MENGGANTUNGKAN ASA PADA PANGAN BIRU

Terbaru37 Dilihat

MENGGANTUNGKAN ASA SWASEMBADA PANGAN PADA PANGAN BIRU

Masih ingat celotehan ibu Puji Astuti Menteri Perikanan dan Kelautan periode lalu? ”Kalau tidak makanan ikan ditenggelamkan”. Meski sekilas tampak sebagai candaan tapi jika dihayati dalam juga maknanya. Jika tidak makan ikan dapat juga dimaknai sebagai tenggelam dalam masalah kekurangan protein yang berujung pada terbentuknya sumberdaya berkualitas di masa depan.

Ikan memang dikenal sebagai bahan makanan sumber protein., salah satu zat gizi penting untuk membentuk dan membangun sel-sel organ tubuh. Itu sudah tidak diragukan lagi. Yang jadi persoalan sekarang bagaimana menjamin ketersediaan serta asupan yang memenuhi kecukupan gizi terutama bagi anak-anak yang masih dalam proses tumbuh kembang dan berujung pada terbentuknya sumberdaya manusia yang berkualitas.
Kalau menyimak kilas balik permasalahan gizi di masa lalu, protein disamping kalori memang menjadi salah satu zat gizi yang sangat kurang dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sampai saat ini pun masih dihadapi. Belum tuntas masalah kekurangan zat gizi makro ini ditanggulangi, kini sudah muncul masalah kekurangan zat gizi mikro berupa kekurangan vitamin dan mineral, bahkan masalah berat badan yang berlebihan mulai merambat naik dan mencekeram generasi muda.

Masalah kekurangan gizi ini memang senyatanya ada dan terus bergerak. Ibarat analoginya menganut teori pendulum benda yang bergerak akan cenderung terus bergerak dengan kecepatan yang sama selama tida ada gaya yang tak seimbang bekerja padanya. Gaya tak seimbang inilah yang masih harus dicermati efektivitasnya dalam menghambat gerakan pendulum yang kini dengan dengan beban berganda. Ada kekurangan protein kalori, ada kekurangan vitamin dan mineral ada pula sekarang berat badan berlebihan atau yang dikenal dengan obesitas. Upanya percepatan Tengkes (Stunting) sudah cukup lama dilakukan. Namun penelitian mutakhir pun menunjukkan anak-anak Stunting ternyata rentan mengalami peningkatan berat badan yang berlebihan alias obesitas. Pesatnya perkembangan dunia kulinari dengan makanan kekinian membuka peluang tersedianya sumber-sumber protein, lemak, gula, garam dan zat-zat yang ditambahkan dalam olahan bahan makanan. Tidak tertutup kemungkinan, jika tidak dikendalikan akan mendorong mencuatnya masalah gizi.

Menilik kebijakan pemerintah terkait sumber daya alam yang kaya akan protein tentu apa yang terdapat dan dihasilkan dari laut di wilayah Indonesia menjadi tautan harapan dalam peneuhan kecukupan zat gizi dari sumber daya lautan ini. Luas wilayah laut Indonesia adalah 3.257.357 kilometer persegi (km2). Luas ini didapatkan berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) yang ditandatangani pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Hal ini merupakan suatu potensi yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Didalamnya terkandung kekayaan pangan yang luar biasa.Dengan demikian Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia dengan luas wilayah perairan mencapai 65% dari total luas wilayah Nusantara ini.

Semua yang dihasilkan dari lautan, danau sungai ini dikenal dengan istilah Pangan Biru yang mencakup ikan, rumput laut, kerang hingga alga yang dihasilkan. Juga dari perikanan budidaya maupun perikanan darat dan laut. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan menyatakan Pangan biru yang diproduksi secara ramah lingkungan dapat membantu mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (UN Sustainable Development Goals) yaitu mengurangi kelaparan dan kekurangan gizi; meningkatkan kesehatan; mengurangi dampak pada lautan, air, tanah dan iklim. Pergeseran dari protein berbasis daratan ke protein akuatik (perairan) harus menjadi bagian dari solusi perubahan iklim, dalam batas-batas yang melindungi keberlangsungan kesehatan sistem laut dan air. Gerakan Pangan Biru juga diakui oleh Global Seafood Alliance (GSA), yang di dalamnya terdapat pedoman untuk akuakultur.

