang sehat. Kami berencana lagi ditahun berikutnya dan ternyata gagal lagi karena adanya pandemi covid yang sangat membatasi langkah gerak kami.

Hingga akhirnya ayah benar-benar jatuh sakit. Kali ini adalah yang terburuk. Ayah,.. aku hanya bisa berdoa semoga ada mukzizat untukmu. Allah memberikan kesembuhan kepada ayah hingga kita dapat  tertawa dan bercanda kembali.

Ayah putramu sangat merindukan keceriaanmu, wajah garangmu dan tajamnya matamu. Ayah sungguh aku mencintaimu. Ayah semoga engkau mendengar harapan-harapanku.

 

Jakarta, 19 Oktober 2022

NANI KUSMIYATI

REF. Buku Antologi, Nubala Project.

Tinggalkan Balasan

1 komentar