Bagaimana rata-rata konsumsi ikan orang Indonesia?
Angka kecukupan protein nasional per hari untuk masyarakat Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2019 adalah 57 gram per orang. Pada tahun 2023 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam laporan kerjanya mencatat konsumsi ikan rata-rata orang Indonesia adalah 57,61 kg per kapita per tahun. Melihat angka ini nampaknya kecukupan dari sumber bahan makanan hewani sudah terpenuhi.
Namun beberapa referensi juga menunjukkan tingkat konsumsi ikan di Indonesia dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (70 kg per kapita per tahun) dan Singapura (80 kg per kapita per tahun), masih lebih rendah bahkan jauh di bawah Jepang yang mendekati 100 kg per kapita per tahun).
Tidak heran jika komitmen Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melalui Kementerian Kelautan dan perikanan mengimplementasikan program ekonomi biru, Ini merupakan upaya mewujudkan misi ”8-Asta Cita” yang diusung Presiden Prabowo Subianto guna mencapai Swasembada pangan melalui pangan biru.
Itu ganbaran umum tentang tingkat konsumsi protein hewani yang berasal dari ikan. Secara kasat mata ikan banyak tersedia disekitar masyarakat. Yang perlu ditelusur lebih dalam apakah memang konsumsinya masih rendah? Ataukah ada faktor lain semisal cara pengolahan di tingkat rumah tangga yang kurang tepat sehingga kandungan zat gizi seperti protein atau vitamin dan mineral yang terkandung dalam daging ikan tidak dapat dimanfaatkan tubuh dengan efektif. Contoh sederhana saja ketika mengolah ikan dengan cara menggorengnya. Ini cara yang tidak asing karena merupakan salah satu teknik memasak menggunakan minyak atau lemak untuk mengolah bahan makanan mentah menjadi makanan matang.

Namun apa yang terjadi melalui proses penggorengan ini?
Mengolah ikan dengan cara menggoreng tentu praktis, penggunaan bumbu juga sederhana. Hasil olahannya memang gurih. Tetapi karena menggunakan minyak dalam jumlah banyak ada kerugiannya. Serapan minyak dapat meningkatkan jumlah kalori yang dikonsumsi. Belum lagi jenis minyak tertentu juga dapat menimbulkan risiko kesehatan. Proses penggorengan juga bisa merusak asam lemak omega-3 yang banyak terkandung dalam daging ikan. Asam lemak omega 3 memiliki atom karbon ikatan ganda (double bond) sehingga disebut lemak tak jenuh. Jenis lemak ini baik untuk tubuh. “Ketika digoreng, ada kemungkinan ”double bond” itu rusak berubah menjadi lemak jenuh, lemak yang berbentuk padat pada suhu ruang dan orang menyebutnya lemak jahat. Saat asam lemak menjadi terlalu panas, asam lemak tersebut mulai rusak, yang berarti akan memperoleh lebih sedikit omega-3 dari dalam daging ikan. Karena itu konsumsi bahan makanan yang goreng dapat berkontribusi terhadap penyakit-penyakit tidak menular (PTM) seperti jantung coroner dan sebagainya.

Pencerahan tentang pengolahan bahan makanan ini penting digalakkan. Terlebih kini menghadapi program nasional pemberian makanan bergizi gratis yang digelar pemerintah. Meski jumlah zat gizi yang diberikan ditujukan untuk memenuhi 25% dari kecukupan gizi yang dibutuhkan anak-anak usia sekolah, jumlah ini perlu dijaga dalam pengolahan bahan makanannya agar tidak berkurang atau hilang selama proses pengolahan terutama bagi bahan makanan sumber zat gizi yang dihasilkan oleh program Pangan Biru yang disediakan pemerintah dalam upaya swasembada pangan.

Tinggalkan Balasan